Devan yang sudah berada diruang kantornya kembali, kini sedang sibuk membaca dokumen dan meneliti berkas-berkas yang harus ia tanda tangani.
"Drrt... drrt," ponselnya bergetar. Diraih ponselnya, pada layar ponsel tertera nama Hadi.
"Ya, hallo Pak Hadi..."
"Pak Devan saya sudah mengirim email mengenai orang yang bernama Ririn tersebut. Silahkan periksa email Bapak."
"Terima kasih Pak."
Devan membuka email di laptopnya. Dia membaca tulisan yang dikirimkan oleh Pak Hadi itu.
"....Oo ia tinggal di daerah Cimahi, berikut alamat lengkapnya bla... bla...bla... Ia tinggal dengan ibu dan kedua adiknya... Ayahnya sudah meninggal 2 tahun yang lalu... Menurut tetangganya Ririn gadis yang baik... Ia menjadi tulang punggung keluarganya... Adik laki-lakinya masih SD sedangkan adik perempuannya sudah SMA," Devan membaca email yang dikirimkan Pak Hadi.
Pak Hadi juga mengirimkan foto rumah Ririn, foto lingkungan sekitar rumahnya. Foto ibunya dan juga foto kedua adiknya.
'Hmm, tapi ini kok ibunya lagi ngapain? tangannya sebelah kanan lagi ngacungin sapu lidi, tangan sebelahnya lagi ngangkat ujung dasternya. Kedua adik Ririn juga kayak ngejar sesuatu.. eh ayam.. mereka semua kayak lagi ngejar ayam jago," gumam Devan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dibawah foto tersebut Pak Hadi memberikan keterangan...note: nama ayam jagonya Beno.
"Walah-walah, Pak Hadi ngasih infonya super lengkap, sampai nama ayamnya saja dia tahu," Devan senyum-senyum sendiri.
...***...
Devan menekan nomor ekstensi pada telpon yang ada di mejanya. "Shania, tolong hubungi Ririn bagian produksi, suruh datang ke ruangan saya."
"Baik Pak." Setelah menutup telpon dari Devan, Shania langsung menghubungi Ririn.
"Hallo Rin, kamu disuruh datang ke ruangan Pak Devan, segera ya."
"Aduh ada apa ya Mbak Shania? Perasaan tadi rapat semua masalah proyek sudah diomongin."
"Aku juga nggak tahu Rin, cepet aja ya dateng kesini."
"Oh, iya..ya.. "
"Duh, ada apa ya? Selama kerja disini belum pernah aku dipanggil ke ruangan Dirut. Kalo ada urusan pekerjaan, paling yang menghadap Dirut, pasti Pak Yudha manajer produksi," pikiran Ririn berkecamuk.
Dengan dada berdegup Ririn melangkahkan kakinya menuju lift, masuk lift menuju lantai tujuh, keluar dari lift langsung menuju meja Shania.
Melihat Ririn datang, Shania beranjak dari kursinya dan memberi isyarat pada Ririn untuk mengikutinya.
Tok.. tok.. tok.. Shania mengetuk pintu kantor Devan. "Masuk!" terdengar suara ngebass dari dalam.
"Ririn sudah ada disini, Pak."
"Suruh dia masuk."
Ririn melangkahkan kakinya masuk, terlihat Devan sedang duduk di mejanya, matanya menatap lekat kearah Ririn.
Devan beranjak dari kursinya. "Silahkan duduk." Tangannya menunjuk ke arah kursi tamu yang ada ruangan itu.
Masih dengan dada yang berdegup, Ririn menurut melangkahkan kakinya menuju kursi tamu tersebut. Ririn mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangan kantornya luas, ada pantry disudut ruangan, jendela kantornya besar, didekat jendela terdapat beberapa jenis tanaman hias menambah kesan asri.
"Mau minum?" terdengar suara ngebass Devan membuyarkan lamunan Ririn.
"Ti..tidak Pak... terima kasih," Ririn menjawab dengan tersendat karena ia sedikit kaget.
Walaupun Ririn sudah menolak tawaran minumnya, Devan tetap melangkahkan kakinya menuju pantry yang ada di sudut ruangan. Ia membuat dua cangkir teh manis. Ia terbiasa membuat minumannya sendiri tanpa menyuruh sekretarisnya.
Setelah selesai membuat minuman, Devan melangkah menuju kursi tamu. Ia meletakkan cangkir di atas meja, satu didepan Ririn, satunya lagi didepan Devan.
"Duh.. ada apa ini ya? Mana aku dibuatkan minum. Aku bikin salah apa ya? Apa aku mau dipecat," gumam Ririn dalam hatinya.
"Maaf, ada perlu apa ya Bapak memanggil saya?," Ririn memberanikan diri untuk bertanya.
