Keesokan harinya.
Bel tanda istirahat makan siang berbunyi. Gerombolan siswa mulai berduyun-duyun mendatangi kantin.
Namun, seperti biasa alih-alih mengikuti teman-temanku, Aku malah pergi ke perpustakaan untuk belajar.
Ya. Belajar.
Saat ini, selain bersekolah Aku juga harus bekerja untuk menghidupi kebutuhan sehari-hariku. Selain itu, Aku juga ikut kegiatan ekstrakurikuler. Jadi, Aku benar-benar harus mengatur waktuku sebaik mungkin agar tidak terbuang sia-sia.
Waktu istirahat selalu ku habiskan di perpustakaan karena menurutku tempat ini adalah tempat paling kondusif untuk belajar di jam ini.
Tahu sendiri kan situasi di kelas seperti apa saat jam istirahat?
Aku tidak bisa fokus belajar di sana.
Lalu bagaimana dengan makan siang?
Aku tetap makan siang kok. Di perpustakaan. Tapi hanya sekotak susu saja.
Perpustakaan di sekolah ku memperbolehkan para siswa untuk membawa minuman ke dalam. Tapi tidak untuk makanan.
Karena selain mengatur waktu, Aku juga harus pandai-pandai mengatur uang.
Dalam sehari, Aku hanya makan dua kali saja yaitu pagi dan malam. Kadang, jika sedang luar biasa menghemat (biasanya akhir bulan) Aku hanya makan satu kali di pagi hari. Karena menurutku, sarapan adalah makanan yang paling penting. Jadi, Aku tidak pernah melewatkannya.
Setelah menyapa petugas perpustakaan seperti biasa, Aku melangkah ke spot favorit ku di pojok paling belakang.
Tempat yang sejuk dan sepi.
Ku buka buku catatan yang ku bawa dan mulai mengerjakan PR yang baru saja diberikan tadi sebelum istirahat.
Mencicil pekerjaan juga adalah kunci manajemen waktu. Begitu petuah Ibuku.
Saat sedang enak-enaknya mengerjakan tugas sambil meminum susu kotak, tiba-tiba seseorang menaruh sebungkus roti di hadapanku.
Ku dongkakkan kepala dan terkejut saat mengetahui siapa yang menaruh roti itu.
Kiral.
"Apa cuma itu yang kamu makan setiap hari? Kamu ingin pingsan di jalan ya?"
Belum selesai isi kepalaku ini memproses kedatangannya yang tiba-tiba dan juga kata-katanya barusan, tanpa aba-aba Kiral duduk dan merebut buku catatan ku. Lalu membolak-balik halamannya.
Tunggu dulu. Apa barusan dia bilang makan setiap hari? dari mana dia tahu Aku hanya minum sekotak susu untuk makan siang?
"Apa ini buku tugasmu? hmm... kamu dapat nilai 100 hampir di setiap tugas. Lumayan juga."
Lagi-lagi Aku tidak bisa berkata apa-apa. Apa yang dia lakukan?
"Apa? Kenapa kamu malah menatapku seperti itu?" Tanyanya kepadaku.
"...eh?? tidak.. Aku.." cepat-cepat Aku menggeleng.
"Kamu tidak mau makan rotinya? Cepat makan"
"Ah iya.. haha terimakasih" ku ambil roti tadi dan membuka bungkusnya. Sebelum roti itu masuk kedalam mulutku, Aku tatap laki-laki di sampingku ini. Dia sudah sibuk membolak-balik buku catatan ku lagi.
"Kenapa Kakak ada disini?" tanyaku pelan.
"Memangnya kenapa? Apa aneh melihatku disini?" jawabnya tanpa melirikku sama sekali. Nada bicaranya datar seperti juga ekspresi wajahnya.
"Tidak. Tapi, biasanya di perpustakaan di jam ini...ah! Perpustakaan! Bukannya kita tidak boleh bawa makanan ke dalam? Bagaimana ini?" Aku baru sadar kalau ini Perpustakaan. Kalau petugas tahu Aku makan di dalam sini bagaimana?
"Tenanglah. Petugas di depan sedang keluar. Tidak ada siapapun disini. Makannya cepat makan sebelum ada orang datang"
"Tapi.." perkataan ku di potong oleh tatapannya. Jangan banyak bicara. Makan saja. Begitulah sepertinya arti tatapan itu.
Maka dengan cepat Aku makan roti itu sampai habis. Takut ketahuan. Lalu ku teguk juga susu kotak ku sampai habis.
Sampah makanannya buru-buru kumasukkan kedalam saku.
Selesai makan dan minum aku jadi bingung harus apa. Catatan ku ada di tangannya dan dia sama sekali tidak bicara lagi. Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan? Ini situasi yang buruk! Kalau orang lain yang duduk di sebelahku sekarang, aku tidak akan se canggung ini. Tapi kalau yang duduk itu Kiral, beda lagi ceritanya.
