Mahesa menendang serpihan gentong ke arah Singa Mendeleng, dengan balutan energi tenaga dalam yang Mahesa sertakan, membuat tanah liat tersebut menjadi sangat kuat. Hingga membuat Singa Mendeleng harus menggunakan pedang pusaka di tangannya untuk bisa menghalau serpihan gentong tersebut dan membuatnya hancur menjadi debu.
"Hahaha! Aku akan merasa senang, jika kau melawan," dengan tawa penuh semangat, Singa Mendeleng kembali mengayunkan pedangnya ke arah Mahesa. Kali ini dia tidak main-main, pedang di tangannya sampai mengkilap bercahaya karena dialiri tenaga dalam yang sangat besar.
Mahesa tidak ingin terlalu berlama-lama di sana, takutnya menimbulkan kecurigaan yang malah semakin memancing mata orang-orang untuk berdatangan. Untung saja, mereka berada di pinggir desa, hingga sedikit yang bisa menyaksikan pertarungan tersebut.
Dengan menggunakan jurus rahasia pedang dua belas, Mahesa membalas serangan pada Singa Mendeleng dengan menggunakan pusaka langit. Setidaknya, kemampuan pedang pusaka yang Mahesa gunakan berada di atas pusaka milik Singa Mendeleng hingga dari situ Mahesa sudah bisa menekan Singa Mendeleng dengan lebih cepat.
"Hump! Sialan! Kau memang sangat cepat!" Singa Mendeleng tersentak kaget saat tiba-tiba saja pedang di tangan Mahesa sudah sampai di bahu kanannya. Terpaksa Singa Mendeleng menjatuhkan diri untuk menghindari luka yang lebih parah menggores di bahunya.
Tapi Mahesa tidak serta merta berpuas diri dengan memberikan luka kecil di pundak Singa Mendeleng. Pedang di tangannya terus memburu tubuh Singa Mendeleng yang bergulingan di atas tanah.
"Kena kau!" Singa Mendeleng berteriak keras seraya menyabetkan pedangnya ke arah kaki Mahesa.
Mahesa segera melompat, membumbung tinggi ke udara lalu kemudian hinggap di dahan pohon. Dia menunggu Singa Mendeleng kembali menyerangnya. Mata Mahesa menatap tajam, mengawasi setiap detail gerakan yang Singa Mendeleng lakukan. Dan saat orang itu melompat menyusul Mahesa ke dahan pohon, Mahesa juga melompat turun. Hingga keduanya bertemu dan beradu pukul di udara.
Wuusss! Pedang Singa Mendeleng melintas beberapa senti di dekat paha Mahesa. Sebaliknya, kaki Mahesa berhasil mendarat dengan keras di dada Singa Mendeleng.
Bugh! Bruuukk! Singa Mendeleng jatuh mendahului, tubuhnya terbanting keras menghantam bongkahan batu.
"Uhuukkk ..." darah segar keluar dari mulut Singa Mendeleng. Punggungnya pun cabik, terkoyak oleh batu yang tajam.
Craasshh! Craasshh!
Tanpa memberikan kesempatan untuk lawannya bangkit, Mahesa melepaskan beberapa tombak energi yang menembus dada dan perut Singa Mendeleng sekaligus mengantarkan pendekar tersebut menuju alam baka.
Mahesa belum menjejakkan kakinya di atas tanah saat Singa Mendeleng menghembuskan napas terakhirnya. Pendekatan lawas yang selalu berseberangan paham dengan Mahesa itu tewas pada hari itu. Akhirnya ... setelah beberapa kali bertarung, Mahesa menyelesaikan juga perlawanan orang itu.
Singa Mendeleng bukanlah orang jahat. Dia tidak pernah mencelakai penduduk, melakukan perampokan ataupun hal-hal lain yang bersifat merugikan lain. Dia bermusuhan dengan Mahesa hanya karena ingin disebut sebagai seorang pendekar. Maka dari itu, dia terobsesi untuk bisa mengalahkan Mahesa. Suasana hati Mahesa sedang kurang baik, ditambah lagi dengan kecemasannya terhadap keselamatan Puspita dan Putrinya membuat Mahesa tidak bisa mengontrol energi tenaga dalam hingga melepaskan pukulan yang berada di luar kemampuan lawan untuk menahan.