"Rin, mau nggak kamu kuliah?"
Ririn menatap Devan. "Tentu saja saya mau!" jawabnya mantap.
Ia memang sangat ingin bisa merasakan bangku kuliah. Ririn sudah bertanya pada temannya yang berkuliah di universitas didekat gedung tempatnya bekerja. Ia pernah meminta rincian biayanya untuk kuliah kelas karyawan. Ia bertekad akan menabung untuk biaya kuliahnya. Tapi ternyata realita tidak sesuai dengan ekspektasi. Ririn tak pernah bisa menabung, hampir seluruh gajinya ia serahkan pada ibunya untuk biaya hidup keluarganya.
"Saya akan membiayai kuliah kamu," terdengar Devan berkata lagi.
Ririn membelalak menatap Devan, "Benarkah?" tanyanya seperti tak percaya.
"Ya, bahkan saya juga akan membiayai sekolah kedua adikmu sampai ke bangku kuliah."
Ririn mengernyitkan dahinya, dia merasa ada yang aneh, kalau dia yang ditawari kuliah lagi masih bisa dimengerti karena dia kan karyawan di perusahaan ini. Tapi kok ya kedua adiknya juga ditawari akan dibiayai sekolahnya sampai bangku kuliah lagi.
"Tapi,.. ada syaratnya," tiba-tiba Devan berkata lagi.
"Kamu harus menikah dengan saya!"
Glek... Ririn menelan ludah. "Hahh... apa Pak? Saya takut salah dengar Pak." Ririn memberanikan dirinya menatap wajah Devan.
"Kamu harus menikah dengan saya!" Devan mengulangi perkataannya.
"Ta...tapi.. Bapak kan sudah punya istri, kalau saya bersedia diperistri oleh Bapak berarti saya menjadi pelakor. Apa Bapak berpikir efek kedepannya bagaimana orang-orang dan rekan kerja saya akan memandang diri saya."
"Segeralah serahkan surat pengunduran dirimu jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkan pandangan teman kerjamu."
"Mengundurkan diri? Kesalahan saya apa Pak?" air matanya mulai mengalir di pipi.
"Kalau saya mengundurkan diri, bagaimana saya bisa menghidupi keluarga saya," Ririn berkata seolah-olah ia berkata pada dirinya sendiri.
"Maka dari itu, menikahlah denganku," Devan mengganti kata saya dengan aku agar tidak terlalu formal pikirnya.
"Kalau kau menikah denganku aku akan menanggung seluruh biaya hidup keluargamu. Bahkan aku bisa memberi lebih."
"Pak walaupun saya sangat membutuhkan uang, tapi uang bukan segalanya. Saya tidak ingin menyakiti perasaan perempuan lain karena merebut suaminya."
"Istriku yang menyuruhku menikah lagi," kata Devan sambil menatap lekat wajah Ririn. Benar saja perkiraannya, Ririn perempuan yang baik, walaupun ia membutuhkan uang, ia tak ingin menyakiti orang lain demi mendapatkan uang.
"Hahh... Benarkah? Benarkah ada seorang perempuan yang sukarela menyuruh suaminya menikah lagi?" Ririn sungguh merasa aneh.
Devan menganggukkan kepalanya.
"Tapi kenapa Bapak memilih saya untuk dijadikan istri? Bukankah disini masih banyak karyawati yang masih single? Apalagi diluaran sana pasti banyak sekali wanita cantik dan single yang mau dijadikan istri oleh Bapak."
"Aku ingin perempuan yang baik untuk dijadikan istri," mata Devan menatap Ririn.
Ada perasaan berdesir ketika Ririn mendengar ucapan Devan seperti itu. "Oh, dia menilaiku sebagai perempuan baik," pikir Ririn dalam hatinya.
"Bagaimana kalau saya tidak bersedia dijadikan istri oleh Bapak?"
"Silahkan menyerahkan surat pengunduran diri. Kalau tidak menyerahkan surat pengunduran diri, kamu akan aku pecat!"
Deerrr... Seperti petir di siang hari, begitu perasaan Ririn mendengar perkataan Devan.
"Wah, itu sih namanya maksa," gumam Ririn ngedumel kesel, bibirnya sampai mengerucut.
"Kuberi waktu tiga hari untuk memikirkan jawabannya," Devan mengultimatum.
*********************************************
terima kasih sudah membaca novel ini, mohon beri dukungan author dengan memberikan rate, vote, like n comment ya 😘😘😘
*********************************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Devi Sihotang Sihotang
seru cerita nya
2022-10-23
0
Fira Ummu Arfi
likeeee
2021-09-22
0
Fira Ummu Arfi
likeeeeeee
2021-09-22
0