Tak ada orang tanpa dosa, semua memikulnya sendiri. Namun, sejauh apa pun kamu terjerumus. Allah masih menunggumu di jalan taubat.
❤❤❤ Ciety Ameyzha ❤❤❤
Setelah mengantar Gabriel dan Arumi ke rumahnya masing-masing. Bima langsung menancap gas, karena hari menjelang waktu Maghrib. Kepulangan mereka dari sana memang sejak siang hari, akan tetapi perjalanan terhadang beberapa kali kemacetan.
Tepat Adzan berkumandang, kendaraan beroda empat itu tiba mengantarkan Bima, Syifa dan Zaki ke rumah mereka. Perlahan Bima membangunkan Zaki, lalu beralih pada Syifa. Namun, gadis itu tak bergeming. Dia terlalu asyik bermain dalam dunia mimpi.
"Biar Abang yang bangunkan, kamu masuk duluan," ujar Bima menjawab isyarat mata Zaki.
"Baiklah, Bang. Aku masuk duluan." Zaki berjalan ke arah rumah, mengucap salam seperti biasa.
Sekali lagi Bima mencoba membangunkan Syifa, tetapi hanya pergerakan kecil saja yang gadis itu berikan. Waktu salat Maghrib sudah tiba, Bima tak punya pilihan selain menggendong gadis manis ini ke dalam.
"Ummi, Abah, maafkan Bima." Perlahan mengangkat tubuh Syifa, membawa dalam gendongannya.
Harum tubuh Syifa begitu tercium, terasa sampai menusuk jantung. Bima tak pernah sedekat ini dengan wanita, terlebih dia adalah adik angkatnya.
"Aku sudah mulai gila," gumam Bima sambil berjalan ke rumah.
"As'salamualaikum." Bima terus berjalan, tetapi tak ada jawaban.
"Apa Ummi dan Abah pergi, ya," ujar Bima.
Rasa berat mulai menyerang. Tubuh Syifa kecil, tetapi saat menggendongnya ketika tidur sangatlah berat. Bima menapaki satu per satu anak tangga, kamar Syifa tepat di sebelah kamarnya.
Sesampainya di kamar dengan membiarkan pintu terbuka lebar, agar tak ada orang rumah yang berpikir macam-macam. Perlahan Bima membaringkan tubuh Syifa di atas ranjang. Wajahnya yang putih mulus tanpa cacat sempat mengalihkan dunia Bima sekejap.
Netra milik Syifa sangat indah dan teduh. Ada rasa nyaman setiap memandangnya. Seketika Bima segera mengalihkan pandangannya, dia tak ingin berlama-lama menatap yang belum menjadi miliknya.
"Abang Bima, maaf," racau Syifa tanpa sadar.
Mata Syifa masih tertutup, akan tetapi mulutnya mengigau. Bima terpaku, suara Syifa begitu manja. Ada debaran dalam jiwa, tetapi entah apa penyebabnya.
"Bima," panggil Pak Imam di ambang pintu.
Bima seketika berbalik. Tatapan Pak Imam seakan meminta penjelasan. Bima berjalan menghampiri Abahnya, lalu mencium punggung tangan yang telah rela berkorban mencari nafkah selama ini.
"Kapan kalian pulang?" tanya Pak Imam mengajak Bima keluar kamar adiknya.
"Barusan, Abah," jawab Bima sembari mengekor di belakang.
"Abah dan Ummi sedang solat. Jadi, engga denger kalian pulang."
"Iya, Abah."
Keduanya berhenti tepat di depan kamar Bima. Pak Imam tersenyum kecil. "Apa kamu engga mau jelasin kejadian barusan?"
"Maaf, Abah," cicit Bima. "Syifa tidur. Sudah coba dibangunkan, tapi dia tetap tidur. Bima tak ada pilihan. Jadi, Bima menggendongnya sampai kamar."
Pak Imam terdiam, menatap lekat anak sulungnya. "Apa kamu menyukainya?"
Bima terperanjat, pertanyaan konyol macam apa itu? Bagaimana bisa dia menyukai gadis yang sejak kecil diasuhnya?
"Waktu Maghrib hampir habis, cepatlah!" perintah Pak Imam sembari berjalan menuruni tangga.
"Iya, Abah." Masuk ke kamar, lalu bersiap melaksankan kewajiban pada Sang Maha Pencipta.
Sementara itu di kamar sebelah, Syifa menggeliat. Dia baru saja terbangun setelah melewati tidur yang panjang.
"Hah! Sudah Maghrib!" seru Syifa tak percaya.
Syifa bergegas turun, membuka jilbab, kemudian mengambil wudhu. Setelah itu diraihnya mukena hendak dipakai. Namun, tangannya mendadak berhenti. Syifa teringat akan sesuatu, hal yang Dia lewatkan.
"Astagfirullah, aku 'kan, lagi ada tamu bulanan," ujar Syifa sambil menepuk keningnya.