Singa Mendeleng, tamat. Mahesa segera berlari menghampiri kudanya dan melanjutkan perjalanan. Dia menggebrak kuda seperti orang kesetanan, hingga dalam waktu yang singkat telah jauh meninggalkan bekas pertempuran. Mahesa baru berhenti ketika telah melewati dua desa. Sudah sangat jauh.
"Tuan, silahkan masuk. Mari ..." dengan sopan, pelayan kedai menyambut dan menuntun kuda milik Mahesa.
"Aku tidak ingin masuk. Apa bisa antarkan makanan ke tempat peristirahatan ini?" tanya Mahesa pada pelayan tersebut seraya menyodorkan kepeng perak yang langsung membungkam mulut si pelayan.
Di dalam kedai, pasti banyak para pendekar dan bangsawan yang minta di layani. Belum lagi takutnya di antara mereka ada yang mengenali wajah Mahesa. 'Kan bisa repot. Sungguh, Mahesa tidak ingin mengotori tangannya dengan darah. Perjalanan kali ini, memang sedikit berbeda. Mengapa juga dia harus bertemu dengan Singa Mendeleng lalu bertarung dan akhirnya membunuhnya.
Setelah makan Mahesa akan segera melanjutkan perjalanan. Hatinya mendadak berdebar tidak karuan. Ingatannya selalu saja tertuju pada Suhita, putri perempuannya itu pasti sudah lama menunggu. Atau jangan-jangan dia sudah selesai meracik obat? Mahesa tersenyum sendiri mengingat hobi nyeleneh putrinya.
°°°
"Ibuuu, Ayah sudah kembali, Ayah sudah kembali. Lihatlah, Bu. Ayah benar-benar membawakan daging rusa untukku," Prameswari menyambut kedatangan Mahesa.
Mahesa segera melompat turun dari punggung kuda. Dia membopong putrinya dengan penuh kasih.
"Ayah bawa daging rusaknya banyak sekali. Bagaimana caraku untuk menghabiskannya?" Prameswari menatap pada bungkusan daging yang dibawa Ayahnya. Sebenarnya itu bukan daging rusa, melainkan daging kerbau yang Mahesa beli di pasar. Tapi anak kecil, mana tahu itu. Yang dia tahu hanyalah kebohongan dari cerita yang dikarang oleh Ibunya.
"Ah, itu sangat gampang, Putriku. Kau tinggal minta bantuan Ibumu, kalau dia sudah turun tangan, pasti semuanya akan beres," ucap Mahesa sambil tertawa.
Puspita tersenyum, menyambut kedatangan suaminya. Setelah mengemasi barang bawaan, dan mempersiapkan air untuk mandi Puspita segera mengambil alih Prameswari.
"Kanda, silahkan membersihkan diri lebih dulu. Sini, Nak. Biar Ayahmu mandi. Lihat pakaiannya sudah penuh dengan debu," ujar Puspita membawa putrinya ke ruang depan.
Dalam balutan senyum, Puspita menghela napas dengan dalam, saat melihat rona merah di leher sang suami. Tanda seperti itu selalu Puspita dapatkan setiap kali Mahesa pulang dari Dewi Api. Bukan hanya di sana, tapi di tempat lain juga pasti ada. Seolah Dewi Api menegaskan jika yang nanti malam Puspita dapatkan adalah 'bekas'. Puspita sudah tidak lagi merasa aneh. Sudah terbiasa. Dan mungkin itu memang resiko hidup sebagai istri kedua. Tapi Puspita sudah sangat senang, karena kenyataannya Mahesa tidak membeda-bedakan kasih sayang antara istri pertama dan kedua. Justru, Puspita merasakan jika Mahesa cenderung lebih mencintai dirinya. Sama halnya juga dengan dirinya. Apa pun yang terjadi, bahkan meski Mahesa bukan suaminya, cintanya tidak akan pernah lekang oleh waktu.
"Dinda, maaf. Aku ..." Mahesa hendak bicara. Tapi Puspita segera menghentikannya dengan menghadiahi kecvpan hangat di pipi sang suami. Puspita sudah bisa menduga jika Mahesa akan memohon maaf. Lalu kesalahan apa lagi yang harus dimaafkan? Mahesa hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Berlaku adil adalah satu hal yang harus dilakukan.
