Tanpa bisa dihindari, pertarungan di dalam gua sempit yang merupakan jalan rahasia klan mata hantu pun terjadi. Ruangan cukup sempit, tapi Mahesa justru gunakan sebilah pedang. Tidak biasanya, bukankah dia dikenal sebagai seorang pendekar tapak? Atau Mahesa sengaja mempersulit diri sendiri? Yang benar saja.
Dumbala dan dua orang rekannya terpaksa meladeni permainan Mahesa, tidak ada kesempatan untuk mereka bisa kabur. Lalu seandainya pun bisa melarikan diri, maka sama saja dengan mereka tunjukkan jalan menuju markas. Karena satu kesempatan yang Mahesa berikan hanya jalan yang menuju ke dalam.
Di dalam gua tersebut, Dumbala dan dua orang rekannya dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Bayangkan saja, mereka harus ladeni permainan seorang pendekar sekelas Elang Putih yang saat ini justru menggenggam pedang. Apa yang bisa mereka lakukan? Pula menghunus pedang? Terpaksa. Ya, sangat terpaksa hal itu di lakukan.
Mata pedang di tangan Mahesa sudah berhasil menghisap tetes darah bahkan dari saat pertama diayunkan. Jika saja Dumbala dan dua rekannya tidak kunjung menghunus senjata mereka, itu sama saja dengan mereka merelakan dengan suka hati sedikit demi sedikit bagian tubuh mereka dikoyak oleh Mahesa.
"Sialan kau! Apa maksudmu?! Jika saja mau ambil nyawaku, mengapa kau harus menyiksa begini? Kau sungguh biadab!" seorang anak buah Dumbala mengumpat. Dia sadar, jika Elang Putih hanya bermain-main. Kalau saja mau, tentu sejak awal sudah benamkan pedang tersebut di tubuh mereka bertiga.
"Hei, kau ..." awalnya Madaya hendak berikan peringatan pada rekannya itu, agar mereka tidak terpancing oleh gertakan yang dilakukan oleh Elang Putih.
Madaya sudah menduga jika Elang Putih hanya melakukan tindakan yang berupaya untuk menekan mental mereka. Tidak lebih. Karena untuk membuat mereka mati, tentu lebih mudah gunakan tenaga dalam daripada harus repot-repot gunakan permainan pedang.
Namun Madaya terlambat, rekannya telah lebih dulu melompat dan menusukkan pedangnya ke arah Mahesa. Orang itu begitu mudah terbakar emosi setelah merasa jika harga dirinya sebagai seorang pendekar diinjak-injak.
Mahesa tersenyum masam, dia menatap ujung pedang yang meluncur ke arahnya. Tepat ketika pedang tersebut hampir sampai, Mahesa menangkapnya hanya dengan dua jari.
Tep! Seketika laju pedang itu terhenti, tidak bisa bergerak. Pedang berikut orang yang menggenggamnya justru terangkat dan melayang di udara. Detik selanjutnya, tubuh tersebut telah menghantam dinding gua dan tidak bergerak lagi.
Madaya terhenyak. Jakunnya naik turun berulang kali, membasahi kerongkongannya yang terasa hampir putus, "kakak, bagaimana ini? Kita tidak mungkin hadapi Pendekar Elang hanya dengan berdua saja. Kembali ke klan dan melapor? Bukankah kita juga akan celaka?"
"Kau benar, kalau begitu bantu aku untuk habisi pendekar busuk ini. Setidaknya kita mati sebagai kesatria. Mati dalam misi jauh lebih terhormat daripada harus menanggung malu dengan dua kali kegagalan," Dumbala segera menyarungkan pedangnya. Dia kemudian mempersiapkan pukulan tenaga dalam yang dia miliki. Tidak perduli pada berita atas cerita orang akan hebatnya tenaga dalam Elang Putih, sebagai pendekar tentu tidak ada salahnya untuk mencoba.
"Bagus! Ini pasti lebih menarik. Hei apa kau tidak tertarik untuk bergabung?" Mahesa menunjuk pada Madaya.
