Benar saja, baru saja beberapa langkah Mahesa dan Dewi Api meninggalkan gua laba-laba yang telah rata dengan tanah, di atas tebing yang tinggi ada sekelebat bayangan menyelinap dengan cepat. Tidak perduli itu adalah bayangan seekor lebah, yang jelas matanya digunakan untuk memata-matai Mahesa dan gua laba-laba. Itu artinya, dia berurusan dengan Mahesa.
"Seekor ular yang menghampiri tongkat pemukul. Suamiku, biar aku saja yang urus!" Dewi Api telah mendahului melesat mengejar bayangan tersebut.
"Hei, hati-hati! Di sana banyak jebakan!" teriak Mahesa.
Dewi Api acuh mendengarnya. Meskipun dia bisa mendengar dengan jelas. Malah semakin mempercepat gerakannya saja.
Mahesa tidak menyusul istrinya. Dia menuju jalan lain yang juga diduga menuju ke arah yang sama. Karena sehebat apa pun seseorang menyembunyikan energi bertarungnya, tetap saja jejak energi yang sebelumnya telah dilepaskan oleh tubuh masih bisa diendus oleh seorang dengan kemampuan tinggi layaknya Mahesa. Di sana, Mahesa menemukan setidaknya ada empat pendekar yang bersembunyi. Hanya saja, Mahesa belum menemukan tempat persembunyian mereka dengan jelas.
Mahesa memicingkan matanya, Ilmu Mata Naga dia gunakan di balik tindakannya itu. Ada seorang pria yang sedang tersesat di sana. Nampaknya dia salah mengambil jalan, dan hanya berputar-putar di dalam labirin batu di depan mereka.
Gawat! Ada labirin di sana, bagaimana dengan Dewi Api? Mahesa mengkhawatirkan keadaan istrinya. Pasti orang yang dikejar oleh Dewi Api tadi, membawa istri pertama Mahesa itu memasuki labirin.
"Hei, anak muda. Apa kau juga tersesat? Labirin sialan! Hampir setengah hari aku berputar dan ya, kau lihat sendiri. Aku masih di sini," dengan wajah yang lelah dan pucat, orang itu menyambut Mahesa dengan antusias. Sepertinya dia merasa lega karena memiliki seorang teman.
"Pastinya kau sangat haus. Aku lihat, kau tidak bawa persiapan," pria itu mengambil kendi air yang tergantung di pinggangnya. Lalu menyerahkan kendi itu pada Mahesa.
Mahesa tersenyum masam setelah mencium aroma teh yang ada di dalam kendi. Permainan anak kecil! Bahkan Suhita Prameswari yang baru berusia tujuh tahun pun akan tahu jika teh itu beracun. Jelas sekali jika orang ini adalah suruhan Ki Wijen dan hanya berpura-pura tersesat. Untuk kemudian membawa Mahesa ke dalam labirin dan sekalian dia sesatkan semakin dalam.
"Ayo jangan malu-malu. Itu adalah teh dari pegunungan Manghijau, teh yang sangat baik untuk kembalikan kebugaran tubuh," dengan meyakinkan, orang itu bicara. Dia bisa berujar demikian hanya karena tidak menduga jika orang yang menjadi lawan bicaranya merupakan seorang ahli pengobatan. Racun jamur seperti itu, adalah mainan Mahesa saja. Bahkan seekor burung pun tidak akan mati jika Mahesa yang memberikan minumnya.
"Tuan, apa seharian ini kau minum teh ini? Kau membuat ku sangat kagum. Terima kasih atas niat baiknya. Akan tetapi, jujur aku katakan kalau teh ini be-ra-cun," Mahesa mengeja kata beracun di akhir kalimatnya, membuat pria tersebut tersedak air liurnya sendiri.
"Ah, tidak mungkin. Kau begitu pandai bercanda. Hahaha!" menutupi rasa terkejutnya, pria itu tertawa terbahak.
Mahesa hanya membalasnya dengan senyum masam. Tanpa bicara lagi, Mahesa mengerahkan tenaga dalam pada telapak tangannya yang memegang kendi. Hingga saat itu juga air di dalam kendi menjadi berbuih kuning.
"Kau beruntung, karena tetap baik-baik saja meskipun telah meminum teh ini," Mahesa mengembalikan kendi teh yang telah dipenuhi aliran buih berwarna kuning.
"Ah, bagaimana bisa begini? Kau begitu pandai bermain sulap. Hehehe! Aku ..." pria itu terkejut saat kembali menatap ke arah Mahesa, orang yang dia ajak bicara sudah tidak berada di tempat semula. Entah kemana perginya, bahkan pria itu tidak menyadari kapan Mahesa bergerak.
Sementara, Mahesa telah menyelinap di balik batu besar. Dia meninggalkan orang yang diduga merupakan kaki tangan Ki Wijen yang sengaja hendak meracuninya. Jika bukan karena niat buruk, pastinya tidak mungkin dia hendak meracuni Mahesa dengan begitu saja.
Mahesa terus mengikuti arah langkah pria tersebut dari jarak yang aman. Pastinya, setelah bosan mencari orang itu akan kembali pada rombongan. Saat itu, Mahesa akan mengetahui di mana keberadaan persembunyian mereka.
"Ah?! Sial!" mata Mahesa terbelalak lebar saat mendapati seorang wanita yang juga sedang berjalan di dalam labirin. Tidak lain, wanita itu adalah istrinya, Dewi Api.
Dan celakanya, Dewi Api sedang bersama dengan seorang pria yang berpenampilan sama dengan pria yang Mahesa ikuti. Pria pasti menawarkan teh yang serupa, dan nampak jika dia sudah memberikan kendi berisi teh beracun pada Dewi Api. Secepatnya, Mahesa meluncur mendekat ke arah istrinya.
Terlambat sudah. Air di dalam kendi telah lebih dulu mengalir ke dalam perut Dewi Api. Setibanya di sana, Mahesa hanya bisa menepuk jidat.
"Ah, bagaimana bisa?!" Dewi Api menunjuk pada suaminya yang telah berdiri di dekatnya.
Mahesa hanya membalas dengan senyum, dia justru mengalihkan pandangannya pada pria yang memberikan air minum. Di tatapnya dengan tajam pria itu, seakan hendak mencongkel isi kepala hanya dengan tatapan mata.
Tidak berselang lama, kaki pria tersebut telah terangkat satu jengkal dari atas tanah. Bukan karena menggunakan ilmu meringankan tubuh, melainkan leher sang pria yang telah berada dalam cengkraman tangan Mahesa.
"Kepa*rat! Teh ini beracun!" Dewi Api memegangi lehernya yang terasa sakit. Tanpa basa-basi, kendi di tangannya langsung dihantamkan pada pria yang sedang Mahesa cekik.
Braaak! Kendi air minum itu hancur berkeping-keping setelah menghantam kepala si pria dengan sangat keras. Sontak tubuh pria itu jatuh ke tanah. Darah mengucur dari kepalanya yang terluka.
"Suamiku, bagaimana ini?! Sakit!" Dewi Api memegangi lehernya.
"Hanya sakit sedikit. Bukankah tadi sebelum masuk gua laba-laba kau telah meminum pil anti racun? Tenang saja, sebentar lagi juga sakitnya akan hilang. Racun itu tidak bekerja di dalam tubuhmu," jawab Mahesa santai.
Dewi Api menghela napas lega. Memang, rasa sakit seperti itu bukanlah hal yang berarti. Setiap pertarungan, akan merasakan rasa sakit yang lebih parah. Akan tetapi, yang menjadi ketakutan Dewi Api ialah racun yang sudah terlanjur dia telan. Jadi, sedikit rasa sakit yang dirasa, membuat hatinya berdebar tak karuan. Dia pernah rasakan betapa menyiksanya sakit akibat terkena racun. Terus terang, hal itu masih menyisakan trauma tersendiri.
"Kita berada di dalam labirin. Mereka pasti orang-orang Ki Wijen yang bermaksud mencelakai kita," ucap Mahesa sambil memeriksa denyut nadi istrinya, dan syukurlah. Dewi Api baik-baik saja. Itu menandakan Suhita Prameswari telah berhasil menguasai kemampuan pengobatan racun tumbuh-tumbuhan dengan sempurna.
"Suamiku, biar aku bereskan orang-orang itu. Kepa*rat! Teh yang mereka bawa, semuanya beracun!" Dewi Api melangkah menyambut empat orang yang datang mendekat. Pertama-tama dia menendang kepala orang yang tadi meracuninya. Pria yang baru setengah sadar itu harus kembali tersungkur ke bumi. Kali ini, posisi kepalanya berubah menghadap ke belakang. Orang itu tewas seketika.