"Kanda, kau harus lihat ini," Puspita menunjukkan kotak kayu pada Mahesa. Isinya ialah ramuan obat yang sudah ditumbuk. Semua itu adalah hasil karya Putri kecilnya.
Obat untuk pertolongan pertama pada luka dan satu lagi yakni untuk anak sakit panas. Sungguh suatu pencapaian yang luar biasa. Mahesa seolah mendapatkan hadiah yang sangat istimewa menemukan itu. Suhita Prameswari selain cerdas juga sangat berbakat. Obat itu dibuat dengan bahan yang sangat sempurna. Takarannya sudah pas. Hebat.
"Luar biasa, Dinda. Anak kita berhasil membuatnya dengan sangat sempurna," ucap Mahesa memuji dengan segenap ekspresi.
Kegemaran Suhita Prameswari memang terhitung nyeleneh, dia adalah anak dari seorang pendekar ternama, pendekar besar dengan kemampuan tenaga dalam tiada tanding. Tapi kegemarannya justru tidak pada ilmu bela diri, melainkan ilmu pengobatan. Buktinya, diusia yang masih dini dia telah pandai meracik obat layaknya tabib profesional.
Puspita turut bergembira. Dia senang mendengar hal itu. Meskipun Ibunya bukan siapa-siapa dan tidak bisa apa-apa, tapi nyatanya Prameswari begitu berbakat. Dia menurut pada kemampuan Ayahnya dalam mengobati. "Kanda, suatu saat nanti Putri kita akan menjadi tabib handal yang akan berguna bagi masyarakat luas."
"Iya, Dinda. Tentu sebagai orangtua, kita harus mendorongnya untuk tekun belajar. Menanamkan nilai budi pekerti yang luhur agar Hita tidak lupa diri. Aku ingin Anak kita melangkah di jalan kebajikan. Huuhhh, tapi sayang ..."
"Sudahlah, Kanda. Dinda yakin, pada saatnya nanti Hita pasti akan tahu betapa pentingnya ilmu beladiri," Puspita menggenggam tangan Mahesa dengan erat. Meyakinkan suaminya untuk tidak memikirkan hal itu. Bukankah Mahesa sendiri baru belajar olah kanuragan pada usia delapan tahun? Mahesa hanya terlalu cemas. Dia mengukur segala hal hanya dengan sudut pandangnya, tentu saja Anak kecil menatap dengan cara yang berbeda.
"Yah, kau benar. Aku yang salah. Bahkan mereka terlalu dini untuk mengenal dunia persilatan," Mahesa menepuk jidatnya. Entah mengapa sampai dia berpikir sependek itu.
Bukan tugas Prameswari untuk bisa menjaga diri. Tapi Mahesa sebagai orang tua, sebagai seorang Ayah yang bertanggung jawab atas itu. Juga mengenai keselamatan istrinya. Puspita yang sekarang tidak lagi memiliki kemampuan olah kanuragan, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mahesa untuk menjaga sang istri dari segala bentuk bahaya.
Menjadi seorang suami bukan berarti hanya mendapatkan hak untuk dilayani, tapi juga memiliki kewajiban besar berupa tanggung jawab. Atas segala resiko hidup istri dan anaknya. Sandang, pangan, papan serta ketenangan, keamanan dan kepercayaan. Jika masih mengandalkan istri untuk penuhi kebutuhan dirinya sendiri, maka secara logika untuk apa wanita tersebut menikah dan memiliki seorang suami? Apa guna suami? Jika hanya untuk urusan ranjang saja, maka bin*tang pun bisa melakukannya. Apa lebihnya manusia?
Ah, tidak. Mahesa harus bekali anak perempuannya dengan kemampuan beladiri. Setidaknya, untuk bisa melindungi diri sendiri saat dalam bahaya. Untuk caranya, biar akan dipikirkan nanti. Semuanya, merupakan sebuah keharusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Thomas Andreas
baca ulang lg
2022-04-02
1
fiki_zulfikar channel
juuuuuuut
2021-08-19
2
Asep Dki
sabar mahesa...😁😁😁
2021-03-31
2