DEG!
Jantung Mahesa seolah berhenti berdetak kala dia telah berada di ujung jalan dan matanya telah berhasil menjangkau pelataran rumahnya. Suasana rumah begitu sepi, sunyi. Mahesa sampai menggunakan Ilmu Mata Naga untuk mendeteksi dari jarak jauh memastikan keberadaan orang di sekitar rumah. Dan memang benar, tidak ada seorang pun di sana.
"Ah, celaka!" kuda yang Mahesa tunggangi belum mencapai lokasi halaman pondok, tapi pendekar itu telah lebih dulu melompat dan melayang memasuki beranda rumah.
"Hitaaa !!! Hitaaa !!! Ayah pulang, sayang!" Mahesa memanggil sebelum kakinya menginjak lantai.
Pintu rumah terkunci dengan rapat. Mahesa menggedornya berulang kali, tapi tidak ada jawaban. Buru-buru dia berlari ke belakang, memastikan.
Tidak ada tanda-tanda kerusakan yang terjadi pada pintu ataupun jendela, semuanya terkunci dengan rapi. Itu menandakan jika Puspita dan Suhita pergi dari rumah dengan baik-baik. Tapi ... Mahesa melirik ada titik-titik debu yang menempel di kusen jendela. Paling tidak, rumah itu sudah tak berpenghuni selama dua hari. Mahesa tahu betul. Puspita tidak pernah bisa untuk membiarkan ada titik debu menempel. Bahkan dalam keadaan sakit pun tak bisa menghalanginya. Kecuali sudah tidak bisa bangun lagi, barulah dia berhenti beberes rumah.
Tanpa menunggu lagi, Mahesa segera menuntun kudanya meninggalkan rumah lagi. Dia sangat khawatir. Apa yang membayangi pikirannya selama di jalan, mengapa benar-benar terjadi? Mahesa tidak habis pikir.
Pikiran Mahesa menolak untuk berpikir positif. Dulu dia pernah kehilangan Suhita Prameswari saat belanja bersama ibunya di pasar, dan beruntung saat itu Suhita baik-baik saja karena hanya menolong orang sakit. Tapi sekarang, rasanya sulit untuk meyakinkan demikian.
"Em, pak Karim. Maaf, mengganggu. Saya mau tanya, apa bapak tahu kemana Suhita pergi?" tanya Mahesa pada tetangganya yang sedang membersihkan bunga depan rumah.
Pak Karim menoleh, dia segera melepaskan senyum ketika melihat Mahesa yang bertanya. Wajah pak Karim memang dipenuhi bulu, baik kumis, jampang, maupun janggut. Tapi ketika tersenyum, wajah sangar itu mendadak hilang tersapu angin.
"Wah, nak Mahesa. Baru pulang, nak. Kemarin, bapak lihat si Hita dan ibunya di tepi sungai jernih. Katanya cari pakis apa itu ... buat obat katanya. Tapi setelah itu bapak belum ketemu lagi, Sa," jawab pak Karim.
"Owh ... mungkin mereka masih mencari tanaman obat. Saya heran sama anak saya itu, pak. Dia begitu tergila-gila pada obat-obatan. Haduuuhhh ..." Mahesa tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Dia menutupi kegundahan hatinya, tidak menginginkan ada orang lain yang tahu apa pun masalah hidupnya.
Pak Karim justru tertawa. Dia mengatakan kalau Mahesa beruntung punya anak yang berbakat. Apa pun kegemaran anak, asalkan itu positif sebaiknya orangtua terus mendukungnya. Termasuk bakat Hita sebagai tabib. Kelak, dia akan banyak dibutuhkan orang. Setelah besar, pasti Suhita Prameswari akan menjadi sosok tabib kondang seantero jagat. Tabib seribu obat.
Sebentar berbasa-basi, Mahesa kemudian segera pamit untuk menyusul anak dan istrinya di sungai jernih. Mahesa segera menuju ke tempat yang tumbuh tanaman obat. Mahesa hapal bentul di mana tempat-tempat tanaman obat itu. Tanpa kesulitan Mahesa menyisir di sepanjang sungai jernih.
