"Sayang, bagaimana? Apa kita sudah bisa pulang?"
"Ibu, jangan khawatir. Hita yakin, saat sadar nanti, bapak ini akan baik-baik saja. Kita tunggu sampai bapak ini bangun ya, bu. Setelah Hita berikan obat, kita bisa pulang. Bapak akan sembuh," dengan senyum manis Suhita meyakinkan ibunya.
Sementara itu, Puspita tidak bisa bicara lagi. Anaknya begitu teguh pendirian hatinya. Melakukan sesuatu harus sampai tuntas. Suhita Prameswari sangat bertanggung jawab pada pekerjaan yang dia lakukan. Meskipun dia bukanlah seorang tabib profesional tapi prinsipnya bahkan melampaui banyak tabib pada umumnya. Puspita baru akan berhenti bila mana dia sudah mengatakan jika pasien dalam keadaan sehat.
Sudah hari kedua mereka meninggalkan rumah. Dan ini adalah kali pertama Puspita pergi dan bermalam di luar. Dia melanggar pesan suaminya untuk tidak keluar rumah terlalu lama. Puspita takut jika tiba-tiba saja Mahesa kembali ke rumah dan menemukan mereka tidak ada di rumah. Pasti Mahesa akan sangat khawatir. Puspita sadar, Mahesa kerap berlebihan mencemaskan keselamatan mereka. Akan tetapi, sikap Mahesa begitu juga bukan tanpa alasan. Mahesa tidak salah. Dan hal itulah yang membuat Puspita jadi serba salah.
Di satu sisi, Puspita harus menemani putrinya yang sedang berbuat kebajikan, menolong orang yang dalam kesusahan. Tapi di sisi lain, Puspita juga tidak boleh mengabaikan perkataan suami yang merupakan kepala keluarga. Sungguh, semuanya membuat Puspita seolah berdiri di tengah gurun tanpa tahu harus melakukan apa.
"Oh, tabib kecil. Terima kasih banyak, kami tidak punya apa-apa untuk membalas semua kebaikanmu. Kami ..." dengan sangat sungkan, seorang anggota keluarga miskin itu mengeluarkan barang simpanan mereka.
"Paman, bibi, kalian jangan pikirkan apa-apa. Bisa menolong saja, saya sangat bersyukur. Simpan saja apa yang kalian punya, ayah saya sudah mencukupi segala kepentingan hidup saya. Justru saya minta maaf karena cara saya mengobati masih jauh dari kalimat bagus," Suhita segera menolak pemberian. Lagi pula, dia membantu orang hanya untuk kemanusiaan. Sambil mengembangkan ilmu yang dia punya, bukan untuk cari uang. Masalah uang, tinggal menyebut saja Suhita bisa minta berapa pun pada ayahnya yang miliki jumlah tak terbatas sedari dulu sebagai seorang pendekar.
Tok! Tok! Tok! Terdengar pintu digedor dengan kasar.
Ternyata anak dari si bapak yang sakit pulang dalam keadaan mabuk. Mabuk-mabukan di siang hari, sementara ayahnya sedang menderita sakit aneh dan mereka hanya punya sedikit uang. Anak seperti apa itu?
Suhita menatap pria mabuk itu hampir tidak berkedip. Bagaimana bisa ada orang seperti pria itu? Apa sejak kecil dia tidak diajari norma hidup? Suhita melirik ke arah pria tua yang dia obati.
"Dari mana saja kau ini, mabuk-mabukkan di siang hari. Apa tidak lihat, ayahmu hampir mati?! Dari mana kau dapatkan uang?!" dengan nada tinggi, kakak perempuannya menanyai.
"Sudah tua, wajar saja napasnya tinggal sedikit lagi. Hahaha! Cepat siapkan makan, aku lapar!" perintah pria mabuk dengan tidak sopan, "ah, haha! Uang ini aku dapat dari hasil jerih payahku sendiri. Jangan berpikir aku mencuri, aku ini orang baik-baik."
Itulah mengapa negara dan agama melarang minuman keras yang memabukkan. Karena kalau sudah mabuk, orang akan kehilangan akal sehat. Tingkah dan prilaku pun tidak ubahnya seperti binatang.
"Dasar sialan kalian semua! Ya, sudah. Aku mau tidur. Oh, ya. Aku sedang beruntung hari ini. Tabib Surip memberiku kepeng perunggu. Hahaha!"
Pasangan suami istri yang merupakan kakak si pria mabuk begitu terkejut mendengar adiknya menyebut nama Tabib Surip. Itu artinya, keberadaan tabib kecil di pondok mereka telah diketahui. Dan pasti Tabib Surip telah mengirimkan anak buahnya untuk datang.
"Nyonya, gawat! Tabib kecil, baiknya kalian cepat pergi bersembunyi. Anak buah Tabib Surip pasti akan datang dan membuat masalah," dengan gemetaran dia bicara.
"Mengapa harus takut, kita kan tidak berbuat salah. Justru mereka itu yang harus dilaporkan pada petugas keamanan. Tindakan mereka semena-mena," jawab Suhita.
"Putriku. Bibi itu benar, mengalah bukan berarti kalah. Kau tahu 'kan, menghindari masalah adalah sikap orang yang bijak," Puspita membelai rambut putrinya.
Seutas senyum mengembang di bibir Puspita. Senyum untuk meyakinkan anaknya, juga senyum untuk menutupi rasa cemas di hatinya. Inilah hal yang sangat Puspita takutkan, mendapatkan masalah dengan mereka orang-orang yang berhati kerdil. Masalah yang takutnya tidak bisa mereka atasi.
Braaakkk !!!
Sudah terlambat. Orang-orang suruhan Tabib Surip sudah keburu datang. Mereka merusak kursi butut di depan pondok.
"Nyonya, cepat sembunyi!" nenek menarik Puspita dan Suhita untuk segera bersembunyi.
"Ibu ..."
"Sssttt! Mereka tidak seperti yang kau bayangkan, sayang. Diam di sini, semoga kita tidak ditemukan," bisik Puspita seraya menutup mulut anaknya.
Dari celah lubang kecil, Puspita mengintip. Dia bisa melihat di depan pondok lima orang tukang pukul utusan Tabib Surip bicara kasar bahkan menampar. Mereka memaksa untuk pemilik pondok menunjukkan ke mana tabib yang semalam datang.
"Lihat! Obat ini masih baru, pasti mereka bersembunyi tidak jauh," seorang tukang pukul masuk ke dalam pondok.
Puspita bangkit dan keluar dari lemari persembunyian. Percuma saja sembunyi, karena pada akhirnya pondok itu pasti akan digeledah. Jika Puspita keluar, tentu tidak akan ada yang menduga kalau tabib yang mereka cari adalah anak kecil yang masih sembunyi.
Puspita hanya meminta untuk Suhita tetap diam dan jangan sampai bersuara. Tapi tetap saja, Suhita nekad untuk mengintip, dia takut ibunya diapa-apakan. Melihat tampang orang yang datang begitu sangar dan dengan membawa pedang, membuat Suhita jadi merinding. Cara bicara mereka juga begitu kasar dan tidak segan memukul wajah wanita. Sangat berbeda dengan ayahnya yang lembut dan penyabar.
Suhita terus memandangi punggung ibunya yang melangkah keluar menuju pintu. Dari celah itu juga, Puspita melihat seringai menjijikkan dari para tukang pukul setelah melihat wujud Puspita.
Meskipun sudah dikaruniai dua orang anak, tapi hal itu sama sekali tidak nampak pada diri Puspita. Bentuk tubuh Puspita masih membuat air ludah menjadi encer. Dan begitu pula yang terjadi pada para tukang pukul suruhan Tabib Surip.
Kelima orang itu memandangi Puspita seolah hendak menelannya bulat-bulat. Mendadak hasrat mereka bangkit dan jadi melupakan tugas yang sedang diemban.
Sungguh, dari celah lubang Suhita sangat jijik mendengar kalimat yang dilontarkan pada ibunya. Orang-orang itu sangat tidak tahu sopan santun, tanpa sungkan mereka mengajak untuk Puspita tidur bersama. Melayani mereka, layaknya suami istri. Tangan mereka juga bergerak hendak menyentuh dagu Puspita, tapi selalu Puspita tepis dengan kasar.
Mata Suhita berkaca-kaca menyaksikan hal itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Benar kata ibunya, jika dia keluar sekarang maka hanya akan menjadi beban. Orang-orang jahat itu, tidak akan sungkan untuk menyakiti siapa saja. Suhita hanya bisa berdoa, berharap Tuhan menyampaikan pesannya pada sang ayah untuk cepat menyelamatkan mereka.
"Aku punya ini. Aku jamin kalian tidak akan menyesal," Puspita menunjukkan perhiasan emas yang mahal. Dia berharap, dengan itu mereka akan pergi. Bukannya Puspita tidak bisa melawan, hanya saja dia tidak ingin membiarkan putrinya menonton kekerasan. Sebisa mungkin, Puspita harus menghindari perkelahian.
"Ah, emas?! Rupanya kau orang kaya? Tapi ... terus terang kami lebih tertarik pada tubuhmu, rasanya pasti berbeda. Ayolah, layani kami dan akan kami biarkan kau pergi," sambil bicara, preman kampung itu berusaha menyentuh bokong Puspita.
Plaaakk!
Puspita menampar laki-laki kurang ajar itu dengan keras. Hanya saja, kondisi Puspita sekarang tidak memungkinkan untuk dia merobohkan seorang yang memiliki postur tubuh yang lebih besar dan tinggi darinya. Puspita tidak lebih hanyalah seorang wanita biasa, dia hanya punya sedikit dasar jurus silat.
"Hahaha! Sangat mengasikkan ... cara 'mainmu' pasti sangat binal," dengan seringai menjijikkan, orang itu mengelus bekas tamparan Puspita kemudian menjilati tangannya seolah sedang menjilat tangan Puspita. Pemandangan yang membuat mual.
Puspita Dewi tidak punya pilihan lain. Dia juga tidak bisa kabur, karena anaknya ada di dalam. Dengan terpaksa, ibu muda itu melayangkan tinjunya ke wajah seorang preman yang berdiri di depannya.
Bugh! Desh! Pukulan Puspita tidak bisa dihindari oleh lawannya. Puspita berlari ke tengah halaman, dia melakukan perlawanan pada lima orang tukang pukul yang coba menindasnya.
Meskipun Puspita tergolong tidak memiliki kemampuan apa-apa, kemampuan silat tangan kosong yang dia miliki sekarang jauh menurun dan tidak sampai separuh seperti saat pertama dia terkena pengaruh racun waktu. Tentu itu dulu, dan kemampuan itu jika dibandingkan dengan dirinya saat menjadi seorang abdi di Padepokan Rajawali. Tapi tidak seperti saat ini, di mana lawannya hanyalah preman kampung biasa.
Sring! Sring! Kompak, kelima orang lawan Puspita menghunus pedang mereka masing-masing.
Wajah mereka sudah lebam tidak karuan, mereka tidak akan bisa menang menghadapi Puspita hanya dengan tangan kosong. Sekarang, menghabisi adalah hal yang mereka inginkan.
Tubuh Suhita Prameswari bergetar hebat. Dari celah lubang dia bisa melihat orang-orang itu akan menghabisi nyawa ibunya. Ada lima bilah pedang yang sangat tajam, berkelebat dan diarahkan pada ibunya. Perlahan, air mata Suhita mengalir membasahi pipi. Bagaimana ini?
"Tabib kecil, mengapa diam di sini?" Suhita terkejut ketika tangan kasar mencengkeram pundaknya.
Ya, pria mabuk tidak tahu diri itu yang menangkap Suhita. Dasar tidak tahu budi! Sudah untung Suhita mau menolong ayahnya tanpa biaya sepeser pun. Dia juga yang melaporkan Suhita pada Tabib Surip hingga sekarang anak buahnya datang mengacau. Lalu sekarang, apa dia sendiri yang akan membawa pada Tabib Surip dan menukar Suhita dengan kepeng uang?
"Ibuuu !!! TOLOOONG !!!" Suhita berteriak pada ibunya. Dia meronta-ronta ingin melepaskan diri.
"Hitaaa! Hei, jangan sakiti putriku!" Puspita memburu ke arah anaknya.
Tapi, lima lawan yang sedang Puspita hadapi tentu tidak mengizinkan hal itu. Salah satu dari mereka mengambil kesempatan saat Puspita menoleh ke arah anaknya. Dengan cepat, orang itu menyapu kaki Puspita hingga jatuh terbanting.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Lalu Ell Leo
alurnya terlalu lambbat dan betele tele
2022-05-31
1
Wedus Gembel
kalo Mahesa sempat datang diwaktu yg tepat bakalan tamat riwayatnya preman kampung ini
2022-05-06
1
Thomas Andreas
ibu dan anak
2022-04-02
1