"Kau tahu, inilah mengapa sejak lama aku inginkan anak-anakku belajar bela diri. Dunia ini begitu kejam, tidak sesederhana seperti yang dipikirkan. Harusnya kau lebih paham, bukannya terus membela dan memanjakannya," Mahesa mondar-mandir di kamarnya. Sudah berapa kali dia mengulang kalimat yang cenderung memojokkan Puspita atas kejadian yang terjadi kemarin.
Puspita Dewi tidak menampik jika dia memang sangat memanjakan putrinya. Hampir tidak ada permintaan Suhita yang tidak dikabulkan. Puspita memberikan segala perhatian dan kasih sayang pada Suhita dengan sebesar-besarnya. Dia pernah merasakan bagaimana sakitnya terlahir tanpa kasih sayang seorang ibu. Sekarang, setelah menjadi ibu tentunya Puspita tidak ingin anaknya mengumpat, menangis dan bersedih seperti saat dia kecil dulu.
"Dinda, sebenarnya kau dengar aku apa tidak? Mengapa diam saja?!" Mahesa bicara dengan begitu dekat dari telinga Puspita, membuat istrinya sampai terkejut.
"I-iya ... aku mengerti, kanda. Maaf, ini semua adalah salahku. Mohon maafkan aku," Puspita bicara dengan terbata.
"Tidak perlu meminta maaf, semuanya tidak penting. Sekarang, aku tidak mau tahu. Kau harus bisa yakinkan putrimu untuk mau berlatih olah kanuragan, setidaknya untuk dia bisa lindungi diri sendiri."
"Ba-baik. Dinda akan berusaha," Puspita semakin menundukkan wajahnya dengan dalam. Dia tidak berani membalas tatapan mata suaminya yang sedang marah.
Tanpa bicara lagi, Mahesa melangkah keluar kamar. Meninggalkan Puspita yang masih bingung harus berbuat apa. Tidak ada suara derap kaki kuda, juga tidak terdengar suara orang bicara. Puspita tidak bisa menebak kemana perginya sang suami. Atau mungkin sedang duduk di tepi kolam belakang.
Puspita menghela napas panjang. Bagaimana dia harus ajak Hita bicara, bukan satu dua kali saja bahkan sudah bertahun-tahun Puspita membujuk agar putrinya mau belajar bela diri, tapi sampai detik ini anak itu masih saja keras kepala. Otaknya hanya terisi oleh obat dan obat saja, tidak ada yang lain.
"Bagaimana ini ... aku tidak mungkin memaksa Hita. Percuma saja dia belajar kalau terpaksa, justru hanya akan perburuk kesehatannya. Tapi, kalau aku tidak bisa membujuk Hita, pastinya Kanda Elang akan semakin marah padaku. Apa yang harus aku lakukan?!" Puspita menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ya, Puspita bukan tidak setuju pada pendapat Mahesa. Dia tahu semuanya benar, sebagai seorang ibu tentu Puspita tidak inginkan anaknya tertimpa bahaya. Tapi yang jadi masalah ialah dia belum temukan cara untuk merayu anaknya. Untuk mengajak Puspita agar mau melatih tenaga dalam. Atau ... ah, Puspita terpikirkan satu ide. Dengan masih ragu-ragu, Puspita mengambil alat tulis.
Begitu lama waktu yang dibutuhkan untuk Puspita mengambil keputusan menggoreskan tinta di kertas yang telah dia siapkan. Buku catatan yang cukup tebal itu rencananya akan Puspita isi dengan segala catatan yang dia ketahui semasa menjadi seorang pendekar. Termasuk segala jenis keterangan yang menyangkut teknik ilmu racun.
Minimal, Suhita dibekali dengan kepandaian menekan lawan dengan racun bila mana nyawanya terancam. Selain mengobati, Suhita Prameswari harus piawai ciptakan racun berbahaya, di mana racun itu hanya dia yang bisa menyembuhkannya.
Ya, benar. Teknik Racun Waktu. Kemampuan racun nomor satu di dunia. Selain Selasih Wungu, tidak ada orang yang miliki kemampuan ilmu itu. Terpaksa, Puspita tuangkan semuanya di atas kertas. Dia rasa ini adalah satu-satunya cara untuk bisa berikan perlindungan terhadap anaknya, bukan untuk membuat Suhita menjadi jahat seperti dirinya dulu, Puspita hanya ingin jadikan anaknya seperti yang Mahesa mau. Yakni bisa melindungi diri sendiri.
Sebenarnya, Puspita tidak ingin kembali bongkar ilmu sesat itu. Biarlah ilmu racun berbahaya tersebut hilang dan terkubur bersama dirinya. Tapi, takdir menginginkan hal yang lain. Dia mungkin tidak bisa paksa anaknya untuk berlatih tenaga dalam untuk bisa jaga keselamatan. Akan tetapi, mungkin dengan ini Suhita akan bisa tangani mereka yang punya niat jahat.
Puspita harus rahasiakan semua ini dari suaminya. Dia yakin, Mahesa akan marah dan tidak akan pernah mengizinkan anak mereka belajar ilmu sesat yang jelas-jelas dilarang serta melanggar hukum kerajaan. Pandai-pandailah Puspita untuk urusan ini. Dan Suhita juga pasti setuju, bukankah selain pelajari teknik racunnya dia juga akan pelajari sistem pengobatan yang tidak seorang pun tabib miliki rahasia itu. Yah, semuanya ialah demi untuk kebaikan bersama.
Kalau pun sampai ketahuan oleh Mahesa, Puspita pasti akan menanggung segala resikonya. Dia percaya kalau Suhita akan mampu pelajari catatan itu tidak lebih dari enam purnama saja. Maka dari itu, Puspita menulis buku catatan rahasia itu di atas kertas spesial yang hanya berusia enam purnama. Jika melampaui waktu tersebut, maka tinta berikut kertasnya akan rusak dengan sendirinya.
Dengan cekatan, Puspita mencuri waktu di sela-sela pekerjaan rumahnya untuk bisa menuangkan segala kemampuan racunnya di dalam goresan tinta. Puspita memang mengebut proyek besar itu, tapi dia juga tidak bodoh dengan membahayakan misinya. Segala kegiatan itu harus luput dari kecurigaan sang suami.
Malam itu, Puspita telah selesai menulis penjabaran Racun Waktu pada teori pembuatan racun bubuk tahap kedua. Dia menyimpan berkasnya dengan rapih. Biasanya, jam segitu Mahesa telah selesai mengajari Suhita membaca. Dengan bergegas, Puspita menyiapkan wedang jahe untuk suami dan anaknya.
Selama ayahnya di rumah, maka Suhita akan diajari oleh ayahnya. Paling tidak mereka akan memiliki waktu bersama yang cukup panjang. Karena dalam satu purnama, waktu Mahesa bersama dengan mereka tidak lebih dari satu pekan saja kadang-kadang tidak sampai. Mahesa punya kewajiban yang lebih besar di Padepokan Api Suci. Di tempat istri pertamanya. Ada perjanjian yang mengikat mengenai hal itu.
Sudahlah, Puspita juga tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya, bisa membesarkan anaknya dengan baik saja sudah suatu keberuntungan. Anaknya hanya ada Suhita seorang, karena anak laki-lakinya Danur Cakra Prabaskara tinggal bersama kakeknya. Jarang sekali bertemu, bahkan hanya beberapa kali saja. Selain itu juga, Raditya telah menekankan untuk sebisa mungkin merelakan Danur Cakra tinggal di sana. Dengan kata kasar, Raditya dan Rengganis mengambil hak asuh Danur Cakra.
Tok! Tok! Tok!
"Kanda, apa kalian sudah selesai?" tanya Puspita dari balik pintu.
Tidak ada jawaban. Akhirnya Puspita langsung mendorong daun pintu. Tidak ada seorang pun di dalam. Baik itu Suhita atau juga Mahesa. Mereka telah selesai belajarnya.
Hanya memastikan saja, Puspita mendatangi kamar Suhita dan menemukan gadis kecilnya telah tertidur. Sepertinya dia begitu kelelahan. Sampai-sampai tidak bereaksi apa pun saat Puspita membelai dan mengecvp keningnya.
"Kanda, maaf. Aku bawakan wedang jahe hangat untuk Kanda," Puspita tersenyum manis menghampiri suaminya yang duduk di taman seorang diri.
"Terima kasih," Mahesa menyambut cangkir berisi wedang jahe yang Puspita berikan dan langsung meneguknya.
"Apa yang sedang Kanda pikirkan?" tanya Puspita seraya merapihkan rambut Mahesa.
"Bagaimana, apa kau sudah bicara lagi dengan Suhita. Aku tadi sudah coba bicara, kau bisa terka sendiri apa jawabannya. Tapi bukankah dia lebih dekat denganmu, bicaralah dan kau harus bisa meyakinkan dia," tegas Mahesa.
Puspita menarik napas panjang. Dia hanya tersenyum, tapi belum bisa menjawab. Puspita hanya menyandarkan kepalanya di bahu Mahesa. Dia tahu kalau hati Mahesa sedang gundah dan banyak pikiran. Dia harus bisa menjaganya agar tidak sampai kebablasan. Puspita paham betul bagaimana kepribadian suaminya.
"Kanda, malam ini begitu indah. Lihat, rembulan bersinar sangat terang tersenyum pada kita, lalu apa alasan kita untuk gundah?" Puspita menunjuk pada cuaca malam yang sangat indah.
Mahesa tersenyum, istrinya itu memang pandai memancing-mancing. Menghapus kepenatan di hatinya. Dan memang, Mahesa harus akui jika Puspita adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya. Bisa diandalkan, dan mampu menjadi tempat berlindung dalam kepedihan dan tempat berteduh dalam keletihan.
"Selama kita bersama, belum pernah 'kan melakukan di tempat terbuka seperti ini, diterangi cahaya rembulan," Mahesa tersenyum penuh arti pada istrinya. Tangannya sudah bergerak lebih dulu sebelum Puspita sempat bereaksi.
"Iiihhh, dasar!" Puspita mencubit lembut pipi suaminya dan membiarkan tangan Mahesa bergerak mengacak-acak pakaian yang dia kenakan. Lagi pula, semuanya memang milik Mahesa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 240 Episodes
Comments
Wedus Gembel
Puspita tidak ada obat untuk mengembalikan kemampuannya tah
2022-05-06
1
Thomas Andreas
lanjuutt
2022-04-02
1
@elang_raihan.Nr☕+🚬🐅🗡🐫🍌
Waduh tubuh menulis puisi untuk membawa dalam ... 😂☕
2021-02-09
3