Penginapan bintang. Satu penginapan yang cukup besar di kampung itu. Di musim panen raya seperti sekarang, pastinya akan banyak orang yang menginap. Terutama mereka para pedagang yang berasal dari tempat jauh.
Mahesa dan Puspita telah tiba di depan penginapan tersebut. Mereka tidak mungkin serta merta langsung masuk dan berlari ke sana-sini untuk menemukan anak mereka. Setidaknya, mereka harus punya berita jelas mengenai kamar tempat istirahat Juragan Bimo.
"Dinda, kau tunggu di sini saja. Biar aku yang akan masuk ke dalam. Ingat! Jangan bahayakan dirimu," pesan Mahesa.
Sebenarnya, Puspita keberatan. Akan tetapi, istri Mahesa yang satu ini begitu menghormati keputusan suaminya. Dia akan menuruti apa pun yang Mahesa katakan. Bahkan tanpa membantah. Tidak perduli meskipun berlawanan dengan hatinya. Jika dia ingin bicara atau mengemukakan pendapat, maka terlebih dahulu Puspita akan meminta izin. Itu jika disetujui, jika Mahesa tidak memperbolehkan maka dia tidak memaksa. Seperti saat itu, sebenarnya hati kecil Puspita sangat ingin ikut masuk ke dalam penginapan untuk sama-sama mencari Putri mereka. Tapi Mahesa tidak memperbolehkan, maka hal yang Puspita lakukan hanyalah menuruti perintah sang suami seraya memanjatkan doa.
Belum juga Mahesa memasuki pintu gerbang penginapan, dari dalam penginapan bintang, Suhita Prameswari muncul dengan dikelilingi oleh tukang pukul yang berbadan kekar.
Dari kejauhan, Puspita bisa melihat itu. Matanya terbelalak saat masih bisa melihat putrinya. Tanpa sadar, kaki Puspita terayun untuk berlari mendekat.
Apa yang Puspita lihat, tentu lebih dulu disaksikan oleh Mahesa. Saat melihat putrinya muncul dengan dikelilingi para pendekar silat. Mahesa langsung melesat. Tubuhnya membumbung tinggi ke udara.
Braaakkk! Braaakkk!
Tubuh keempat orang yang mengelilingi Suhita mendadak terlempar keras hingga membentur dinding penginapan. Tidak jelas apa yang menjadi penyebabnya, tapi yang pasti saat berikutnya seseorang telah berdiri di samping Suhita.
Sring! Sring!
Beberapa pengawal Juragan Bimo serentak menghunus pedang dan langsung menyerang. Begitu juga dengan keempat pendekar yang tadi terpental, meskipun rasa sakit mendera tubuh, mereka tidak perduli dan langsung membatu serangan.
Bukan orang lain, tapi Suhita Prameswari yang terbelalak lebar. Bocah kecil itu tidak percaya atas apa yang sedang dia saksikan. Orang yang tiba-tiba muncul di sebelahnya tidak lain adalah orang yang paling ia kenal. Ayahnya. Suhita sampai mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan itu bukanlah halusinasi.
Belasan mata pedang berkelebat menyerang ke arahnya. Ah, tidak. Mata pedang itu hanya mengincar Ayahnya. Mereka tidak mungkin berniat melukai Suhita. Tapi belum juga Suhita melakukan apa pun juga, Ayahnya telah bergerak dengan tangan kosong dan merubuhkan orang-orang kekar dengan pedang di tangan tersebut. Suhita bahkan tidak melihat kapan Ayahnya menyerang. Yang dia tahu ialah saat para tukang pukul itu yang terhempas dan mengerang kesakitan.
Hanya dengan satu tarikan napas, Mahesa berhasil mencapai tempat Suhita. Sambil melayang turun, Mahesa mengibaskan tangannya melepas energi tenaga dalam untuk singkirkan empat pendekar yang mengelilingi anaknya. Mahesa mendarat di samping Suhita dan akan mampu berikan perlindungan penuh pada anaknya. Terbukti, saat para pengawal lainnya menyerang Mahesa bisa memukul jatuh mereka semua. Jika saja Mahesa ingin, tentu bukan masalah sulit untuk bisa celakai mereka semua. Kemampuan yang dimiliki oleh para pengawal itu sama sekali tidak seujung kuku apa yang Mahesa punya. Dengan satu petikan jari saja, Mahesa bisa berubah menjadi malaikat pencabut nyawa. Tapi Mahesa tidak melakukannya, dia tidak ingin mempertontonkan aliran darah di depan anaknya.
"Kurang ajar! Tangkap penculik busuk itu!" Juragan Bimo diikuti beberapa orang pengawal berlari mendekat.