"..hmm..anu.." duh tanya apa ya?
"..anu.. Kak.."
"Kamu tahu? Kenapa kemarin keluarga kita makan malam bersama?" Tanyanya tiba-tiba. Buku catatan ku ia tutup. Matanya menatap lurus ke mataku. Tampak serius.
Eh kenapa memangnya? Bukannya kemarin keluarga ku dan keluarga nya tidak sengaja bertemu? Ya kan?
"Kita akan menikah" ucapnya datar. Nada suaranya datar seperti kata-kata itu bukanlah apa-apa. Tapi sorot matanya memancarkan keseriusan.
"..."
jeda sesaat...
...apa?
...apa yang
...APA YANG BARUSAN DIA KATAKAN??!
"HAH?!"
"Sttt.. ini perpus. Tenanglah"
"Tenang? bagaimana mungkin Aku bisa tenang? menikah? Kita? hahahaha... lucu sekali.. apa jangan-jangan Kakak sedang mengerjai ku ya? Lawakan Kakak parah sekali hahaha"
"Tertawa saja jika kamu mau" Suaranya terdengar lebih serius. Tatapannya masih lurus ke mataku.
Aku yang ditatap seperti itu lama-lama menghentikan tawaku.
"Apa Kakak serius?"
"Ya"
"Tapi, orang tuaku tidak mengatakan apapun kemarin. Lagi pula kita berdua masih sekolah"
"Dasar bodoh. Tentu saja maksudku bukan menikah sekarang."
Apa?! Apa barusan dia baru saja memanggil ku bodoh? Laki-laki ini berani-beraninya.
"Kemarin, sebelum pergi ke hotel Ayah mengatakannya sendiri kepada ku. Aku tidak tahu kenapa orangtuamu tidak mengatakan apapun tapi, sebenarnya mereka sudah sepakat untuk menjodohkan kita."
Apa?
"Kemarin Ayahku bilang kalau Aku akan menjagamu di sekolah kan. Maksudnya bukan karena orang tua kita berteman. Tapi karena kau calon istriku"
Semakin lama aku mendengarnya bicara semakin lambat otakku mencerna setiap kata-katanya.
"Jadi bersiaplah."
Jeda lagi. Kami berdua sama-sama terdiam.
"Kenapa tidak bersuara? Kamu tidak ingin mengatakan apapun?" Satu tangannya kini menopang kepala. Kiral terlihat lebih santai. Matanya kini tidak lurus menatap mataku. Kedua mata itu mulai bergerak ke segala arah menjajaki wajahku.
"Apa Kakak tidak apa-apa?"
Begitu mendengar pertanyaan ku kedua mata itu kembali menatap mataku lagi.
"Apa maksudmu?"
"Apa Kakak tidak apa-apa dijodohkan denganku?"
Lama ia menatapku sampai akhirnya menjawab.
"Tidak. Aku tidak keberatan."
Apa? Kenapa?
"Kenapa?"
"Pertama, karena jika sudah memutuskan sesuatu, Ayahku tidak bisa ditentang. Aku malas beradu mulut dengannya. Kedua, aku tidak peduli dengan siapa aku akan menikah nanti. Bagiku pernikahan adalah bisnis. Menurut ku dengan siapapun sama saja"
"Ah.. begitu"
Ya. Keluarga ku dan keluarganya adalah pebisnis. Sudah bukan sesuatu yang aneh dikalangan pebisnis untuk menjodohkan anak-anak mereka untuk alasan bisnis.
Aku paham maksud Kiral.
"Tapi, jika kamu tidak mau bilang saja"
"Eh?"
"Jika kamu yang bicara, Ayahku mungkin saja akan melunak. Sepertinya dari cara dia berbicara dan menatapmu kemarin dia menyukaimu. Coba saja bicara padanya."
"A.. Aku.." apa ini? Aku harus jawab apa? Apakah Aku mau menikah dengannya?
Tringgg
Bel tanda masuk berbunyi.
Kiral bangkit dari duduknya dan bersiap pergi.
"Ah! ngomong-ngomong apa kemarin pertama kalinya kamu makan steak? Kamu keliatan lahap sekali. Kupikir kamu akan pesan lagi. Ternyata tidak."
Setelah mengatakan itu, dia pergi begitu saja tanpa menengok kebelakang. Aku yang lagi-lagi telat memproses perkataannya hanya bisa menatap punggung itu menjauh.
Apa??! Padahal kemarin aku sudah mencoba bersikap se elegan mungkin.. kenapa dia bisa.. akkhh??! Apa-apaan orang itu!
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments