Jangan ingatkan aku pada masa lalu. Kamu hanya segelintir kisah yang tak sempat aku tamatkan dulu. Kini, semua sudah berbeda.
🏵🏵🏵 BIMA 🏵🏵🏵
Semesta tengah berduka. Awan hitam menggantung siap mencurahkan tangisan. Namun, Bima dan Amar masih setia di aktivitasnya malam ini.
"Sudah lama juga tidak bertemu," jawab Bima masih setia menunduk.
"Kamu makin cantik aja, Laila!" puji Amar.
"Ah, kamu bisa saja, Mar. Aku memang sudah cantik dari lahir," ujar wanita tadi yang ternyata bernama Laila.
Bima masih enggan menatap ke depan. Ia menyibukkan diri dengan berselancar di dunia maya lewat ponsel. Amar yang paham, meminta satu teman lelakinya meminjamkan jas yang sedang ia pakai untuk menutupi paha Laila yang terlihat.
"Duduklah dan pakai ini." Amar memberikan jas tersebut pada Laila. Dengan segera Laila memakainya. Kini Bima tidak terlalu risih.
Laila, teman satu kampus mereka. Dulu, gadis itu lugu. Bahkan ia tidak pernah memakai pakaian terbuka. Meski, tidak berhijab. Bima pernah terpikat akan kepolosannya. Namun, Laila berubah satu tahun sebelum mereka lulus.
Laila merubah total penampilannya dengan alasan ia sudah muak dipanggil cupu. Ia ingin membuktikan, bahwa ia bisa seperti anak kota lainnya.
Bima dan Amar adalah teman pertama Laila. Namun, perlahan Laila melupakan pertemanan mereka hanya untuk mencari teman yang lebih bisa membuatnya terkenal.
"Bagaimana kabarmu, Bim? tanya Laila memulai kembali percakapan.
"Alhamdulillah, aku baik-baik saja," jawab Bima.
"Yang ditanya cuman Pak Haji doang! Aku engga nih?" sindir Amar.
"Maaf, apa kabarmu, Mar? Sudah lama kita engga pernah chat?" tanya Laila dengan mata masih menatap Bima.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja!" ujar Amar.
"Katanya kamu buka Cafe, ya, Bim? Aku kapan-kapan mau main ke sana!" tanya Laila kembali.
Bima menyimpan ponsel miliknya, lalu berkata, "Alhamdulillah, hanya cafe kecil saja."
"Kecil, tapi bikin betah," timpal Amar.
"Benarkah? Aku jadi penasaran." Laila tersenyum manis. "Boleh kalau aku main ke sana?"
"Silakan! Aku tidak pernah melarang siapapun datang ke cafeku," sahut Bima.
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Tidak terasa sudah dua jam Bima dan Amar di acara ini. Suara bising masih menggema, mereka bergantian bernyanyi.
"Mar, ini sudah malam. Sebaiknya kita pulang!" ajak Bima yang langsung berdiri.
"Iya, Bim. Aku juga sudah mengantuk," sambut Amar dengan senang.
"Tunggu!" cegah Laila hendak meraih tangan Bima. Namun, sesegera mungkin Bima menolaknya. "Maaf, apa aku boleh minta nomer ponselmu, Bim. Mungkin suatu saat kita bisa bekerja sama."
Bima terdiam, ia jarang sekali memberika nomer pribadi pada orang lain. Terkecuali itu sangat urgent.
"Kamu bisa menghubungi Amar saja. Kamu dan dia sering berbalas pesan 'kan?" tanya Bima.
"Ya, itu benar, tapi aku ingin langsung padamu," kilah Laila.
"Maaf, kalau niatmu hanya untuk mendekatiku. Sebaiknya kamu mundur, aku tidak ada niatan berpacaran," tolak Bima tegas.
"Kenapa? Bukankah dulu kamu menyukaiku?" desak Laila.
"Jangan bahas soal masa lalu, Laila. Aku sudah melupakannya. Sekarang aku hidup di masa depan," tegur Bima.
Bima segera berlalu meninggalkan Laila. Amar melewati Laila sambil berkata, "Lupakanlah Bima, Laila. Dia bukan Bima yang dulu mengagumimu. Kamu sendiri yang melupakannya saat dia mulai berjalan padamu. Bahkan saat itu Bima berniat langsung melamar, bukan mengajakmu bermain asmara."
Amar mengikuti jejak Bima yang sudah terlebih dahulu keluar gedung. Sedangkan, Laila masih bergelayut manja bersama kenangan indah di masa lalu.
