Dear Enemy
Rosario, Argentina.
2019
Derap langkah kaki terdengar di sepanjang jalan. Anak lelaki itu berlari dengan sekuat tenaga diantara ramainya orang yang berlalu-lalang siang itu. Penampilannya tampak amat berantakan bagaikan seorang gelandangan, pakaiannya compang-camping, dan tubuhnya lusuh bukan main. Dia terus berlari dengan sekuat tenaga, walaupun napasnya memburu dan rasa lelah telah menggelayut di tubuhnya.
“Berhenti di sana!” Beberapa orang berteriak padanya dalam bahasa Spanyol. Memintanya untuk berhenti berlari. Anak itu menoleh ke arah datangnya suara, dan dia mendapati dua orang dewasa yang kini mengejarnya dari arah belakang. Menyadari kedatangan mereka tentunya membuatnya kian merasa resah, terlebih dari apa yang dia lihat, mereka semakin dekat ke arahnya.
Dengan tubuh gemetar, anak itu menggenggam erat benda yang sejak tadi di bawa lari bersamanya. Dia sama sekali tak berniat mengikuti perintah mereka untuk berhenti. Bahkan alih-alih berhenti, dia malah mempercepat langkahnya. Berlari semakin dalam di antara kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang. Para pejalan kaki yang berlalu di sana tidak bisa mengalihkan perhatian mereka dari kedatangannya yang tiba-tiba membuat keributan dengan datang berlari menembus kerumunan bersama beberapa orang dewasa mengejarnya dari belakang.
Brukk!
Di tengah pelariannya itu, dia tidak sengaja menabrak seorang pria bertubuh gemuk yang baru saja keluar dari salah satu restoran di dekat jalan. Pria tadi terkejut begitu mendapati anak lelaki itu menabrak tubuh gemuknya. “Astaga, kau mengejutkanku saja. Kau baik-baik saja, nak?”
Pria yang baru saja ditabraknya menatap anak itu dengan raut wajah cemas begitu melihatnya tersungkur di tanah akibat tabrakan yang cukup keras. Anak itu mendongak, dia melihat pria itu mengulurkan tangan, berusaha untuk membantunya berdiri. Namun belum sempat pria itu menolongnya, perhatian anak itu sudah kembali disita suara teriakan orang yang berusaha mengejarnya.
“Itu dia!” teriak salah satunya. Dia menoleh, dan mereka semakin berada tepat di belakangnya. Dengan panik, anak lelaki itu langsung bangkit dan berlari, menghiraukan pria yang baru saja mengulurkan tangan untuk membantunya.
“Hey, nak! Kau mau kemana?” Pria gemuk itu berteriak memanggilnya. Tapi dia tidak sempat mengejarnya karena pergerakan anak itu yang begitu cepat. Tak lama, beberapa orang dewasa yang mengejarnya pun melewati si gemuk tadi dengan tergesa-gesa. Tampak jelas bahwa mereka harus mengejar anak itu secepat mungkin.
...*...
Carlota dan anak buahnya menghentikan langkah mereka begitu mereka kehilangan jejak dari Elios. Dengan napas terengah-engah, mereka terdiam seraya mengedarkan pandangan mereka ke sekeliling, mencari sosok anak lelaki berusia lima tahun yang sejak tadi sedang mereka kejar itu.
“Kita kehilangan jejaknya, bagaimana sekarang?” tanya Woody. Lelaki bertubuh jangkung yang tak lain adalah rekan kerjanya.
“Sial. Tidak ada pilihan lain. Kita harus berpencar. Kau bawa yang lain ke sana, dan aku bersama sisanya ke sana.”
“Baik!” Carlota dan Woody lantas berpisah. Woody bersama beberapa anak buahnya pergi ke jalan di sebelah kiri mereka, sementara Carlota pergi ke sisi lainnya. Mereka bergegas berlari dengan sekuat tenaga, berusaha untuk menemukan Elios secepat mungkin.
Di sisi lain, anak laki-laki berusia lima tahun yang sejak tadi mereka kejar sedang berusaha keras mengatur napasnya. Dia terduduk di balik semak-semak yang letaknya berada tepat di taman tak jauh dari mereka kehilangan jejaknya. Tubuh Elios masih gemetar, dan dia masih menggenggam benda yang semula dibawanya dari mereka.
Carlota dan anak buahnya berjalan menyisir seluruh taman. Hal itu membuatnya panik dan spontan keluar dari persembunyiannya guna mencari tempat lain yang lebih aman untuknya bersembunyi. Dia harus bersembunyi di tempat yang aman, atau mereka akan menangkap dan menyiksanya lagi.
Elios terdiam sesaat, dia bisa mencium keberadaan Carlota dan anak buahnya. Bahkan dia bisa merasakan keberadaan mereka yang semakin dekat. Sadar akan hal itu, dia berusaha berpikir cepat. Tapi tak lama, perhatiannya beralih pada sekelompok orang yang berjalan menghampiri sebuah gedung. Menyaksikan hal tersebut, dia jadi memiliki ide untuk ikut masuk bersama mereka. Elios menggigit benda yang dibawanya, dengan segera anak itu membungkuk dan berlari dengan kaki serta tangannya seperti seekor anjing. Dia berlari menuju gedung yang tadi dilihatnya.
...*...
Anak laki-laki itu terdiam memperhatikan wanita dewasa yang kini terbaring di ranjangnya dalam keadaan lesu dan wajah yang pucat. Dia memperhatikan wajah wanita itu yang kini terpejam, dan berusaha untuk beristirahat. Tak lama, wanita itu membuka kedua matanya, dia terdiam, beradu tatap dengan anak lelaki tampan yang kini menatapnya dari jarak yang begitu dekat. “Hai, James. Apakah ada sesuatu yang kau inginkan?”