Ditaruh kembali mukena pada tempatnya. Syifa terdiam mengingat bagaimana caranya bisa berada di kamar. Bukankah seingatnya dia berada di mobil.
Perlahan Syifa merebahkan diri di kasur, menatap langit kamar yang berwarna putih. Kejadian semalam masih terulang. Tatapannya bertemu dengan Bima cukup lama.
"Aku harus cepet lulus kuliah, agar aku bisa cari kerja. Tak mungkin selamanya mengandalkan Abang," gumam Syifa.
Matanya terpejam sejenak, merasakan gejolak rasa yang terus membara. Semakin hari terus mekar tanpa di siram. Bagaimana caranya dia bisa menghapus rasa ini? Sulit sekali memang.
Tak berapa lama seseorang mengetuk pintu. Terdengar suara Bima memanggil Syifa di balik pintu. Syifa segera bangun, memakai jilbab yang terjuntai di atas ranjang, selanjutnya berjalan membuka pintu.
"Iya, Bang," sahut Syifa.
"Kamu udah bangun, Dek?" tanya Bima.
Raut wajah Syifa merona. Suara Bima terdengar merdu, melambai-lambai di telinga.
Syifa tersenyum sambil menunduk. "Udah, Bang. Maaf, Syifa ketiduran."
"Engga apa-apa. Kamu udah solat?"
"I-itu Syifa be-belum, Bang!"
Bima mengerutkan kening, mencoba mencerna jawaban adik angkatnya.
"Masalah wanita," sambung Syifa pelan.
"Ah, iya, Abang paham. Kalau gitu, turunlah ke bawah. Semua orang nunggu di meja makan." Berjalan menjauh dari Syifa.
Syifa memandangi punggung tegak milik Bima sampai hilang dari pandangan. Setiap kali berbicara dengannya, jantung Syifa meminta keluar. Mungkin saja dia terlalu lelah, karena terlalu bekerja lebih keras.
Syifa menghela napas kasar, mengembuskannya perlahan melalui mulut. Dia berusaha menetralisir rasa gugup. Semakin hari, jiwanya memberontak. Meminta Syifa segera bertindak, tetapi gadis ini tak memiliki keberanian.
"Abang pasti punya calon sendiri," ucap Syifa melangkah keluar. "Aku hanya akan menikung hatinya di sepertiga malam. Andai kami berjodoh, semua akan indah pada waktunya.
Semua orang telah siap menyantap makan malam. Mereka makan dalam keheningan, hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piringlah yang terdengar.
Masakan Bu Halimah menjadi kesukaan orang rumah. Mereka jarang sekali makan di luar rumah, selain hemat. Alasan pertamanya, karena masakan Bu Halimah tak ada tandingannya.
Masakan yang diracik penuh cinta, dan dibumbui rasa kasih sayang. Mengalahkan rasa nikmatnya masakan hotel berbintang lima sekalipun. Sejak kecil, Bima, Zaki, juga Syifa sudah terbiasa dengan masakan ibu mereka.
Pak Imam memang tidak pelit. Melainkan, beliau ingin menanamkan pada anak-anaknya, bahwa masakan seorang ibu adalah yang terbaik. Tentu, ini akan menjadi kerinduan di masa dewasa nanti.
Ajaran beliau berhasil. Ketiga anaknya selalu antusias saat waktunya makan. Bahkan, Bima pernah menunda makan siang di luar saat mengerjakan tugas kuliah dulu, demi hasrat rindunya akan masakan sang bunda.
Makan malam selesai, Syifa membantu Bu Halimah di dapur. Sedangkan, Zaki, Bima, dan Pak Imam bersantai di ruangan keluarga.
Setelah dapur beres, Bu Halimah menyuruh Syifa tidur terlebih dahulu. Syifa menurut, dia berjalan hendak menaikin tangga. Namun, Zaki mencegahnya dengan perkataan yang membuat Syifa mematung di tempatnya.
"Gimana rasanya digendong Abang Bima, Dek?" tanya Zaki sedikit meledak sambil kakinya menaiki tangga.
Syifa membelakakkan mata, dia berusaha mengecek pendengarannya. Apa semua itu benar? Abang menggendongnya?
"Kamu lagi mikirin apa sih, Dek?" tanya Bima mengagetkan Syifa
Syifa memandang lekat Bima. Namun, yang ditatap berlalu begitu saja.
"Perasaan, kamu kecil, Dek, tapi kalau digendong berat juga!" tambah Bima yang semakin membuat Syifa terdiam.
...****************...
BERSAMBUNG~~~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Fikavindia
jomblo mah bisa apa,,, hohoho
2022-07-04
0
Saniia Azahra Luvitsky
wowwwww visual nya donk sumpah ini ga bikin garing adem gitu bahasa nya
2021-08-11
0
Perjuangan cinta Tuan Muda
so sweet bima. oya udh aq ksh 3 jempol lg nih. semangat upnya. salam dr Asisten Pribadi Tuan Muda
2021-04-21
0