Minggu pagi selalu menyenangkan buat Ririn. Dulu jamannya masih sekolah, Ririn serasa mencium aroma berbeda di hari Minggu, mungkin karena itu satu-satunya hari libur sekolah, kalau Sabtu kadang masih pergi ekskul.
Hari ini Bu Nani, Emaknya Ririn tidak membuat nasi goreng dan telor ceplok sebagai menu andalannya. Hari ini ia membuat nasi uduk dan telor dadar iris, wihh... harum santannya sampai tercium seisi rumah.
"Wangi sekali Mak, bikin laper," kata Ririn sambil menjinjing ember dan tongkat lap pel.
"Kalau sudah beres ngepelnya, mandi dulu Rin."
"Tadi mah di kamar mandinya ada Tami lagi nyuci Mak."
"Coba periksa lagi, barangkali sudah selesai nyucinya."
"Ya Mak," kalau komandan sudah memberi perintah tidak bisa diganggu gugat. Kalau disuruh mandi ya harus mandi.
...***...
Sekarang semua penghuni rumah sudah duduk mengelilingi meja makan.
"Tumben Mak menunya nasi uduk," celetuk Amran.
"Ada yang kurang nih Mak, kerupuknya," sekarang Tami yang nyeletuk.
"Oh Emak masih punya emping tuh di toples."
Drrt.... drrt....
Rin kita jalan-jalan bertiga dengan Mas Devan sebentar lagi kujemput ya.
"Uhhuk.... uhhuk." Ririn tersedak membaca pesan dari Citra. Sebuah ajakan yang tak mungkin bisa ditolak.
Baik Mbak, saya tunggu. Ririn membalas pesan dari Citra. "Jalan-jalan bertiga? hadeuh mana mungkin terjadi? Apa nggak akan canggung gitu?" Pikiran Ririn galau, sampai nggak terasa nasi uduk udah habis dua piring.
"Teteh lapar banget ya? Sampai mau nyendok nasi lagi?" celetuk Amran dengan wajah keheranan.
"Kenapa gitu De?"
"Teteh ini mau yang ketiga kalinya nambah nasi."
"Astaghfirullah... yang bener De? Teteh ngelamun jadi nggak terasa."
"Teteh stress ya gara-gara mau nikahan?" Tami tertawa menggoda Ririn.
"Nanti pas saat nikahan, Teh Ririn jadi gendut bulet soalnya nggak sadar makannya banyak terus." Tami tertawa makin keras.
"Iya, nanti pas nikahan yang lain mah pengantin teh cantik kalo si Teteh mah kayak ondel-ondel." Sekarang Amran yang tertawa keras.
Pletak... pletak....
"Aduh sakit Teteh," teriak serempak Amran dan Tami.
"Kebiasaan ngomongin Teteh... didepan muka lagi... nggak dikasih uang jajan baru tahu rasa."
"Ampun Teteh... itu mah heureuy... main-main atuh Teteh... Teteh mah buat Ade paling cantik sedunia... paling baik sedunia." Amran mencoba merayu Ririn. Ririn mencebikkan bibirnya
Ririn beranjak hendak masuk ke kamarnya mau ganti baju karena sebentar lagi akan dijemput Citra. Tiba-tiba Amran menangis histeris.
"Hooaaa. ampun atuh Teteh .... hooaaa jangan marah atuh Teteh... hoooaaa......"
Tentu saja Ririn kaget, "Euleuh cup.. cup... cup.. Teteh udah nggak marah cup .. cup... cup... Nih buat jajan sepuluh rebu."
Tangisan Amran langsung terhenti begitu Ririn mengasongkan selembar uang, "Makasih Teteh," kemudian ia berlalu begitu saja. Ririn hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan adiknya itu.
...***...
"Teteh, ada Aa Devan didepan." Tami memberi tahu Ririn
Ririn keluar dari kamarnya, ia mengenakan gamis bercorak bunga warna Salem senada dengan kerudungnya.
Devan terpana melihat Ririn, ia biasa melihat Ririn dalam seragam kerjanya sekarang Ririn terlihat berbeda.
"Mak, Teteh pergi dulu, assalaamualaikum." Ririn pamit pada Bu Nani sambil mencium tangannya.
"Bu, saya pinjam dulu Ririnnya, assalaamualaikum" Devan membungkukkan sedikit badannya pada Bu Nani.
"Iya nak, hati-hati di jalan."
...***...
Ternyata Citra menunggu didalam mobil. Ia menyuruh Devan untuk menjemput Ririn.