Mahesa menemukan beberapa tanaman obat yang bekas di petik. Melihat itu, Mahesa menyimpulkan kalau Suhita tidak sedang memperdalam kemampuan pengobatan yang terakhir dia berikan. Ya, tidak satu pun tanaman obat yang dipetik merupakan tanaman untuk mengobati bisa atau racun.
"Huuuhhh ... kemana mereka? Kau dimana putriku?" Mahesa menghela napas panjang. Pandangannya diedarkan ke seantero sungai.
Mahesa tidak bisa diam saja di situ. Dia harus segera temukan anak dan istrinya. Secepatnya.
Purwa Dirja. Ya, Mahesa harus temui orang itu. Bukannya Mahesa tidak sadar, kalau istrinya mendapatkan sorotan dari mata-mata lelaki di kampung Talang Tunggal. Salah satunya ialah Purwa Dirja. Pria itu pernah tertangkap tangan sedang mengawasi Puspita dari kejauhan. Meskipun sejauh ini belum pernah terjadi hal negatif pada diri Puspita.
Puspita Dewi memang tidak pernah pergi jauh dari rumah. Kecuali ke pasar atau ke sungai jernih untuk menemani Suhita berpetualang, selebihnya Puspita hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Lagi pula, tanaman obat dan segala pernak - pernik dunia pengobatan, rata-rata sudah Mahesa tanam di pekarangan belakang rumah mereka yang sangat luas.
Tidak butuh waktu lama, Mahesa berhasil menemukan Purwa Dirja di warung tempat biasa mereka nongkrong bersama teman-temannya.
Wajah Purwa Dirja nampak berubah pucat ketika melihat Mahesa turun dari punggung kuda dan mendekat. Begitu juga dengan teman-temannya, bahkan ada dari mereka yang diserang demam mendadak. Aura yang terpancar dari dalam diri Mahesa begitu menyeramkan, laksana malaikat maut yang datang mengetuk pintu.
Mahesa duduk di salah satu bangku dan menuangkan air ke dalam cangkir. Matanya kemudian menatap ke arah Purwa Dirja. Tanpa bicara. Seolah Mahesa sedang membaca isi pikiran pria di hadapannya.
"Tu-Tuan Mahesa ... apa kabar?" dengan memaksakan diri, Purwa Dirja memaksa untuk menyapa Mahesa.
"Kabar baik. Terima kasih. Oh, ya. Apa ada diantara kalian yang melihat putriku? Kemana dia bermain?" tanya Mahesa baik-baik. Membuat orang-orang yang ada di warung itu bisa kembali menghela napas.
Rata-rata setiap orang memberikan jawaban mereka masing-masing. Semuanya pernah melihat Suhita. Tentu saja, karena mata mereka memang sering tertuju pada ibunya.
Yang menarik, ada di antara mereka yang mengatakan kalau melihat Suhita di sungai jernih. Suhita Prameswari dan ibunya menaiki rakit bersama beberapa orang pria. Besar kemungkinan mereka menyeberang ke desa Talang Baru atau Talang Ulu.
"Baik, terima kasih. Aku harus segera menyusul anak dan istriku. Aku permisi!" Mahesa membungkuk sopan sebelum kemudian membawa kudanya menuju desa Talang Baru.
Purwa Dirja dan teman-temannya saling pandang. Mahesa yang begitu terburu-buru menandakan anak dan istrinya cantiknya tidak ada di rumah.
Plaaak!
"Kau lihat apa? Ayo kita bantu cari tabib cilik Hita dan ibunya. Jika kita berhasil menemukan mereka, paling tidak kita bisa dapatkan hadiah dengan memegang tangan mulusnya," seringai seorang pemuda setempat menepuk topi bundar yang dipakai Purwa Dirja.
Pemuda-pemuda kampung itu menyeringai mendengar ide konyol seorang temannya. Dengan buru-buru mereka meninggalkan warung, untuk berlomba temukan Suhita.
Mahesa juga heran, mengapa masalah terus menerus menghampiri kehidupannya. Tidak sedikit pun memberikan kesempatan untuk dirinya duduk dengan tenang. Setiap saat, terus saja mengukur jalan. Kian kemari berjalan dan terguncang di atas punggung kuda.