Mahesa sadar jika yang ia lakukan merupakan tindakan sia-sia yang hanya membuang waktu secara percuma. Mahesa hanya bersenang-senang sejenak, melampiaskan rasa kesal atas perlakuan sang istri. Bagaimanapun juga, Mahesa hanya manusia biasa yang punyai batas kesabaran serta mood yang jelek.
Rencana Mahesa sangatlah buruk. Dia ingin menangkap ketiga orang anggota klan mata hantu tersebut untuk digunakan sebagai bahan latihan anaknya. Mahesa tidak diberi kesempatan untuk mengajarkan ilmu bela diri maupun tenaga dalam pada Raka Jaya, tapi setidaknya dia punya cara untuk jadikan putranya sebagai seorang pendekar yang tidak takut akan aliran darah. Dalam pengawasannya, Mahesa berencana untuk hadapkan Raka Jaya pada pertarungan hidup dan mati.
Dalam kacamata Mahesa, dunia persilatan saat ini sangatlah kacau. Makanya dia sangat menginginkan anak-anaknya menguasai kemampuan olah kanuragan sedini mungkin. Ceritanya sangat berbeda dengan dirinya ketika kecil yang tinggal di hutan. Selain binatang buas, tidak ada bahaya lain yang mengancam. Dan pada kenyataannya, manusia jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan binatang buas paling berbahaya sekali pun. Manusia yang diselimuti ambisi, akan menjadikan dirinya lebih rendah dari seekor binatang.
BAAMMM !!!
Ledakan terjadi saat energi tenaga dalam di telapak tangan Dumbala beradu dengan pukulan Tapak Naga milik Mahesa. Tanpa diketahui kemana hilangnya, tubuh Dumbala hilang dari pandangan. Begitu juga dengan seorang rekannya yang lain. Membuat Madaya celingukan. Bingung, gentar, dan segala kecemasan menyelimuti hatinya membuat Madaya langsung ambil keputusan untuk gunakan kemampuan terakhir, yakni jurus langkah seribu alias kabur dari pertarungan.
"Dasar bodoh! Memutuskan setelah semuanya terlambat!" Mahesa menggelengkan kepalanya. Lalu kemudian menyusul langkah kaki Madaya.
Madaya akan menuntun Mahesa menuju klan mata hantu, tentu saja dia tidak akan membunuh orang itu selama masih berguna. Mahesa hanya membuntutinya dari jarak yang cukup aman.
°°°
Sementara itu di kediaman Dewi Api, di Padepokan Api Suci. Raka Jaya berjalan mendekati ibunya yang terlihat begitu gelisah. Hilir-mudik tidak karuan. Raka Jaya kemudian menghentikan langkahnya, dia tidak enak hati harus mengganggu ibunya. Dia tahu betul, bagaimana sifat ibunya. Biarlah Raka menunggu sampai ibunya berbalik badan dan menyadari jika dia datang menemui.
"Sialan! Kemana dia?! Mengapa belum juga datang?" Dewi Api mengumpat. Entah sudah berapa kali wanita itu mengulangi umpatannya.
Sudah lama dia menunggu suaminya kembali. Tapi sampai detik itu belum juga datang. Awas saja kalau datang tanpa alasan yang bisa dimaklumi! Dewi Api tidak akan berbelas kasih.
Mata Dewi Api terlihat menyala merah. Itu tandanya dia memendam kobaran amarah di dalam dada. Entah mengapa, Mahesa selalu saja pandai membuat darah dalam dada istrinya itu bergejolak panas.
Habis sudah waktunya. Dewi Api tidak lagi menghiraukan sang suami. Mau pulang atau tidak, terserah! Dia cukup mengarang sedikit cerita pada anaknya nanti. Tapi betapa terkejutnya Dewi Api, saat dia berbalik badan dan berniat untuk masuk, Raka Jaya sudah berdiri memandangi dirinya. Sejak kapan bocah itu berdiri di sana?