"Seraaang !!!" serentak empat orang yang datang menghunus pedang dan mengepung Dewi Api.
Dewi Api melompat menyambut serangan pedang salah seorang lawannya. Tusukan pedang itu melintas hanya beberapa senti di atas bahu Dewi Api. Tapi itu sengaja dilakukan karena Dewi Api bermaksud menangkap lengan lawannya.
Tep! Kraak! Dengan sangat cepat Dewi Api memelintir tangan orang itu hingga patah. Pedang yang semula terarah kepadanya, beralih Dewi Api tempelkan pada leher lawannya. Sebelum habis teriakan karena lengannya yang patah, pria itu harus membiarkan begitu saja pedang yang masih dia genggam menggorok leher dirinya sendiri.
Sangat mengerikan. Dewi Api menyembelih lawan seperti memotong seekor belalang. Kemudian, pedang yang berlumuran darah itu dia lemparkan pada salah seorang lawan yang lain.
Craasshh! Dengan mudah, pedang itu menembus dada korbannya hingga menyisakan hanya gagangnya saja. Sementara, seluruh bilah pedang menusuk ke dalam dada hingga tembus ke punggung.
Tinggal tersisa dua orang lagi. Sungguh, mereka sangat terkesima. Dua orang rekannya dihabisi dalam waktu yang kurang dari satu menit. Seorang yang berada di depan Dewi Api terkesiap, saat menemukan Dewi Api menatapnya dengan tajam. Pria itu belum mengalihkan pandangannya dari mata Dewi Api, saat tiba-tiba Dewi Api telah berada pada jarak yang sangat dekat. Tangan pendekar itu terjulur, melepaskan pukulan tapak yang tepat mengenai dada.
BAAMM! Tubuh pria itu terdorong ke belakang sangat jauh. Sebelum menyentuh tanah, api menyala membakar seluruh tubuhnya. Tanpa sempat kelojotan lagi, orang itu kehilangan cara untuk mengambil napas. Mati.
Klentaangg! Terdengar suara besi yang berada dengan batu.
"Ampuuunn ... mohon ampuni nyawaku, pendekar. Ampuunn ..." seorang pria yang tersisa melemparkan pedangnya jauh-jauh hingga membentur batu dinding labirin. Dia berlutut dengan gemetaran, memohon belas kasihan.
"Kau lihat, semua temanmu celaka. Apa menurutmu kau pantas untuk tetap hidup?" tanya Dewi Api berjalan mendekat.
Dewi Api mengerahkan aura membunuh dengan sangat pekat. Hingga suasana di sekitar mereka berubah menjadi sangat panas, seperti berada di depan tungku api neraka.
"Ampuni saya, Nona. Ampuunn ... saya akan tunjukkan jalan keluar dari labirin ini. Saya janji," mohon pria itu.
"Siapa yang mau keluar?! Pertemukan aku dengan pimpinan kalian!" bentak Dewi Api dengan nada tinggi.
"Baik, asal Nona ampuni saya, maka saya pasti akan tunjukkan keberadaan pimpinan," dengan memberikan diri, orang itu menatap wajah Dewi Api sebentar.
Dewi Api mengangguk. Dia kemudian meminta orang itu untuk berdiri dan melihat pada sebongkah batu besar yang berada sangat jauh. Saat pria tawanan itu memperhatikan ke arah batu yang dimaksud, Dewi Api memetikkan jarinya. Seketika batu itu hancur berkeping-keping. Dan begitulah kira-kira yang akan terjadi jika orang itu bermain-main dengan Dewi Api. Asalkan Dewi Api mau, maka terlalu mudah untuk menghabisi nyawanya.
Berada di bawah tekanan, pria itu mengantar sepasang pendekar untuk menemui pimpinannya yang bekerja di bawah perintah Ki Wijen.
Sungguh berpengaruhnya Ki Wijen, hingga dia miliki pengikut yang begitu banyak. Siapa sebenarnya pria tua itu? Nampaknya dia sedang melakukan pergerakan bawah tanah untuk membangun satu kekuatan besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Thomas Andreas
dewi api emang luar biasa
2022-04-02
1
Asep Dki
jmhn berani melawan ama 2 pendekar ini.. mati pilihannya...wkwkwk
2021-04-01
3
DiDi
siluman laba laba abis itu teh beracun ngikutin cerita sun go kong nih
2021-02-08
5