Perasaan ini semakin menjalar ke seluruh tubuhku, menyulusup masuk ke dalam melalui pembuluh darah.
💓💓💓 SYIFA 💓💓💓
Rinai hujan turun membasahi bumi. Syifa mencium perlahan aroma tanah yang terguyur hujan. Aroma yang kuat menusuk hidung hingga sampai ke syaraf otak.
Matanya terpejam, menikmati ketenangan yang hadir malam ini. Jendela terbuka lebar, agar Syifa bisa menyaksikan semakin derasnya curah hujan.
"Masya Allah, hujan ini terasa nikmat," gumam Syifa.
Tak berapa lama, suara ketukan pintu menyadarkannya. Syifa segera memakai cardigan dan jilbab instan. Saat ini Syifa hanya memakai setelan baju berlengan pendek, dan celana panjang.
Dia jarang memakai celana pendek. Meski, di kamar. Alasannya, agar saat ada orang yang mengetuk pintu, dia hanya perlu mencari jaket dan jilbab saja. Dia sadar, semua lelaki di rumah ini bukanlah mahramnya. Jadi, dia tak bisa sembarangan dalam berpakaian.
"Ummi," ucap Syifa begitu pintu terbuka.
"Kamu belum tidur? Boleh Ummi masuk?" tanya Bu Halimah lembut.
"Belum, Ummi. Boleh." Syifa mempersilakan Bu Halimah masuk dan duduk di atas ranjang.
Mata Bu Halimah melihat ke arah jendela. Ternyata, sang anak tengah menikmati hujan.
"Ada apa, Ummi?" tanya Syifa pelan.
Sudah menjadi kebiasaan Bu Halimah, jika ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Beliau selalu mendatangi kamar anaknya dan berbicara lembut seperti seorang teman.
Hal itu pula yang dilakukan Pak Imam kepada Bima dan Zaki, tetapi tidak berlaku untuk Syifa. Andai ada sesuatu yang harus disampaikan. Pa Imam memilih membicarakannya di ruangan tamu atau saat Syifa tengah bersamanya dan istrinya.
Semua dia lakukan, agar anak lelakinya mengerti. Syifa bukanlah mahram bagi mereka. Bagaimanapun, ada batasan dalam berinteraski, seperti tak boleh berduaan dan bersentuhan. Oleh karena itu, Pak Imam tersentak saat waktu lalu melihat Bima ada di kamar Syifa dengan posisi tengah memandangi wajah gadis tersebut.
"Tidak ada apa-apa. Ummi hanya mau liat anak wanita Ummi yang cantik," jawab Bu Halimah.
"Duduklah di sini!" Menepuk pelan kasur berbalut sprei bermotif doraemon tersebut. "Sudah lama Ummi engga meluk kamu."
Syifa menurut, duduk tepat di samping Bu Halimah. Syifa berkata, "Syifa juga kangen pelukan Ummi."
Bu Halimah memeluk erat Syifa. Melepaskan rasa rindu saat mendekap Syifa kecil dahulu. Di mana sang anak begitu lekat, padahal baru beberapa hari bersama.
Proses pengadopsian Syifa memang tak mudah. Terlebih, Syifa masih di bawah umur kala itu. Namun, Allah memudahkan Bu Halimah untuk mengangkat Syifa sebagai anggota keluarganya.
Takdir, mungki itu yang selalu Bu Halimah percaya. Bagaimanapun, pertemuan mereka sudah Allah tuliskan sebagai takdir. Beberapa kali ucap Syukur terlontar dari bibir mungil Bu Halimah, tatkala permohonan adopsinya disetujui. Ada rasa haru, tangis, dan bahagia mengakhiri segalanya.
"Besok ada kajian di masjid dekat sini. Apa Syifa mau ikut?" tanya Bu Halimah, melepaskan pelukannya.
"Boleh, Ummi. Kebetulan Syifa hanya ada kelas sore saja," jawab Syifa.
"Syukurlah, sudah lama kita engga ke kajian bareng."
Syifa mengangguk. Mereka bercerita banyak ditemani hujan yang terus membesar di luar rumah. Bu Halimah menatap Syifa lekat. "Sayang, apa terjadi sesuatu?"
Syifa mengerutkan kening, mencoba menerka-nerka arah pembicaraan Ibunya.
"Maksud, Ummi?"
"Ummi sering melihat kamu menunduk saat Abangmu ada, apa terjadi sesuatu di antara kalian?"
Syifa terdiam, tubuhnya membuka. Satu pertanyaan dari Ibunya mampu membuat hatinya tak karuan. Mungkinkah Ibunya mengetahui? Apa tingkahnya begitu mencolok?
Hening, hanya terdengar gemuruh hujan. Bu Halimah tersenyum manis, membelai erat kepala Syifa berbalut jilbab.
"Bilang sama Ummi, kalau Abangmu itu jahil! Bima memang pendiam, tapi sekali ide jahilnya keluar. Sasarannya pasti tak berkutik."
Syifa bernapas lega. Dia pikir, sang Ibu telah mengetahui tentang perasaannya. Seperti yang Zaki katakan. Mungkin Syifa bisa saja bersama Bima, akan tetapi hati Syifa tak tega membicarakan perihal ini pada keluarga yang telah membesarkannya.
"Apa kamu punya pacar?" tanya Bu Halimah kembali.
"Engga, Ummi. Abah 'kan, sudah wanti-wanti," sahut Syifa.
"Syukurlah, Nak. Insya Allah, jika saatnya tiba, akan ada lelaki baik yang datang meminangmu."
"Iya, Ummi."
Keduanya larut dalam heningnya malam. Saling bercengkrama tanpa sungkan. Syifa tampak bermanja-manja pada ibu angkatnya. Hanya Bu Halimah, tempat dia bercerita. Tentu, selain pada Allah juga.
Tepat pukul sepuluh malam, Bu Halimah pamit tidur. Syifa mengantarkan sampai ke ambang pintu sambil berkata, "Selamat malam, Ummi."
Bu Halimah mengukir senyum." Selamat malam juga, Sayang."
Bu Halimah berjalan menjauh. Sedangkan, Syifa masih betah memandangi punggung Ibunya sampai hilang dalam pengliatan. Setelah memastikan sang Ibu turun, Syifa menutup pintu.
"Masya Allah, aku sudah takut duluan. Aku pikir, Ummi tau tentang perasaanku pada Abang," gumam Syifa pelan.
Syifa menutup jendela, hujan tak kunjung reda. Mungkin, sang hujan ingin menemani dirinya malam ini. Selanjutnya Syifa merebahkan dirinya di kasur, mematikan lampu, berdoa sebelum tidur, lalu bersiap memasuki alam mimpi.
💓💓💓💓💓💓💓
Di kamar sebelah, Bima pun sama. Matanya memperhatikan setiap air yang turun, seakan dia tengah menghitung berapa jumlahnya.
Pikirannya membawa Bima berkelana. Menebak arah kehidupan di masa datang nanti. Mempersiapkan diri saat Allah mengirimkan jodoh untuknya.
"Umurku sudah menjelang dua puluh enam tahun. Aku tak tau, kapan Allah mengirimkan jodoh. Terlebih, Ummi seperti sudah ingin menimbang cucu," ujar Bima.
Bima duduk di kursi dekat jendela, terdengar suara Zaki memanggil dari luar pintu. Bima menoleh, lalu sedikit berteriak, "Masuk!"
Pintu terbuka, terlihat Zaki masuk sembari menutup pintu. Dia mendekat, duduk di atas kasur.
"Abang, kenapa?" tanya Zaki.
Bima mengerutkan kening. Tak ada petir, tiba-tiba Zaki bertanya demikian.
"Abang, apa terjadi sesuatu? Aku perhatikan Abang seperti orang bingung!" tambah Zaki.
"Engga ada apa-apa 'kok, Dek." Bima kembali memandang ke luar jendela.
"Abang bohong ya!" tebak Zaki.
"Engga, Dek. Kamu ini, datang ke kamar cuman mau tanya itu."
"Sebenarnya bukan itu sih, tujuanku."
Bima menoleh, menatap lekat pada Zaki. "Kamu mau minta apa?"
Zaki tertawa, dia memang tak pandai menyembunyikan sesuatu. Terlebih, Bima adalah kakak kandungnya.
"Bang, apa aku boleh ganti laptop?" tanya Zaki sedikit ragu.
"Memang laptop lamamu kenapa?"
"Sudah mulai rusak, Bang. Beberapa bulan lalu udah aku servis, tapi seminggu ke belakang selalu eror."
"Oh ... Insya Allah, ya, Dek."
"Kalau Abang engga ada uang, aku engga apa-apa 'kok."
"Doain usaha Abang lancar."
"Pastilah, Bang. Kalau Abang sukses 'kan, aku ikut ngerasain hasilnya." Zaki tertawa pelan.
Bima mengangkat sedikit ujung bibirnya. Baginya, kebahagiaan keluarga adalah hal terpenting. Saat menikah nanti, dia berharap bisa berlaku adil. Baik pada istri dan keluarganya.
...****************...
BERSAMBUNG~~~~
Mohon maaf, jika proses pengadopsian Syifa tak aku jelaskan secara rinci.
Kalau kalian suka dengan cerita ini. Mungkin kalian bisa rekomendasikan pada yang lain🤗🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Saniia Azahra Luvitsky
mantul bgt ga ada konflik nya jadi nyaman di baca nya adem gitu
2021-08-11
0
rinny
aq paling suka alur cerita yg seperti ini thor.... bagus dan ringan tanpa konflik yg bertele tele. yg mengangkat cerita islami...jadi tambah pengetahuan . 🙏🙏🙏😘😘😘
2021-04-20
0
Ety Nadhif
ikut merasakan sifat Bima yg lemah lembut
2021-03-24
0