Dewi Api segera memaksakan diri untuk tersenyum. Menghapus segala raut kekesalannya dan bersikap manis di depan anaknya.
"Ibu menunggu ayah, ya? Maaf, ini semua salahku. Harusnya aku tadi lebih dulu memberi tahu ibu. Ada kakek, aku jadi tidak enak untuk bicara, bu," Raka Jaya bicara dengan suara yang sangat lemah.
Dewi Api jadi serba salah dibuatnya. Memangnya dia se-"galak" itu ya? Sampai-sampai anaknya sendiri takut untuk bicara. Jika tidak berbuat salah, tentunya dia juga tidak akan marah.
Dewi Api jongkok di depan anaknya. Dengan lembut, dia membelai rambut Raka Jaya, "Ibu yang harusnya minta maaf. Kau tahu 'kan? Ibu hanya khawatirkan ayahmu, jadi ... ya, sudahlah. Sekarang kita makan saja lebih dulu. Mungkin ayahmu pulangnya malam," suara Dewi Api sangat lembut. Berubah seratus persen dari beberapa waktu tadi.
"Ibu, ayah bilang akan menangkap orang yang hampir mencelakai aku. Katanya aku harus membalasnya. Ibu dukung aku, ya. Supaya bisa kalahkan penjahat itu!" Raka Jaya mengepalkan tangannya penuh semangat membara.
Apa?! Si Kepa*rat itu sudah mengajari anaknya untuk menyalakan api dendam? Kurang ajar! Hampir saja, Dewi Api keceplosan. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa Mahesa memikirkan hal bodoh seperti itu? Dia telah meracuni pola pikir anaknya. Bukan begitu caranya jika ingin melatih seorang anak. Untung saja, ayah angkat Dewi Api ikut membela saat Dewi Api mengambil hak untuk melatih kemampuan tenaga dalam Raka Jaya.
"Emmm ... apa ayahmu katakan kemana dia akan pergi?" sambil memaksakan senyum, Dewi Api mencivm kedua pipi Raka Jaya.
"Ayah bilang, rahasia. Tapi dia memberi tahuku kalau akan pergi ke pasar tempat kejadian. Di toko yang terbakar itu, pasti ada petunjuk penting. Ayah bilang begitu," Raka Jaya menjelaskan.
Sialan! Dewi Api pun sudah berpikir ke arah sana, hanya saja geraknya kalah cepat oleh sang suami. Dewi Api yakin, kalau Mahesa akan segera menyelesaikan masalah yang melibatkan putranya. Dia sengaja membuat Dewi Api kehilangan kesempatan. Sungguh licik! Dewi Api sangat tidak menyukai hal itu.
"Sayang, bagaimana kalau ibu menyusul ayahmu terlebih dahulu. Kau makan saja lebih dulu, ya," Dewi Api membujuk Raka.
Betapa senangnya hati ibu muda tersebut saat anaknya menganggukkan kepala. Dia akan segera pergi, dan tidak akan memberi kesempatan pada suaminya untuk bertindak seorang diri. Raka Jaya adalah anaknya, tidak akan dibiarkannya Mahesa melilitkan budi.
Meskipun saat ini, baik Mahesa maupun klan mata hantu tidak lagi ada di pusat kota, pastinya Dewi Api akan bisa menyusul. Terutama kalau mereka bertarung, Dewi Api miliki cara untuk menemukan aura atas energi tenaga dalam yang Mahesa keluarkan.
Menurut kalian, suami mana yang akan lebih hebat dari sang istri? Mungkin tidak ada. Karena rata-rata suami akan lebih menghormati istrinya, meskipun terkadang keinginan istri berada di luar nalar. Karena sayang dan takut kehilangan? Tidak juga. Hanya saja suami dituntut untuk lebih mengalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Thomas Andreas
mahesa
2022-04-02
0
Andi Suliono
Dewi api terlalu menekan suami.. lebay
2022-01-21
2
Hyang Sapta Karuna
istrinya terlalu lebay
2021-12-22
2