Happy reading...
Teriknya sinar matahari siang ini membuat siapa saja enggan untuk beranjak dari tempatnya. Tidak terkecuali Alya yang sedang menikmati semangkuk kecil es krim di sebuah restoran cepat saji.
Disela-sela suapannya, sesekali Alya melirik pria di depannya. Pria itu sedari tadi memperhatikannya. Membuat Alya merasa malu sekaligus jengah.
"Ngapain loe senyum-senyum?"
"Ngelihatin loe. Sadar nggak sih kalau loe itu lucu?" tanya Rafael.
"Heh, lucu. Emangnya gue badut," gerutu Alya.
"Loe punya pacar nggak?"
"Nggak," jawab Alya singkat.
"Bohong."
"Gue nggak bohong. Terserah loe mau percaya apa enggak."
"Terus gue siapa dong?"
Alya terperangah, namun cepat-cepat ia menutupinya.
"Elo ya elo, kenapa tanya gue?" delik Alya.
"Jadi bener nih, loe nggak nganggap gue pacar?" tanya Rafael dengan tatapan menyelidik.
Alya memalingkan wajahnya. Tidak ada sanggahan terucap dari bibirnya.
"Loe ngapain tadi di ruangan Maliek? Loe nggak ngomongin gue, kan?"
"Nggak lah. Mana mau Maliek ngomongin sesuatu yang nggak penting," kelakar Rafael.
"Terus, kalian ngomongin apaan?"
"Ngomongin kerjaan. Gue ada rencana mau buat resort."
"Punya siapa? Loe kerja dimana?"
"Gue nggak kerja dimana-mana," sahut Rafael santai.
"Katanya loe mau buat resort." Alya mulai kesal.
"Maksud gue, nggak kerja di orang lain. Gue ngebangun usaha sendiri, di sektor pariwasata. Gua ada rencana ngebangun resort buat ngembangin usaha gue," sahut Rafael.
"Loe kaya dong," ujar Alya dengan cueknya.
"Hmm, gimana ya?" Rafael menyeringai dengan sudut mata yang sipitkan.
"Kalau gue kaya, loe mau jadi pacar gue?" Tanyanya lagi.
"Tergantung," jawab Alya sambil mengangkat bahunya sedikit.
Rafael tersenyum tipis. Dalam hati ia mengagumi sikap Alya yang apa adanya dan juga terbuka.
"Loe matre juga ya," canda Rafael.
"Terserah loe mau berfikir apa. Gue sih realistis aja," sahut Alya santai.
"Hmm, lumayan lah. Nggak sekaya Tuan Salman sih, hehe."
Alya menyeringai mendengar jawaban Rafael. Pikirnya, kalau pria di depannya ini sekaya ayah Meydina pasti tidak akan mau jadi pacarnya.
"Gimana, mau nggak?" tanya Rafael.
"Boleh deh, tapi beneran ya loe kaya." Alya menunjukkan jarinya ke wajah Rafael. Bukannya tersinggung, pria itu malah terkekeh senang membuat Alya merasa heran.
***
Di kediaman Salman, Meydina dan Laura bersiap akan pergi belanja. Panas yang terik tidak mengurungkan niat dua ibu muda itu, selagi anak-anak mereka sedang menikmati tidur siangnya.
"Mey, kamu nggak kelihatan udah punya anak tiga lho," puji Laura. Meydina yang berpakaian casual dengan jeans dan kemeja longgar memang terlihat seperti wanita yang belum menikah.
"Ah, Kakak bisa aja. Kak Laura juga, cantik." Meydina mengacungkan ibu jarinya.
"Yuk, Kak!" ajak Meydina yang kini sudah siap dengan motor matic lamanya.
Motor itu banyak menyimpan kenangan bagi Meydina. Ia selalu meminta salah satu bawahan Aldo rutin memeriksa kondisi mesinnya. Maklum, sejak menikah Meydina sangat jarang menggunakannya.
Dua wanita dengan santainya melaju menerobos teriknya hari. Meydina yang sudah lama tidak melakukan hal itu terlihat senang dengan senyum yang mengembang.
Karena terlalu bersemangat, berkali-kali Laura memperingatkannya agar menurunkan kecepatan. Dan beruntung karena hal itu tidak berakibat fatal saat Meydina yang hampir menerobos lampu merah menekan tuas rem secara mendadak.
Tiiiin...
Lengkingan klakson mobil yang berada di belakang mereka mengalihkan pandangan orang-orang di sekitar. Meydina tersenyum malu hampir pada setiap orang yang menatapnya.
"Woy, loe yang bawa motor! Jangan bikin masalah ya! Nanti ujung-ujungnya minta duit," pekik pengemudi mobil tersebut.
Laura yang merasa tersinggung menoleh sambil mendelik. Tak disangka, pengemudi itu tersinggung.
"Sialan loe, bukannya minta maaf malah melototin gue." Umpatnya.
