"Hitaaa !!! Hitaaa !!!" Puspita berteriak berulang kali. Wajah cantiknya berubah pucat pasi, seolah tiada lagi darah yang mengalir.
Tubuh Puspita bergetar hebat, gemetaran. Hingga keranjang belanja yang digenggamnya terjatuh. Puspita tidak menghiraukan belanjaannya yang berserakan. Matanya menatap ke sana-sini, mencari keberadaan Putrinya yang menghilang di tengah kerumunan.
Semuanya memang salah Puspita. Saat tadi dia selesai belanja, Puspita langsung menggandeng lengan seorang anak perempuan di sebelahnya. Puspita tidak begitu teliti jika yang dia gandeng ternyata bukan Suhita Prameswari, melainkan anak orang lain. Puspita baru sadar saat Ibu sang anak mengejarnya. Dan saat Puspita melirik, benar saja. Bocah perempuan yang dia gandeng bukanlah Anaknya.
DAARRR !!!
Laksana petir yang menyambar di terik matahari, Puspita merasakan dunianya mendadak runtuh. Terlebih saat Puspita kembali ke tempat terakhir dia belanja, Prameswari tidak lagi ada di sana. Puspita kebingungan dan segera berlari kian kemari mencari keberadaan Prameswari. Beberapa orang telah dia mintai tolong. Tapi Prameswari seolah hilang di telan bumi.
Tangis Puspita pecah, tidak bisa ditahan lagi. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Sama sekali tidak ada, jika saja Puspita miliki kemampuan untuk melacak aura, mungkin dia tidak akan sepanik itu.
Dengan sekuat tenaga, Puspita berlari secepatnya kembali ke rumah. Puspita berharap suaminya belum pergi.
"Kanda ... kau ke mana? Anak kita, sayang. Anak kitaaa ..." Puspita duduk bersimpuh di tanah. Seluruh tubuhnya lemah, sendi-sendi dan ototnya serasa seperti terlepas. Puspita menangis sesenggukan. Tidak tahu harus berbuat apa. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Puspita merasakan dirinya tidak berguna. Dia tidak ingin apa yang pernah dia alami, sekarang terjadi pada Anaknya. Tidak. Mengingat hal buruk itu, Puspita kembali berdiri dan berlari meninggalkan rumah. Mencari Prameswari, kemana pun itu. Dia harus mencoba.
"Dinda!" Puspita langsung menghentikan langkahnya saat ada suara yang memanggilnya.
"Kanda! Hita, Kanda ... huuhuuhuu ... ampuni aku," Puspita menjatuhkan lututnya. Tapi sebelum Puspita melakukan itu, Mahesa telah tiba di sampingnya dan menangkap pundak sang istri.
"Dinda, kau jangan menyiksa dirimu seperti ini. Ayo bangunlah, kita pasti akan temukan Hita," dengan lembut, Mahesa membelai rambut istrinya. Sebisa mungkin, Mahesa menenangkan Puspita lebih dulu sebelum dia melakukan tindakan selanjutnya. Menyelesaikan masalah harus dengan kesabaran.
"Kanda ..."
"Tenang ... tenaaang ... tarik napas, kuasai dirimu, Dinda," bisik Mahesa di telinga Puspita. Dalam dekapan itu, Mahesa mengalirkan energi murni ke dalam tubuh istrinya. Membuat hati Puspita menjadi lebih tenang, dan bisa berpikir dengan jernih. Ada suaminya, Puspita bisa mengandalkan kemampuan besar Mahesa.
Dengan pelan-pelan, Mahesa membawa tubuh Puspita untuk duduk di sebuah batu. Setelah minum air beberapa teguk, Puspita lebih tenang sekarang. Ada Mahesa di sisinya, juga ada beberapa orang penduduk desa yang turut membantu pencarian.
"Kanda, kita harus segera mencari Hita," ucap Puspita.
Mahesa mengangguk, dia tersenyum hangat. Memberikan ketenangan tersendiri dalam diri Puspita. Bukannya tidak cemas, Mahesa juga sama seperti Puspita. Hatinya berguncang mendengar berita itu. Dibanding Puspita, justru Mahesa yang terus mendorong untuk anak-anaknya membekali diri dengan kemampuan beladiri. Terus terang, hal semacam inilah yang dia takutkan.