“Aku mau susu…” gumam anak itu dengan wajah serius. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi, dan Ella sama sekali belum menyiapkannya makan siang karena dia merasa tidak enak badan.
“Oh! Benar. Ini sudah saatnya kau minum susu dan makan siangmu kan? Kalau begitu akan aku buatkan.” Ella berusaha untuk bangkit. Wanita yang menjadi pengasuhnya itu tampak begitu lesu dan tidak bertenaga, bahkan hanya sekedar untuk bangun dari ranjang tidurnya.
“Ella, kau tidak apa-apa? Kau terlihat begitu lemas…” James menatapnya khawatir.
“Aku tidak apa-apa, James. Aku hanya sedikit tidak enak badan, dan kepalaku agak sedikit pusing.”
“Kau sakit?” James semakin cemas. Ella hanya bisa tersenyum simpul sambil menggeleng pelan. “Jika kau sakit, biar aku buat susu sendiri.”
“Tidak. Kau masih kecil, dan kau juga pasti tidak bisa membuatnya sendiri kan?”
“Aku bisa! Lagipula aku sudah besar. Umurku bahkan sudah lima tahun!” James menunjukkan lima jarinya ke arah wanita yang menjadi pengasuhnya itu. Ella terkekeh pelan mendengar penuturannya yang begitu lucu. Anak itu dengan begitu percaya dirinya mengatakan kalau dia sudah besar, tapi dia sendiri tahu bahwa usianya baru lima tahun. “Dan lagi… Mum pernah mengajarkanku untuk membuat susu.”
“Kau sungguh bisa melakukannya sendiri?” tanya Ella memastikan. Dengan semangat, anak itu menganggukkan kepalanya. “Kau ingin mencoba membuatnya sendiri juga?”
Sekali lagi, James menganggukkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan wanita itu bahwa dia bisa melakukannya. “Baiklah, kalau begitu, kau buat sendiri. Tapi ingat untuk berhati-hati, okay? Airnya panas, dan ingat! Jangan terlalu banyak mengisi airnya ke dalam cangkir. Takutnya nanti meleber.”
“Baik, aku mengerti. Sekarang lebih baik kau beristirahat dan jangan banyak bergerak. Jangan sampai kau tambah sakit.”
“Iya.” Ella menganggukkan kepalanya lalu kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Sementara itu, James melangkah menuju dapur untuk membuat susu. Tiba di dapur, dia langsung mendorong bangku pijakan yang biasa dia gunakan untuk mencapai meja. Dia segera mengambil cangkir minumnya, dan mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk membuat susu. Sebisa mungkin anak itu mengingat segala hal yang pernah diajarkan oleh sang Ibu ketika membuat susu.
“Masukkan beberapa sendok susu, lalu… isi air. Hanya semudah itu!” James bergumam pelan sambil tersenyum. Setelah mengisi cangkir dengan susu, anak itu segera mengambil cangkirnya untuk diisi air. Di sana, terdapat dua tombol dengan indikator warna yang berbeda. James terdiam sesaat sambil memperhatikan dua tombol warna itu, dia sungguh lupa tombol mana yang harus dia tekan untuk mengisi cangkir berisi susunya. “Kanan atau kiri, ya? Aku lupa…”
James termangu. Dipelototinya kedua tombol itu sambil berusaha mengingat-ingat kembali langkah yang tepat. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya James mengambil keputusan. Anak itu menekan salah satu tombol yang ada di sana dan langsung mengisi cangkirnya hingga mencapai batas yang seperti biasa diberikan Ella. Setelah mengisinya, dia langsung menutup cangkirnya dengan tutupnya lalu mengocok cangkir itu guna mengaduk seluruh susunya.
“Sangat mudah.” James tersenyum bangga. “Jika Mum dan Dad tahu aku membuat susu sendiri, mereka pasti akan sangat bangga padaku. Sekarang waktunya minum susu!”
Dengan bersemangat, James melahap moncong pada tutup cangkirnya. Begitu dia menyedot isinya, ekspresi wajahnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. “Ewh… rasanya agak aneh…”
...*...
Elios melangkah memasuki lobi. Anak itu terdiam sambil menatap ke sekeliling. Setibanya di dalam, dia melihat ada lebih banyak orang yang sedang berlalu-lalang di dalam sana. Dengan masih terengah-engah, dia terus melangkah sambil berusaha mengatur napasnya. Namun tidak lama kemudian, seorang security berjalan menghampirinya. “Hey, nak! Apa yang sedang kau lakukan di sini! Kami disiniD tidak menerima gelandangan sepertimu!”
Security itu menatap Elios dengan wajah garang, berusaha untuk mengusirnya pergi dari sana. Menyadari adanya ancaman bahaya, Elios mengerutkan kening, menatap security itu tidak kalah garang. Anak itu menjatuhkan benda yang tadi digigitnya dan mulai menggonggong pada si security bagaikan anjing. Hal itu spontan membuat perhatian semua orang tertuju padanya. Si security panik, apalagi begitu dia melihat reaksi orang-orang yang seolah menuduhnya meminta anak itu melolong seperti barusan.
“Apa yang kau lakukan! Hentikan! Berhenti menggonggong!” teriak lelaki itu dengan panik, sementara Elios terus menggonggong ke arahnya. Pria itu kian panik, dia lantas berusaha melakukan sesuatu dengan berniat menyerang anak itu.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments