Mungkin Amen-ku dan Aamiin-mu berbeda. Namun, aku berharap Tuhan memberiku celah untuk menggapaimu.
{ GABRIEL }
Keesokan harinya, sesuai kesepakatan Bu Halimah dan Syifa. Hari ini keduanya mengikuti kajian di salah satu masjid terdekat. Syifa tampak cantik. Gamis berwarna merah muda dengan tali pinggang membalut tubuh ramping milik Syifa.
"Masya Allah, anak Ummi cantik banget," puji Bu Halimah.
"Ummi ...," lirih Syifa malu.
Bima baru saja turun. Matanya menangkap keindahan terpampang nyata. Seorang bidadari tengah mengulas senyum pada ibunya.
"Masya Allah. Adikku cantik banget." Bima terkesima. Netranya tak mengedip sedetikpun. "Ummi, mau Bima antarkan?"
Syifa menoleh, kemudian menunduk. Pandangan Bima tak sanggup ia tolak. Maka dari itu, menunduk adalah senjatanya.
"Kamu tumben masih di rumah?" tanya Bu Halimah sambil mengambil tas kecil di atas sopa.
"Bima lagi males ke cafe, Ummi." Mencuri pandangan ke arah Syifa. Mencoba menebak alasan gadis itu terus menunduk. "Kalau Ummi mau, Bima bisa anterin."
"Terus siapa yang mengurus cafe?" tanya Bu Halimah kembali.
"Sementara hari ini cafe tutup dulu. Sesekali biar pegawai bisa cuti bersama," jawab Bima.
"Ya udah, kebetulan Ummi udah terlambat." Menatap lekat Syifa. "Ayo, Sayang, Abangmu mau anterin kita."
Syifa mengangguk, lalu mengekor di belakang.
Selama perjalanan Syifa yang duduk di belakang mendadak menjadi pendiam. Sekali-kali matanya mencuri pandang. Tak jarang pandangan Bima dan Syifa bertemu. Meski, hanya beberapa detik.
"Bima, Ummi ketemu gadis baik di kajian. Katanya sih, dia baru ikut dua kali," ucap Bu Halimah memulai percakapan.
"Siapa Ummi?" tanya Bima.
"Namanya siapa ya ... Astagfirullah, Ummi udah mulai pikun," cakap Bu Halimah. "Nanti deh, kalau pas ada. Ummi kenalin sama kamu."
Bima hanya mengangguk. Sedangkan, Syifa diam menyimak. Ia tak berani ikut campur. Bagaimanapun, itu adalah urusan pribadi keduanya.
Syifa memandang ke arah jendela. Memperhatikan pohon di pinggir jalan yang terlewati. Ia merindukan tenangnya hujan. Ada rasa nyaman saat air itu turun membasahi bumi.
"Kamu belum ada calon 'kan?" tanya Bu Halimah pada Bima.
"Calon apa, Ummi?" tanya Bima balik. Matanya menatap wajah Syifa lewat kaca kecil di atas.
"Calon istri!" tegas Bu Halimah.
"Belum, Ummi. Mungkin Allah masih mempersiapkan jodoh terbaik buat Bima, Ummi," tutur Bima.
"Iya, Ummi juga berharap demikian. Rasanya Ummi udah engga sabar pengen gendong cucu dari kamu," harap Bu Halimah.
Teringat jelas saat ketiga anaknya masih kecil. Rumah terasa ramai. Tak pernah hening sedetikpun. Mainan berserakan di mana-mana. Tumpahan makanan tak lagi terhitung. Semua memang merepotkan, akan tetapi akan menjadi sebuah kerinduaan saat tua nanti.
Syifa menulikan telinga sebisa mungkin. Tak ingin berharap, tetapi hatinya tetap terikat. Ingin berlari. Namun, kakinya berat. Cinta itu memang tak salah. Hanya saja kita yang membuatnya rumit. Sungguh, mengapa harus Bima? Bukankah masih ada lelaki baik di antara milyaran manusia.
Mobil berhenti. Bu Halimah dan Syifa keluar. Bima mengatakan, bahwa ia akan menjemput mereka satu jam lagi.
Tiba-tiba seseorang datang menyapa. Seorang wanit berjilbab biru menutup dada tersenyum manis pada Bu Halimah.
"As'salamualaikum," sapanya, wanita itu tak melihat ke arah Bima.
"Wa'alaikumsalam," jawab Bu Halimah dan Syifa serentak.
"Ummi, baru sampai?" tanya wanita itu.
Belum sempat Bu Halimah menjawab. Bima sudah mendahului.
"Laila!" seru Bima yang diikuti rasa terkejut dari Bu Halimah.
"Kamu kenal Laila, Bim?" tanya Bu Halimah. Rasa penasaran menggantung di hatinya. "Dia wanita yang Ummi ceritakan tadi."
Bima memperhatikan Laila. Penampilannya berbeda. Lebih enak dipandang dari terakhir mereka bertemu. Bima menangkap rasa malu di raut wajah Laila. Wanita itu menunduk seakan tak ingin Bima menatapnya.
Syifa diam-diam memperhatikan mereka. Mencoba menerka-nerka hubungan antara Abangnya dan wanita cantik di hadapannl mereka. Mungkinkah?
"Dia teman kuliahku dulu, Ummi," jawab Bima.
"Masya Allah. Maaf, Sayang, Ummi engga tau." Meraih tangan mulus Laila. "Bima engga pernah bawa teman lawan jenisnya ke rumah. Abahnya yang melarang. Jadi, Ummi engga pernah tau."
"Engga apa-apa, Ummi." Laila masih setia menunduk.
"Ummi, Bima pulang dulu, ya. Nanti, satu jam lagi Bima jemput lagi." Meraih tangan Bu Halimah dan menciumnya. "As'salamulaikum."
"Wa'alaikumsalam." Ketiga wanita di sana menjawab serentak.
Bima melajukan mobil. Menyisakan para kaum hawa bertiga dengan urusan mereka sendiri. Pikirannya kembali teringat wajah Laila. Hijab membuat cinta pertamanya itu tampak lebih anggun dan teduh. Tak ada lekuk tubuh yang terlihat. Kini, hanya rasa malu yang Laila perlihatkan.
Sementara itu Bu Halimah, Syifa dan Laila segera masuk ke masjid. Kajian di mulai, seorang ustadzah yang masih muda tengah berbicara.
"Untuk para kaum hawa yang masih lajang. Ummi berpesan, jangan pernah tergiur ucapan lelaki yang sebenarnya ingin merusakmu," pesan ustadzah tersebut.
Laila diam mendengarkan. Tepat di sebelahnya Syifa pun sama. Mereka menyimak dengan seksama. Kajian ini khusus para akhwat. Jadi, tak ada lelaki satu pun.
"Lelaki yang baik, dia tak akan mengajakmu berpacaran. Tapi, lelaki yang baik, dia akan mendatangi orang tuamu. Meminta restu untuk menghalalkanmu. Jadilah seorang wanita terhormat. Wanita yang tak sembarangan disentuh. Wanita yang sulit diraih sampai kata sah terucap," lanjut sang ustadzah.
Laila menunduk, sesekali menyeka air mata yang berdesakan keluar. Penyesalan demi penyesalan terus berdatangan. Nasi telah menjadi bubur. Bagaikan sebuah mawar, ia telah ternoda oleh para kumbang yang bergiliran mengecap rasa manisnya.
"Maaf," cicit Laila pelan.
Syifa menoleh ke arah Laila, menyodorkan sebuah tisu sambil berkata, "Aku engga tau Mbaknya kenapa. Tapi, percayalah cintanya Allah selalu bersama hamba-NYA."
Tangan Laila meraih tisu. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Meski telah berteman dengan Bima. Laila sama sekali tidak mengetahui bahwa, Syifa adalah adik angkat dari Bima. Hanya Zaki lah yang ia ketahui sebagai adik satu-satunya Bima.
"Sayangi dirimu, Cantik. Jangan biarkan para pemburu nafsu merenggut kehormataan yang seharusnya kamu persembahkan, untuk suamimu kelak." Suara ustadzah masih terdengar jelas.
Setelah membaca beberapa ayat suci Al-quran. Kajian pun selesai. Semua jamaah membubarkan diri. Begitu pun dengan Bu Halimah, Syifa dan Laila.
"Kapan-kapan main ke rumah Ummi, ya!" pesan Bu Halimah pada Laila.
"Insya Allah, Ummi. Terima kasih," jawab Laila sambil mengukir senyum.
Mobil Bima baru saja sampai. Bu Halimah dan Syifa pamit pulang terlebih dahulu. Laila mengangguk, memandangi kepergian mereka dari tempatnya.
"Ya Allah, andai Ummi Halimah tau aku mantan pendosa. Apa Beliau akan tetap ramah padaku?" tanya Laila pada dirinya sendiri.
Pada Akhirnya Laila pun ikut meninggalkan masjid. Membawa hati yang luluhlantak Jiwanya bagai diterjang badai hebat. Tekadnya kuat untuk merubah diri menjadi lebih baik.
...****************...
BERSAMBUNG~~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Jusmiati
enggak rela deh, kalu Bima sama Laila...
2023-07-13
0
Fa Nama
1 aamiin 2 iman
2022-10-01
0
Viviiii
fans bima syifa garis keras pokoknya mpok 😂😂😂😂
2021-03-25
0