Jam makan siang,
Devan memeriksa ponselnya. Ada belasan panggilan tak terjawab dari Riana.
Ada apa?
Devan mencoba menghubungi Riana. Namun nomor gadis itu malah tidak aktif sekarang. Devan memutuskan untuk mengirim pesan saja.
Baru saja Devan akan menyimpan kembali ponselnya, Theo menelepon.
"Halo, Theo!" Sambut Devan cepat.
"Dev! Bagaimana kabarmu?"
"Baik. Ada apa menelepon?" Tanya Devan yang sedang malas berbasa-basi.
"Bellinda menyuruhku membeli motor baru. Apa itu untukmu?"
"Ya. Apa kau sudah kembali? Kata Bellinda kau baru kembali besok," cecar Devan merasa bingung.
"Belum. Aku masih di bandara. Mungkin satu atau dua jam lagi aku akan tiba disana. Kau dimana sekarang?"
"Dimana lagi memangnya? Aku di restorant paman Owen sampai sore," jawab Devan santai.
"Baiklah, dari bandara aku akan langsung ke restorant. Lalu kita akan membeli motor baru untukmu," suara Theo terdengar bersemangat.
"Terserah kau saja," jawab Devan kurang bersemangat.
Pikiran Devan seperti tidak sedang di tempatnya. Devan masih khawatir dan bertanya-tanya kenapa tadi Riana menelponnya berulang kali.
"Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa nanti, Dev!"
Panggilan Theo terputus.
Devan merenung sejenak sebelum kembali memeriksa ponselnya. Belum ada balasan pesan dari Riana. Aneh sekali.
Biasanya Riana selalu membalas pesan Devan dengan cepat.
"Dev! Kau sudah makan siang?" Teguran dari paman Owen membuyarkan lamunan Devan.
"Sudah, Paman. Ada apa?" Jawab Devan cepat.
"Ikut Paman sebentar!" Titah paman Owen memberi kode pada Devan agar mengikutinya.
Devan hanya mengangguk dan segera mengikuti langkah pria paruh baya tersebut.
****
Tepat pukul tiga sore, Theo sudah tiba di restoran paman Owen. Setelah mengobrol sebentar dan minta izin pada paman Owen, Theo dan Devan segera pergi meninggalkan resto dan menuju ke dealer motor.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, dua pria tersebut akhirnya tiba di sebuab dealer motor. Theo dan Devan berkeliling dan melihat-lihat motor mana yang akan mereka beli.
"Kau ingin membeli motor yang bagaimana, Dev?" Tanya Theo seraya menyodorkan sebuah brosur pada Devan.
"Yang biasa saja. Yang seperti itu," Devan menunjuk pada salah satu motor matic yang dipajang di bagian depan dealer.
"Aku rasa kurang cocok untukmu. Kenapa tidak membeli yang seperti itu saja?" Theo menunjuk ke arah motor sport yang ada di bagian tengah ruang etalase.
"Tidak!" Jawab Devan tegas.
"Yang itu harganya sangat mahal, Theo!" Imbuh Devan lagi yang merasa keberatan.
"Oh, ayolah! Nona Bellinda yang akan membayarnya. Dia baru saja mendapat sebuah proyek besar berkat dirimu. Jadi jangan sungkan begitu!" ujar Theo sedikit terkekeh.
Pria itu sudah dengan cepat menghampiri bagian penjualan. Sepertinya Theo langsung melakukan transaksi.
"Theo, ini terlalu berlebihan!" Sergah Devan yang masih merasa keberatan dengan ide Theo untuk membeli motor sport mahal.
"Sudah terlanjur aku beli. Tidak bisa dikembalikan lagi," jawab Theo santai.
"Nona Bellinda akan mengomel kalau kau membeli motor yang murahan seperti itu!" Imbuh Theo lagi yang kini telunjuknya mengarah ke deretan motor matic yang tadi sempat di pilih oleh Devan.
Devan hanya bisa berdecak pasrah.
Theo sudah selesai melakukan pembayaran. Kata pihak dealer, motor akan secepatnya dikirim ke apartemen Nona Bellinda.
"Ayo kita pulang!" Ajak Theo seraya menepuk punggung Devan. Sepupu nona Bellinda itu berjalan cepat menuju pintu keluar dealer, dan Devan segera mengikuti langkah Theo.
Theo dan Devan sudah dalam perjalanan pulang menuju ke apartemen Nona Bellinda.
"Kau harus mengajariku naik motor setelah ini," ucap Theo memulai percakapan.
"Apa? Kau tidak bisa naik motor?" Cecar Devan merasa heran.
Theo mengendikkan bahunya,
"Papa selalu melarangku naik motor, karena kata papa itu adalah sebuah mesin pembunuh yang berbahaya," jawab Theo yang langsung membuat Devan tergelak.
"Tertawalah sepuasmu! Memang kenyataannya begitu," ujar Theo lagi sedikit kesal.
"Maaf, Theo. Aku tidak bermaksud mengejekmu," ucap Devan yang berusaha keras menghentikan tawanya.
"Aku akan mengajarimu sampai ahli nanti," imbuh Devan lagi seakan sedang berjanji pada Theo.
Theo hanya mengangguk dan tersenyum senang. Tidak ada lagi obrolan diantara kedua pria itu, hingga mereka tiba di gedung apartemen Nona Bellinda.
"Kau tidak mampir?" Tanya Devan sebelum turun dari mobil Theo.
"Tidak aku akan langsung pulang. Bye!" Theo melambaikan tangan pada Devan yang sudah turun dari mobil.
Setelah Devan membalas lambaian tangan Theo, mobil Theo segera melaju meninggalkan gedung apartemen.
Devan segera naik lift yang ada di lobby dan menuju ke lantai tempat unit apartemen Nona Bellinda berada.
Baru saja Devan membuka pintu dengan kartu akses, ponselnya berbunyi.
Riana menelpon.
Devan segera mengangkatnya.
"Halo, Riana. Kau-" Devan belum selesai menyapa Riana saat kekasihnya itu sudah memotong kalimat Devan dengan cepat.
"Mas Devan! Maafkan Riana..."
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir.
Dukung othor dengan like dan komen di bab ini 👠
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
KNP RIANA MNTA MAAF, JGN2 RIANA SDH DINIKAHKN SAMA ANAK JURAGAN TANAH
2023-05-09
0
Ney Maniez
🤔🤔
2022-11-29
0
weny
riana nikah ma tuan tanah
2021-12-04
0