Mahesa mengangkat tangan kanannya, mengarahkannya pada Juragan Bimo. Seketika, tubuh Juragan Bimo tersedot dan melayang menghampiri cekikan Mahesa tersebut. Menyerahkan batang lehernya. Semuanya berlalu begitu cepat, hingga tidak ada yang bisa diperbuat oleh para pendekar bayaran Juragan Bimo selain menyaksikan dengan terbengong-bengong.
"Ayah, sudah. Jangan Ayah ..." Suhita menarik jubah yang Mahesa pakai.
"Kau berhutang nyawa pada anakku!" Mahesa melepaskan cengkeramannya. Seketika itu juga, tubuh Juragan Bimo jatuh ke tanah.
"Uhuukkk ... uhuukkk ..." Juragan Bimo terbatuk-batuk berulang kali. Dia memegangi lehernya yang terasa hampir putus.
"Ampuuunn ... Tuan, ampuuunnn ... saya tidak bermaksud jahat," Juragan Bimo menyembah berulang kali. Kemudian, dia menatap ke arah Suhita, "Hita, dia Ayahmu? Tolong katakan padanya, Nak. Aku bukan orang jahat, tolong ampuni kami."
"Ayah, jangan Ayah. Juragan ini tidak salah apa pun, mengapa Ayah mencekiknya?" Suhita menghampiri Juragan Bimo dan membantunya untuk bangun. Suhita mengira kalau Juragan Bimo tidak bisa bangun lagi. Padahal memang dia tidak berani bangun saja, bahkan saat Suhita membantunya dia juga tak kunjung bangun.
"Hitaaa !!! Oohhh ... Putriku, maafkan Ibu, Nak," Puspita yang juga telah tiba di tempat itu langsung menubruk tubuh Putrinya. Kecemasan yang begitu besar membuat air mata Puspita mengalir tidak terbendung.
Mahesa menyaksikan semuanya dengan tidak menurunkan kewaspadaan. Dia masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba Mahesa memutar pergelangan tangannya, mengerahkan kekuatan tenaga dalam untuk menghancurkan senjata yang dipegang oleh para pengawal anak buah Juragan Bimo.
Traaangg! Serentak belasan pedang itu hancur berkeping. Membuat seluruh pengawal Juragan Bimo terkejut bukan kepalang. Mereka mundur hingga beberapa langkah ke belakang. Meskipun tidak melihat, tapi mereka tahu jika Mahesa adalah pelakunya. Kekuatan tenaga dalam yang sangat luar biasa, sama sekali bukan tandingan pendekar kacangan seperti mereka. Tidak mungkin mereka berbuat nekad untuk melawan, itu sama saja menyerahkan nyawa. Apa lagi, diketahui jika orang itu merupakan Ayah dari tabib kecil Hita. Ini semua hanyalah salah paham. Para pengawal kompak menjatuhkan lutut.
Menyaksikan hal itu, Mahesa baru bisa tenang. Tidak lagi dia mencemaskan keselamatan anak dan istrinya yang berada di tempat itu. Pelan-pelan, Mahesa menarik aura bertarungnya. Membuat orang-orang bisa menarik napas lega, tanpa adanya tekanan di dalam batin mereka.
"Ayah, maaf. Ini semua adalah kesalahan saya. Saya membuat ayah dan ibu menjadi cemas. Mohon untuk ayah ampuni juragan Bimo, dia tidak bersalah, ayah," Suhita memohon.
Mahesa berjongkok, dengan lembut dia memeluk anak dan istrinya. "Ayah, yang seharusnya minta maaf."
Suhita mengatakan kalau juragan Bimo sama sekali tidak bermaksud buruk. Dan para pengawal itu bertujuan untuk mengantarkan Suhita pulang. Suhita kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya ...
Setelah memberi jaket pada seorang anak, Suhita terpanggil untuk menengok anak pedagang di seberang jalan. Awalnya, Suhita ingin meminta izin pada ibunya tapi orang-orang tiba-tiba datang dan menghalangi jalan. Hingga Suhita memutuskan untuk sekadar melihat dengan dekat kondisi anak pedagang tersebut. Dia berjalan meninggalkan ibunya yang sedang berbelanja.
"Pak, saya punya obat. Mungkin bapak berkenan mencobanya untuk anak bapak itu," Suhita datang dan menawarkan obat pada seorang pelayan.
Awalnya pelayan tersebut menolak dan meminta untuk Suhita jangan mendekat. Mungkin karena dia melihat kalau usia Suhita masih terlalu kecil untuk hal itu.
"Tuan, saya adalah seorang tabib. Ayah saya memiliki kemampuan pengobatan yang sangat hebat. Bolehkah saya melihat ke dalam?!" teriak Suhita.
Sebelum pelayan toko menghentikan, Juragan Bimo lebih dulu mengangguk. Dia memerintahkan seorang anak buahnya untuk menjemput Suhita. Juragan Bimo begitu kalut, tiba-tiba saja anaknya menderita penyakit yang aneh. Sementara dia tidak tahu harus pada siapa meminta tolong. Anak buahnya yang ditugaskan untuk mencari tabib tak kunjung datang juga. Hingga dia mempersilahkan Suhita yang mengaku tabib memeriksa kondisi anaknya yang hampir tidak sadarkan diri.
Suhita memberikan beberapa obat pemulih tenaga dan penghilang rasa nyeri, sementara dia memeriksa denyut nadi dan kondisi lebih lanjut.
Juragan Bimo dan anak buahnya sampai terbengong-bengong menyaksikan Suhita yang begitu cekatan. Anak juragan Bimo pun sudah tidak mengerang kesakitan lagi, hanya napasnya saja yang belum teratur.
"Tabib kecil, ba-bagimana keadaan anak saya?" juragan Bimo bertanya dengan penuh harap akan kesembuhan.
"Juragan, kondisinya masih sangat lemah dan butuh istirahat yang cukup. Saya sudah berikan pertolongan pertama, nanti setelah beberapa saat berikan lagi pil ini. Lalu, borehkan serbuk ini di ulu hatinya. Jangan lupa beri sedikit air hangat sebelum membolehkan. Saat ini sudah mengering, baru juragan berikan obat yang besar ini. Maka kakak akan tertidur. Tunggu dia terbangun, maka lakukan sekali lagi," papar Suhita sambil menunjukkan obat-obatan yang dia maksud.
Mulut juragan Bimo melongo. Tabib kecil ini sangat luar biasa, bahkan dia tidak bisa mengingat apa yang dia katakan.
"Tabib kecil, aku sama sekali tidak mengerti masalah ini. Begini saja, bagaimana kalau kau yang rawat. Kita ke penginapan sekarang. Hei, ayo cepat berkemas, tinggal beberapa orang saja di sini," perintah juragan Bimo pada anak buahnya. Para pendekar pengawal segera bergerak cepat. Mereka menyiapkan kereta kuda untuk kembali ke penginapan.
"Juragan, saya ke pasar bersama ibu. Bagaimana jika dia kehilangan dan mencari saya?" Suhita menolak. Tapi saat dia melihat ke arah ibunya belanja, ibunya sudah tidak ada di sana. Suhita sendiri tidak tahu kemana harus menyusul ibunya?
"Tabib kecil, saya mohon. Tolong anak saya. Saya berjanji, nanti akan antarkan tabib kecil pulang ke rumah, tolonglah tabib," juragan Bimo berlutut. Memohon dengan sangat.
"Baik, tapi kalian nanti antar saya pulang, ya?"
"Past, tabib. Itu pasti! Tabib jangan khawatir, saya punya banyak pengawal untuk mengantar tabib kecil pulang."
Suhita sepakat. Dia kemudian ikut ke penginapan dan merawat anak juragan Bimo hingga sekarang kembali sehat. Dan saat itu, Suhita meminta untuk diantar pulang.
Juragan Bimo segera mempersiapkan hadiah yang akan di bawa. Dia menugaskan empat pendekar untuk mengawal Suhita sampai ke rumah. Akan tetapi, baru saja Suhita dan para pengawal keluar pintu penginapan, Mahesa datang dan salah paham hingga langsung menghantam para pengawal.
"Ah, syukurlah. Jika begitu, artinya Tuan melepaskan kami 'kan?" juragan Bimo menatap pada Mahesa.
"Aku minta maaf, aku terlalu mencemaskan keselamatan putriku hingga bertindak ceroboh dan melukai kalian semua," Mahesa meminta maaf atas tindakannya.
Mahesa begitu gembira karena bisa temukan sang buah hati tanpa terjadi suatu apa pun. Akan tetapi dalam hati Mahesa mulai tumbuh rasa was-was. Ya, ini berkaitan dengan keselamatan keluarganya. Mahesa membawa Puspita dan Putrinya berdiam di tempat yang terpencil, tentu untuk menghindari mata dunia persilatan menatap pada mereka. Baru saja, Mahesa menggunakan kemampuan yang selama ini dia sembunyikan. Dari belasan orang lawannya, pasti akan bercerita pada sesama rekan mereka nanti. Belum lagi penghuni penginapan yang ikut menyaksikan. Kabar tersebut pasti akan menyebar. Haruskah Mahesa berpindah tempat?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Edi Miswanto
top dah
2022-08-05
0
Thomas Andreas
lanjuut
2022-04-02
1
Asep Dki
bpknya jago apalagi anaknya...wkwkwk
2021-04-01
2