Bukannya Mahesa tidak tahu, jika dirinya memiliki sangat banyak musuh di sana-sini. Rata-rata orang yang memusuhi Mahesa adalah mereka terlalu berasal dari kelompok aliran sesat. Perampok serta seluruh orang yang gemar melakukan kejahatan. Dengan begitu, terlalu banyak orang yang menginginkan nyawanya. Karena terlalu sulit dan cenderung tidak bisa, maka sudah pasti mereka akan melakukan segala cara untuk bisa membalas dendam pada Mahesa. Termasuk dengan mengincar keluarganya.
Puspita membawa Mahesa ke tempat di mana terakhir dia bersama dengan Suhita Prameswari, "Kanda, di sini kami belanja dan kemudian ... kemudian aku malah menggandeng seorang anak yang kiranya bukan Hita."
Mahesa memusatkan pikirannya. Dia menggunakan Ilmu Mata Naga tahap atas yang dia padukan dengan teknik dari Ilmu Transparansi Mimpi untuk mendeteksi segala kemungkinan di tempat itu. Pasar yang sangat ramai, wajar jika bisa menghapus energi seseorang dengan begitu cepat. Namun, Mahesa tidak menemukan adanya energi kuat dari para pendekar besar yang menjejakkan kaki di tempat itu. Itu artinya, Hita tidak di culik oleh musuh-musuh bebuyutan Mahesa.
Atau mungkin ada kelompok lain yang sebenarnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan Mahesa ataupun Puspita di masa lalu. Ada kemungkinan mereka merupakan para penjahat atau spesialis penculikan anak.
Mahesa memejamkan matanya lebih dalam lagi, berusaha membaca ke mana langkah kaki Hita saat pertama kali terayun. Paling tidak, Mahesa akan tahu dari mana dia harus memulai pencarian.
Samar-samar Mahesa menemukan bayangan istrinya dalam ruang transparansi, Puspita sedang memilih sayuran yang akan dibeli. Lalu, di mana Prameswari? Mahesa semakin memusatkan energi tenaga dalamnya dia mencari-cari keberadaan Putri kesayangannya. Ketemu! Mahesa menemukan Putrinya berjalan dengan di gandeng oleh Ibunya. Di punggung Prameswari menggendong keranjang kecil berisi berbagai macam bahan obat-obatan. Dasar bocah itu, waktu sudah berjalan selama satu tahun lebih, tapi dia sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan perlengkapan pengobatan. Malahan semakin hari, kecintaan Hita pada dunia pengobatan semakin mendalam. Hingga mengalahkan Ayahnya. Dan Hita juga telah meminta Ayahnya untuk membuat catatan segala jenis pengetahuan yang Mahesa tahu. Hita terus mempelajari catatan tersebut setiap kali ada waktu luang.
Saat Puspita melepaskan genggaman tangannya untuk memilih sayuran, Hita melangkah mundur satu langkah. Dia memberikan ruang pada seorang ibu-ibu yang juga hendak membeli sayur. Ibu-ibu itu sama seperti ibunya, ke pasar dengan membawa anak kecil.
Anak kecil yang bersama ibu tersebut tubuhnya nampak menggigil kedinginan. Hita tersenyum, kemudian menghampirinya dengan menyodorkan sebungkus kue kering. Dengan malu-malu, bocah itu menerima pemberian Hita. Kita kemudian meraih tangan si anak dan memeriksa denyut nadinya. Ya, Hita bisa tersenyum lega, kondisi anak itu baik-baik saja dia hanya kedinginan.
"Tubuhmu sangat dingin. Ini, kau pakai jaketku," Suhita Prameswari membuka jaketnya lalu memakaikan jaket tersebut pada si anak. Karena tubuh Prameswari lebih besar dan tinggi, makanya jaket miliknya kebesaran saat di pakai oleh anak tersebut. Hingga anak kecil itu bisa menyembunyikan tangannya di dalam jaket. Dia kemudian berjalan mendekati ibunya yang berada tepat bersebelahan dengan Puspita. Nah, saat itulah kejadian tersebut bermula.
Suhita Prameswari melihat dari kejauhan jika ada seorang yang sakit parah. Jiwa tabib bocah ingusan tersebut merasa terusik. Perlahan langkah kakinya membawa Suhita menjauh dari Ibunya. Suhita mendekati orang yang sakit. Sementara itu, Puspita yang selesai belanja tidak begitu teliti. Dia hanya melihat jika pakaian yang sama dikenakan oleh seorang anak kecil. Berdiri di sampingnya, Puspita menyimpulkan jika itu adalah Suhita, anaknya. Padahal, anak itu bukan Suhita melainkan orang yang hanya memakai jaket Suhita.
"Kanda, bagaimana?" Puspita langsung bertanya ketika Mahesa membuka mata.
"Putri kita pergi ke arah barat. Ke sana, ayo Dinda," Mahesa menggandeng tangan Puspita untuk mengikuti jalan yang dilalui oleh Suhita Prameswari. Mahesa yakin dia akan bisa melacak keberadaan Anaknya.
Pasar itu terletak di perbatasan antara kampung Talang Tunggal (tempat Puspita tinggal) dengan kampung Rambutan Merah. Ya, kampung-kampung di sana memang sangat besar. Jika saja letaknya tidak terpencil dan jauh dari ibukota, mungkin dua kampung tersebut telah dipimpin oleh seorang kepala daerah.
Mahesa menghentikan langkahnya saat tiba di perempatan jalan. Ada banyak orang yang mengenakan pakaian layaknya yang dia lihat dalam ruang transparansi.
Puspita juga memutar tubuhnya, untuk bisa melihat kesegala arah. Dia berharap Suhita Prameswari masih berada di sekitar tempat itu.
"Sekarang ini musim panen raya, begitu banyak penjual yang datang. Bahkan para penjual dari kota berdatangan ke sini. Tuan, silahkan melihat-lihat barang kami. Ini sumberdaya yang bisa kau gunakan untuk aaakkhhh ..." seorang pria lima puluh tahunan, dengan membawa pikulan menawarkan dagangannya pada Mahesa. Tapi sebelum pria itu selesai bicara, Mahesa telah lebih dulu mencengkeram pundaknya. Membuat jerit tertahan keluar dari mulut pria tersebut.
"Apa kau melihat seorang anak perempuan, usianya enam tahun lebih. Tinggi, putih, berambut hitam panjang, membawa keranjang kecil berisi obat. Apa dia melintas di tempat ini?" Mahesa mencengkeram dengan mengalirkan tenaga dalam. Dia juga memberikan gambaran wajah Prameswari pada pria tersebut.
"A ... ampuun, Tuan. Saya tidak melihatnya. Tapi ... tapi tadi saya memang melihat ada seorang yang sakit di sebelah sana. Mereka juga membeli beberapa sumberdaya pada saya. Mungkin, Putri Tuan melihat ke sana," dengan terbata-bata menahan sakit yang menggigit sekujur tubuhnya, penjual sumberdaya tersebut menjelaskan dengan terbata-bata. Tangannya menunjuk ke arah yang dia maksud.
Keringat dingin mengalir di dahi penjual sumberdaya yang juga seorang dengan kemampuan bela diri itu. Untung saja dia memiliki tenaga dalam yang lumayan tinggi. Jika tidak, mungkin tulang belulangnya sudah hancur dari dalam.
Mahesa menemukan jika penjual sumberdaya tersebut merupakan salah satu pedagang yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi. Selain untuk melindungi diri dan barang dagangan yang mahal tersebut, Mahesa takut dia merupakan termasuk dalam sindikat kelompok yang menculik anaknya. Karena apa yang disukai oleh Prameswari tentunya ada pada si penjual.
Perlahan, Mahesa melepaskan tangannya dari pundak si penjual. Dari hasil analisa yang dia lakukan, Mahesa tidak menemukan adanya kebohongan dalam perkataan orang itu. Ya, dia memang hanya pedang biasa.
"Saat istriku belanja, putriku terpisah. Dan saat ini kami belum menemukan keberadaannya. Dia begitu menyukai hal yang berhubungan dengan obat-obatan. Maaf, aku telah mencurigaimu. Kau bisa gunakan untuk pulihkan kondisimu," Mahesa membungkuk minta maaf. Sebelum pergi, dia memberikan dua kepeng uang emas pada si pedagang sebagai ganti rugi.
Mahesa dan Puspita kemudian menuju ke arah yang pedagang sumberdaya itu maksudkan. Di mana tadi katanya ada orang yang sakit. Tapi sialnya, mereka tidak menemukan apa-apa di sana.
"Nona, maaf. Apa kau tahu ke mana orang yang katanya sakit di sini tadi?" tanya Mahesa pada seorang pedagang makanan.
"Oohhh ... dia anak juragan Bimo. Itu lo, saudagar dari kota. Sekarang mereka sudah kembali ke penginapan bintang," jawab pedagang itu jujur.
Saudagar dari kota?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Thomas Andreas
gak bosen bacanya
2022-04-02
1
Muzhi Ono
seperti yg sy kritik buat author , masak cerita lama SDH ada jaket , itu yg sy maksud gunakan kata2 yg sesuai..trims
2021-02-01
2
@elang_raihan.Nr☕+🚬🐅🗡🐫🍌
Siiip lanjut bang ☕
2021-02-01
4