Pikirannya membawa Laila masuk ke dalam jejak rekam masa lalu. Ia masih ingat betul saat Bima mengatakan perasaannya. Namun, ia tidak bisa mengajak Laila berpacaran.
Flashback.
"Laila, aku ingin bicara sama kamu," ujar Bima saat Amar berpamitan pada mereka untuk ke toilet.
Suasana kantin sangat ramai. Jadi, Bima pikira mereka tak lagi berduaan. Ia ingin mengatakannya. Tak enak rasanya harus memendam perasaan aneh ini.
"Memang ada apa, Bim? Kayaknya kamu serius banget," goda Laila yang masih berpenampilan lugu.
Bima menghela napas kasar. Mengumpulkan keberanian dari jiwanya. Apa pun yang terjadi, ia harus bisa mengungkapkannya.
"Aku menyukaimu, tapi aku tidak bisa menjalin asmara denganmu," ungkap Bima.
"Maksudmu apa, Bim?" tanya Laila yang tak mengerti dengan jalan pikiran temannya
"Begini, andai kamu memiliki rasa yang sama denganku. Mau kah kamu menungguku sampai aku menghalalkanmu?" tanya Bima.
"Jadi, maksudmu kita berjalan tanpa ikatan?" tanya Laila balik.
"Maaf, aku bukan tidak ingin berparcaran seperti yang lain. Hanya saja Abahku melarangnya, aku berjanji akan langsung melamarmu setelah kelulusan kita," cakap Bima.
Tak ada jawaban apa pun dari Laila. Ia memilih diam. Baginya pernyataan Bima hanyalah sebuah duri. Mana mungkin ia bisa berpura-pura tak ada apa-apa, padahal ia tahu betul isi hatinya.
Amar telah kembali dari toilet. Ia mencium bau kecanggungan di antara Bima dan Laila. Namun, Amar berusaha diam. Mungkin benar Amar adalah sahabat Bima, tetapi ia tidak berhak mencampuri urusan pribadi Bima terlalu jauh.
Dua minggu setelah percakapan tersebut. Laila tiba-tiba mendadak merubah total penampilannya. Entah apa yang menjadi alasan di balik itu, tetapi ia hanya beralasan muak dihina cupu.
Amar dan Bima sebisa mungkin menegurnya. Namun, Laila sama sekali tidak mendengarkan. Setiap kali Amar atau Bima membahas penampilannya. Laila selalu menjawab hal yang sama.
"Kalian tidak tahu rasanya dihina. Aku sudah muak! Mulai sekarang, aku ingin menjadi gadis kota yang gaul dan berpenampilan modern," jawab Laila.
Perlahan Laila mengikuti beberapa geng para wanita populer. Ia bahkan sering berbohong pada orang tuanya, demi ikut acara geng yang jelas-jelas menyesatkan.
Ada rasa kecewa di hati Bima. Ia tidak menyangka, Laila akan berubah total setelah percakapan mereka di kantin.
Laila mulai melupakan kedua teman lelaki yang telah membantunya sejak pertama kuliah. Bima dan Amar bahkan sering membuatkan tugas saat gadis itu lupa.
"Sudahlah, Bim. Lupakan Laila, mungkin ini petunjuk dari Allah," ujar Amar saat melihat Bima menatap Laila yang tengah asyik bercanda ria bersama geng barunya.
"Ya, kamu benar. Mungkin Laila bukan jodohku," jawab Bima.
Flashback selesai
Laila tersenyum kecil. Bima tidak tahu alasan sebenarnya di balik perubahan mendadak dirinya. Semua berawal karena rasa sakit hati. Untuk apa Bima menyatakan cinta, jika pada akhirnya mereka tidak bisa menjalin asmara seperti yang lainnya.
Laila yang memendam rasa yang sama seperti Bima merasa sangat terluka. Bagaimana bisa ia harus menunggu selama setahun lebih, hanya untuk bersanding dengan lelaki pujaannya.
"Andai kamu tidak memintaku menunggu. Mungkin saat ini kita sudah menjadi suami istri, Bim. Meski begitu, aku menyesal, Bima. Aku ingin kembali menjadi Laila kesayanganmu dulu," gumam Laila tak terasa air matanya menerobos keluar.
...****************...
BERSAMBUNG~~~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Becky D'lafonte
kl emg gk mau nunggu ngapain jg harus merubah penampilan
2022-09-05
0
Saniia Azahra Luvitsky
keren nih novel adem gitu di baca nya ga ngegas buat reader nya
2021-08-11
0
Afseen
mamam tuh gaul, mksudnya apa sakit hati diminta mnunggu, klo gk mau ya udah gk ngrti q😑😑😑
2021-05-18
0