Pria itu hendak turun dari mobilnya, namun urung karena lampu lalu lintas telah berubah hijau. Dengan menahan kesal, ia kembali mengemudikan mobilnya.
"Kak, itu mobil yang tadi kan?" tanya Meydina beberapa saat kemudian.
Laura menoleh, kemudian berkata, "Sepertinya iya, Mey."
Meydina berlalu tanpa menghiraukannya. Sampai tiba di
parkiran sebuah pusat perbelanjaan.
Meydina sempat bersyukur karena pengemudi itu tidak lagi mengikutinya. Tanpa di duga, pria itu sudah menunggu mereka di lift yang ada di parkiran tersebut. Dan pastinya membuat mereka terkejut.
"Hei, kalian! Nggak ada niatan minta maaf, hah!" Serunya.
Saat dua wanita yang mendekat, pria itu tertegun. Wanita yang tadi di teriakinya, ternyata sangat cantik.
"Maaf, Om. Nggak sengaja," ujar Meydina sopan.
Mendengar Meydina memanggilnya 'Om' pria itu sepertinya tersinggung.
"Apa saya terlihat setua itu?" Tanyanya.
Sebenarnya pria itu tidak terlihat tua, usianya mungkin sekitar tiga puluh lima. Namun cara ia berkata-kata seperti orang tua yang sedang marah.
"Enggak, kok. Hehe," sahut Meydina canggung.
"Ya sudah, lupakan saja." Ujarnya.
Mereka bersama-sama memasuki lift. Pria itu sesekali melirik pada dua wanita yang di dekatnya dan tanpa sadar mengikuti langkah mereka dari belakang.
"Tunggu, Om ngikutin kita ya? Jangan-jangan mau nguntit," tuduh Meydina.
"Tidak, kebetulan saja arah yang kalian tuju sama dengan tujuan saya," sanggah pria itu.
"Ya udah, kalau begitu silahkan anda duluan," ujar Laura.
Sambil tersenyum yang di paksakan, pria itu melewati Laura dan Meydina.
"Aneh," gumam Meydina.
Keduanya kemudian melanjutkan rencana awal mereka. Belanja beberapa baju untuk buah hati mereka.
***
London
Hari pertama kuliah Amiera tidak berlangsung lama. Hanya pembahasan pokok materi yang akan mereka hadapi di semester ini.
Setelah selesai, Amiera memutuskan untuk menemui Bella di kantornya. Karena belum punya teman juga belum ada yang bisa ia kerjakan, Amiera merasa bosan. Ia berniat mengajak Bella makan siang.
Tiin..
Tiin..
Sebuah mobil berhenti tepat di depan Amiera yang saat ini sedang duduk di halte bus. Seorang pria terlihat dari kaca mobil yang di bukanya.
"Hei, mau aku antar!" Serunya.
Amiera yang tidak merasa mengenalinya tidak mengacuhkan panggilan itu. Karena menurutnya, ada beberapa orang disana.
"Hei, Cantik!" Serunya lagi.
Saat bus tiba, mau tidak mau pria itu memajukan mobilnya. Tanpa sepengetahuan Amiera pria itu mengikuti bus yang di tumpanginya.
Sesampainya di halte yang berada tidak jauh dari gedung kantor, Amiera berjalan dengan hati yang riang. Ia merasa bahagia, karena ternyata menjalani kehidupan seperti orang lain mendatangkan kesenangan tersendiri.
Lagi-lagi suara klakson itu. Pria yang tadi, menghentikan mobilnya di samping Amiera.
"Hei, Cantik! Boleh kenalan?"
Amiera mengernyitkan keningnya. Setelah menoleh ke kiri dan kanan, kini ia yakin pria itu berbica padanya.
"Kamu yang di halte kan? Mau apa kamu disini?"
"Aku ngikutin kamu," jawab pria itu jujur.
"Apa? Kamu ngikutin bus yang tadi?" tanya Amiera tak percaya.
"Iya."
"Ada perlu apa?" tanya Amiera datar.
"Mau kenalan." Lagi-lagi pria itu jujur apa adanya.
"Tapi aku nggak mau kenalan sama kamu," sahut Amiera dengan cueknya. Ia berlalu meninggalkan pria itu dengan tatapan yang bingung.
Pria itu terlihat kecewa, namun hanya sesaat karena kemudian ia berteriak, "Namaku Brian! Hei, Nona. Kau dengar? Brian!"
Amiera menoleh masih dengan tatapannya yang aneh melihat sikap pria itu.
"Apa perduliku? Dasar pria aneh," gumam Amiera.
Amiera melenggang menuju pintu loby perusahaan itu. Saat masuk ke dalam, langkahnya terhenti karena seseorang sedang menatapnya dengan tajam.
"Sophia?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
bunda syifa
bener Alya, cewek itu emang harus realistis bukan berarti matrek y
2022-06-14
0
Mbah Edhok
kok matre sih ning...
2021-08-15
0
✨Cinderella✨
Lanjuuut kak el ❤❤
2021-01-21
0