"Rin ayo duduk sini." Citra membuka pintu belakang. "Biar Mas Devan jadi sopir kita hari ini," katanya sambil tertawa kecil.
"Mas kita ke mall yang di Gatsu aja ya," Devan hanya mengangguk.
"Rin kamu cantik pake warna begini." Ririn hanya tersenyum. "Panas nggak pake hijab terus?"
"Awalnya tidak nyaman, tapi lama-lama terbiasa, udah lama sih Mbak pakenya dari jaman sekolah dulu."
"Aku juga pengen pake hijab Rin, tapi kayaknya ribet deh pake kerudungnya."
"Kan sekarang banyak kerudung yang plek tinggal pakai nggak perlu peniti, modelnya juga bagus-bagus."
"Rambut rontok nggak kalo sering dikerudung gitu?"
"Kayaknya kalau aku sedikit rontok deh, mungkin juga karena rambutku panjang."
"Oh, berarti rambutmu perlu perawatan. Mulai sekarang kalsu nyalon bisa bareng aku Rin."
"Aku belom pernah ke salon buat perawatan Mbak." Ririn tersenyum.
"Nanti aku ajakin..."
Tak terasa sampai juga di mall yang dituju. Citra jalan bersama Ririn sedang Devan mengekor di belakangnya.
Citra menyeret Ririn dari satu toko ke toko lainnya. Mulai dari toko sepatu, aksesoris, kosmetik, baju dalam, pakaian muslim. Setiap ada barang yang Citra beli, ia juga membelikan barang yang sama untuk Ririn. Alhasil, Devan sudah menjinjing banyak paper bag di tangannya.
Sekarang mereka sudah duduk mengelilingi meja didalam restoran makanan Jepang. Devan duduk disebelah Citra. Dari tadi Devan tidak banyak berbicara.
"Rin, kamu capek ya?" Citra membuka percakapan.
"Kaki sedikit pegal Mbak." Ririn tersenyum pada Citra kemudian melirik pada Devan.
"Citra itu kalau masuk ke mall, seperti wajib semua toko harus dimasuki dari ujung sampai ke ujung lagi," Devan berkata pada Ririn. Citra mencubit kecil tangan Devan.
"Ya iyalah... ngapain jauh-jauh datang ke mall kalo semua toko nggak kita intipin ya kan Rin?" Citra berkata seperti ingin ada persetujuan dari Ririn. Devan mengacak-acak rambut Citra.
"Ah Mas, rambutku jadi berantakan nih." Citra menyenggolkan bahunya ke badan Devan.
Ririn yang menyaksikan adegan tersebut, merasakan romantisme dalam keakraban Devan dan Ririn. Kalau ia sudah menjadi istri Devan, bagaimana perasaannya melihat adegan tadi? Ririn hanya tersenyum, kehidupannya kedepan pasti akan banyak menyaksikan keakraban mereka berdua, ini akan menjadi pelajaran untuk bersabar yang panjang untuk Ririn.
Untuk mereka bertiga Devan, Citra dan Ririn, hal seperti jalan-jalan bersama begini merupakan hal yang baru. Mereka bertiga sedang belajar menyesuaikan diri, bukan hal yang tak mungkin kalau kedepannya mereka akan sering melakukan acara keluarga bersama.
Devan memperhatikan kedua wanita yang ada dihadapannya, yang satu istrinya dan yang satunya lagi calon istrinya. Secara teori Devan sudah tahu kalau punya dua istri harus bisa adil, ... kalau memberi nafkah lahir atau memberi nafkah batin Devan yakin bisa membaginya dengan adil, tapi dia tidak yakin bisa menyayangi keduanya secara adil.
Jangan ditanya rasa sayang Devan untuk Citra... jawabannya sudah pasti sangat besar. Tapi bagaimana untuk Ririn? Saat ini Devan hanya bisa berjanji akan belajar dan berusaha untuk menyayangi Ririn. Tapi bagaimana jika dalam usahanya menyayangi Ririn ia melukai perasaan Citra? Devan tidak ingin Citra terluka perasaannya.
*********************************************
terima kasih sudah membaca novel ini, mohon beri dukungan author dengan memberikan rate, vote, comment n like ya 😘😘😘
*********************************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Ana Yulia
Semangat thor, semoga sukses 🤗💗
2021-09-05
0
Isma Aji
lanjut 🤗
2021-07-15
0
Rasinar Yohana
maaf baru hadir kaka
aku datang bawa boom like untuk kaka 😘
2021-06-29
1