Rasa itu semakin tumbuh. Aku pun tak sanggup membunuhnya. Dia seperti sebuah mawar . Berawal dari kuncup kecil, lalu mekar menjadi bunga cantik.
🌴🌴🌴* SYIFA 🌴🌴🌴
Langit mencurahkan tangisannya. Awan gelap yang sedari tadi menggantung. Kini telah berganti menjadi luapan air.
Bima baru saja mengantar Amar ke Cafe. Ia pamit pulang terlebih dahulu. Selama perjalanan, ia mengingat kembali perkataan Laila.
"Dia datang saat aku sudah sanggup melupakannya," gumam Bima.
Hujan deras membuat pandangan sedikit berkurang. Terpaksa Bima menyetir sepelan mungkin. Lebatnya hujan di sertai petir membuat lampu mulai padam.
Perjalanan selesai. Rumah orang tua Bima gelap gulita. Setelah memarkirkan mobil, ia berjalan masuk. Seperti halnya anggota yang lain. Bima selalu membawa kunci cadangan.
Tak ada satu pun orang menyambutnya. Ia pikir mungkin kedua orang tuanya sudah tidur. Begitupun dengan kedua adiknya.
Bima menaiki tangga satu per satu. Berjalan menghampiri kamar. Namun, suara tangisan sendu terdengar dari kamar Syifa, yang tepat berada di sebelahnya.
Bima mendekat, memastikan, bahwa pendengarannya tidak salah. Ya, itu benar suara Syifa. Bima mencoba mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban dari Syifa.
"Dek, boleh Abang masuk?" tanya Bima sambil mengetuk pintu ketiga kalinya.
Dalam keadaan gelap, Bima memutuskan membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Keadaan kamar Syifa remang-remang, di terangi cahaya lilin kecil yang menyala di atas meja.
Bima menyusup dalam kegelapan. Ia mencari keberadaan Adik kandungnya.
"Maaf, Dek. Abang masuk kamarmu. Tadi Abang denger tangisan dari kamar ini," ujar Bima begitu mendapati sang Adik tengah duduk di bawah kasur dengan kaki di tekuk.
"Abang ...," lirih Syifa setengah ketakutan.
Bima tersentak. Ia tak lupa, bahwa Syifa takut kegelapan.
"Abang di sini, Dek." Bima menghampiri, duduk di samping Syifa.
"Maaf, Abang lancang masuk kamarmu, Dek. Abang khawatir. Kamu pasti ketakutan. Kenapa tidak ke kamar Ummi dan Abah?" tanya Bima.
"Abah dan Ummi keluar, Bang setelah sholat Isya. Kak Zaki juga engga ada, katanya Kakak ada tugas yang belum selesai."
"Jadi, dari tadi kamu sendirian? Kenapa engga hubungi Abang? Pasti Abang langsung pulang, kalau tahu kamu sendirian. Abang takut kamu kenapa-napa."
Syifa menoleh ke arah Bima. Menyaksikan langsung raut kekhawatiran Kakak angkatnya. Jantungnya berdebar, meloncat meminta keluar. Jiwanya meronta saat orang yang ia sayangi hanya berjarak satu meter dengannya.
"Aku engga mau ganggu acara Abang," ungkap Syifa.
"Abang engga ngerasa ke ganggu, Dek. Kamu adik Abang, sudah sepantasnya Abang menjagamu."
Deg! Perkataan Bima menyadarkan Syifa dari mimpinya. Bima benar, ia hanya menganggap Syifa seorang adik. Tidak lebih dari itu.
Hati Syifa teriris, terbakar perasaannya sendiri. Mengapa rasa ini sulit menyingkir? Padahal ia sudah bersusah payah, melakukan segala cara. Cinta ini bukan menghilang, melainkan terus menyebar sampai Syifa menggantungkan harapan besar.
"Kamu tidak apa-apa, kalau Abang temani? Percayalah, Abang tidak bermaksud lain," cakap Bima lembut memandangi wajah Syifa dalam remang-remang cahaya lilin.
Angin berhembus pelan melalui jendela yang sengaja Syifa buka. Hujan telah berhenti, menyisakan genangan air di jalanan. Udara menjadi dingin menusuk tulang. Suasana sendu, semua orang tak berniat keluar.
Lampu masih padam. Bima dan Syifa masih terdiam berdua. Berharap segera keluar dari suasana yang tak menyenangkan ini.
"Bang?" panggil Syifa memecah keheningan.
"Iya, Dek," jawab Bima.
"Aku boleh tanya sesuatu engga?"
"Nanya apa, Dek?"
"Misalkan, ada adik kakak yang bukan satu ibu maupun bapak saling jatuh cinta, lalu merajut asa. Menurut Abang bagaimana?" Pelan Syifa menggigit bibir bawahnya. Menyembunyikan rasa gugup dalam hatinya.
Bima terdiam. Ia memikirkan jawaban terbaik untuk pertanyaan Syifa.
"Tunggu! Maksud kamu seperti Abang dan Adek? Tidak ada ikatan darah?" tanya Bima memastikan.
Syifa mengangguk.
"Menurut Abang sah-sah aja. Bahkan mereka halal. Meskipun, menikah. Memang ada apa kamu bertanya seperti itu, Dek?"
Syifa gelagapan. Ia tidak tahu harus menjawab apa pada Bima. Darahnya mendesir, karena rasa gugup yang ia tahan.
"I-itu ... ada teman Syifa yang bertanya, Bang," kilah Syifa.
"Oh, meski begitu. Ada beberapa yang harus di perhatikan. Apa hubungan mereka ini? Maksudnya apa ada hubungan sepersusuan tidak!"
"Maksdunya gimana, Bang?"
"Begini, kalau ternyata mereka saudara sepersusuan. Meski, bukan saudara kandung dan tidak ada ikatan darah. Maka, hukumnya tidak boleh," jelas Bima.
"Jadi begitu ya, Bang." Syifa mengangguk.
"Memang siapa temanmu yang bertanya soal ini? Bukannya kamu hanya punya Arumi saja!" cakap Bima.
Syifa kembali terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tentu jawabannya pertamanya membuat Bima bertanya-tanya. Semua orang rumah tahu, bahwa Syifa memang tidak banyak bergaul dengan orang lain.
Dalam kegugupan, tiba-tiba lampu kembali nyala. Syifa lega, setidaknya ia bisa mengalihkan pembicaraan mereka.
"Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan.
Bima berdiri. Ia tidak ingin terlalu lama berdua dengan adiknya. Andai bukan karena mati lampu. Ia sebenarnya tak ingin berada di situasi yang bisa menimbulkan salah paham keluarganya.
"Sudah nyala, Abang pamit ke kamar dulu. Jangan lupa tutup jendela. Udara malam tidak baik untuk kesehatan." Bima melangkah keluar meninggalkan Syifa yang masih bergelayut bersama rasa gugupnya.
Mata Syifa memandangi punggung Bima yang semakin jauh. Matanya terpejam sejenak. Penjelasan Bima memang ada benarnya. Andaipun Bima memiliki rasa yang sama dengannya. Tentu, sah bagi mereka merajut asa. Terlebih Syifa tidak pernah disusui oleh Bu Halimah.
Meski begitu, Syifa tetap tak bisa mengungkapkan perasaannya. Ia harus mencari tahu hubungan nasab sebenarnya, ia dan Bima.
Bu Halimah dan Pak Imam sendiri sudah menjeleskan, bahwa Syifa adalah anak yang mereka selamatkan dari sebuah kecelakaan yang tak sengaja mereka saksikan sendiri di jalanan.
Kala itu, kedua orang tua Syifa meninggal di tempat kejadian. Dengan cepat Bu Pak Imam menghubungi ambulance dan membawa kedua jasad almarhum orang tua Syifa ke rumah sakit terdekat.
Syifa kecil menangis tak tahu apa yang terjadi. Dengan lembut Bu Halimah memangku tubuh kecil Syifa. Suasana jalan sangat sepi. Jadi, Pak Imam dan Bu Halimah memutuskan membawa Syifa pulang.
Setelah mengantarkan Bu Halimah dan Syifa pulang. Pak Imam segera menyusul ke rumah sakit. Ia harus mengetahui siapa keluarga Syifa.
Dengan berbekal sebuah alamat di KTP orang tua Syifa. Pak Imam meluncur hendak memberitahukan kabar duka ini. Namun, sesampainya di sana. Tak ada satu pun orang di dalamnya.
Pak Imam berpikir, mungkin Syifa hanya hidup bertiga dengan kedua orang tuanya. Pak Imam tak putus asa, ia bertanya pada tetangga sekitar. Namun, mereka hanya tahu bahwa Syifa memiliki seorang paman, tetapi tidak tinggal di sini.
Mereka pun tak tahu di mana keberadaan orang yang di yakini Paman Syifa tesebut. Hanya dua kali, tetangga dekatnya pernah melihat paman Syifa datang. Itu pun sudah sangat lama, saat Syifa masih sangat bayi.
Hingga pada akhirnya. Pak Imam dan Bu Halimah memutuskan mengasuh Syifa. Dengan kesepakatan keduanya, bahwa Bu Halimah tidak boleh menyusui Syifa.
Kedua jenazah orang tua Syifa pun Pak Imam yang mengurusi. Ia memakannya di pemakam umum terdekat dari rumahnya. Ia ingin saat dewasa nanti, Syifa bisa melihat tempat peristirahatan kedua orang tua kandungnya.
...****************...
BERSAMBUNG~~~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Saniia Azahra Luvitsky
ydh nikahin aja lah kan kata nya halalalan toyiban 😁😁
2021-08-11
0
Magdalena Lena
kadang adik angkat
kadang adik kandung
🤔🤔🤔🤔🤔
2021-08-09
0
Afseen
cinta ini mmembunuhku eaa😂😂😂
2021-05-18
0