Lelah belum juga reda, bahkan keringat saja belum mengering. Sekarang harus kembali memacu kuda ke arah yang belum jelas. Bukan karena perjalanannya, melainkan kerisauan hati yang menggelayuti benak Mahesa yang semakin membuat beban perjalanan ini menjadi terasa berat.
Kuda mahal yang Mahesa tunggangi meluncur bagaikan anak panah, dan baru berhenti ketika memasuki pintu gerbang desa Talang Baru. Itu pun karena dihentikan oleh petugas jaga.
"Tolong tunjukkan tanda pengenalmu!" penjaga itu menyodorkan tangannya ke arah Mahesa. Perbuatan Mahesa yang ugal-ugalan di jalanan umum mereka anggap menentang peraturan. Makanya mereka begitu kasar.
Mahesa menahan kesabarannya. Dia tidak ingin membuat keributan. Tujuannya tidak lain untuk menemukan anak dan istrinya, secepatnya. Ditahan di pos penjagaan adalah hal yang merugikan baginya. Lagi-lagi, jurus andalan harus keluar. Menyelesaikan urusan dengan uang.
Ibarat mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami. Sulit tapi tetap ada harapan. Manusia paling beruntung adalah mereka yang masih memiliki harapan.
"Di sini ada beberapa orang tabib ternama, Tuan. Memangnya siapa yang sakit? Harusnya Tuan membawa serta keluarga Tuan yang sakit. Terus terang, tabib di sini begitu sibuk dan tidak punya waktu untuk dipanggil mengobati," papar seorang penduduk yang Mahesa tanyai.
Dari penduduk itu juga Mahesa mendapatkan informasi mengenai tempat praktek para dukun dan tabib yang dia ketahui. Mahesa segera bergegas.
Setelah mendengar penjelasan penduduk tadi, Mahesa semakin yakin jika Suhita terjebak masalah. Tabib di tempat itu bahkan tidak mau diundang untuk mengobati di rumah. Bagaimana dengan Suhita yang berasal dari kampung seberang? Bisa jadi tukang pukul yang dikerahkan oleh para tabib itu telah menangkap Suhita.
Mahesa terlalu berlebihan. Dia hanya begitu khawatir karena masih terbebani oleh prinsip hidupnya sebagai pendekar yang sangat menginginkan Suhita Prameswari memiliki kemampuan olah kanuragan seperti dua anaknya yang lain.
Dengan terburu-buru, Mahesa melayang di udara. Matanya langsung meneliti ke setiap sudut tempat praktek para tabib. Dia tidak segan menyelinap masuk ke dalam gudang penyimpanan untuk memeriksa kalau-kalau Puspita dan Suhita disekap di sana. Ya, Mahesa menjadi sangat bodoh dibuatnya.
"Ayo, cepat sedikit! Kita harus segera selesaikan semuanya dengan cepat. Jangan sampai tercium oleh petugas busuk itu. Ayo!" bisik-bisik beberapa orang yang berjalan mendorong gerobak.
Mereka berusaha menutupi segala gerak-gerik mencurigakan mereka dengan berpura-pura membawa barang dagangan. Teknik kuno, membuat Mahesa tersenyum geli melihatnya.
Siapa orang yang mereka maksud?! Apa itu Suhita? Ya, kemungkinan besar iya. Karena mereka keluar dari ruang rawat inap seorang tabib ternama. Tukang pukul tersebut menjalankan misi tentu dengan imbalan yang setimpal dengan mangsa mereka. Mereka pergi hanya empat orang saja, pastinya yang menjadi incaran tidak begitu berbahaya.
Mahesa memutuskan untuk mengikuti keempat orang yang mendorong gerobak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Wedus Gembel
semoga ini pentunjuk penting
2022-05-06
1
Wedus Gembel
selama masih hidup pasti akan mendapatkan kesulitan. itu biasa kalo dapat saweran berarti lagi dangdutan
2022-05-06
1
Thomas Andreas
menegangkan
2022-04-02
1