Happy reading...
Dinginnya semilir angin malam mulai terasa menusuk pertanda malam mulai larut. Meydina belum juga terlelap karena baru saja selesai menyusui bayi mungilnya.
Ia lalu membetulkan selimut kedua putranya yang tersingkap. Ditatapnya wajah lelah suaminya yang tidur di sisi lain tempat tidurnya. Walau terlihat lelah, wajah itu sangat tenang seolah tanpa beban.
Dalam hati Meydina sangat bersyukur memiliki pria yang menganggapnya begitu berharga. Ia berharap anak-anaknya kelak bisa seperti ayah mereka.
***
Maliek mengerjapkan kelopak matanya saat mendengar suara Amar yang terisak. Ia menoleh pada putranya yang berbaring tepat di sampingnya.
"Amar mau susu? Sebentar ya, Papi buatkan dulu," bujuk Maliek mencoba menghentikan isakan putranya.
Maliek bangkit dari tidurnya menuju ruang khusus dalam kamar itu yang biasa digunakan untuk menyiapkan susu kedua putranya.
Kamar itu sangat luas. Karena di dalamnya ada ruangan khusus bermain yang cukup luas, pantri kacil untuk menyiapkan susu, kamar mandi dan ruang tidur dengan kasur besar yang sengaja dibiarkan di lantai beralaskan karpet empuk. Pasangan muda itu sengaja merancang sedemikian rupa untuk kenyamanan anak-anak mereka.
Setelah memberikan susu botol pada Amar, ia menyangka putranya itu akan kembali tertidur. Sesaat ia menatap wajah Meydina yang terlihat cantik saat tertidur. Lalu keluar menuju kamarnya yang di atas untuk bersiap pergi ke kantor.
Amar yang selesai minum susu merangkak menuju Maminya melewati Zein yang masih tidur. Dan sudah pasti karena ulahnya, Kakaknya itupun terbangun.
Beruntung Zein tidak menangis. Melihat Amar yang ingin mengganggu sang Mami, Zein merangkak melewati Maminya. Dan mulailah mereka berbagi tugas mengganggu kenyamanan tidur Mami dan juga adik bayi mereka.
"Mi, mi," panggil Amar yang sedang menciumi wajah Maminya yang baru saja mengerjapkan mata.
"Pagi, Sayang. Amar sudah bangun? Sudah minum susu?" tanya Meydina yang kesulitan berucap karena Amar kini sedang bermain dengan wajahnya.
Suara kekehan kecil milik Zein mengalihkan perhatian Meydina. Ia sangat tahu bagaimana putra sulungnya itu. Jika Zein bahagia, pasti ada sesuatu yang dilakukannya.
"Amar, Mami mau duduk. Boleh?" tanya Meydina. Mendengar pertanyaan dari sang Mami, Amar beringsut dari wajah Maminya seolah mempersilahkan.
"Terima kasih, Sayang!"
Meydina melirik kearah Zein yang ada di sisi lainnya. Dan benar saja, Zein dengan senang hati mengeluarkan tisu dari tempatnya untuk menutupi adik bayinya yang mulai menangis.
"Kakak Zein, nggak gitu dong sayang." Meydina yang kini bersandar mengangkat Baby Fatum dalam dekapannya untuk diberi ASI.
Zein merangkak dan menduduki kaki Maminya yang berselonjor. Ia berusaha sebisa mungkin mengganggu kenikmatan adiknya yang sedang menyusu. Saat Meydina mencoba menghalangi keusilan Zein dengan sebelah tangannya, Amar bergerak mendekatinya.
Amar mencoba berdiri dengan berpegangan pada lengan hingga pundak Meydina. Ia terlihat senang saat berhasil tegak sambil berpegangan pada pundak Maminya.
Meydina mulai kewalahan saat sebelah tangannya harus menahan Amar dan menahan Zein sekaligus. Amar yang berdiri sambil bertepuk tangan dengan senangnya. Sedangkan sang kakak masih dengan misinya mengganggu adik bayinya.
Meydina juga kesulitan mengambil tombol bel yang berada tidak jauh darinya. Bel yang biasa ia gunakan untuk memanggil babysitters anak-anaknya. Lalu kemana Maliek?
"Waah, Papi kira kalian masih tidur." Ucapnya.
Maliek langsung duduk dan memangku kedua putranya.
"Kakak mau minum susu?"
"Ya," angguk Zein.
"Oke, kita buat yuk. Amar duduk dulu ya!" Pintanya.
Maliek berjalan munuju pantri di ikuti Zein yang terlihat senang. Amar yang tak mau di tinggalkan mengikuti langkah Zein walau harus terjatuh beberapa kali.
"Amar mau lagi?" tanya Maliek.
Melihat anggukan Amar, ia pun berkata, "Oke."
Dan akhirnya, kedua jagoan kecil itu tersenyum bahagia dengan susu botol dalam genggaman mereka.
"Cantik belum kenyang? Sisain dong buat Papi," goda Maliek pada bayinya.
"Papi kalau mau buat sendiri," sahut Meydina menirukan suara anak kecil.
"Mau punya Mami," ujar Maliek dengan tatapan menggoda.
"Ish, nggak boleh. Ini punya Fatum, Papi."
"Hmm." Maliek berekspresi kecewa, tapi tentu saja itu hanya pura-pura.
Mereka berdua tersenyum dan Maliekpun mengecup bibir istrinya.
Sambil menunggu susu kedua putranya habis, Meydina beranjak ke kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, ia terkejut karena Maliek tiba-tiba menarik pinggangnya.
"Kak, mau ngapain?" tanya Meydina pelan. Saat ini mereka sedang berada di pantri yang letaknya bersebelahan dengan kamar mandi.
"Bentar aja, Sayang."
Maliek merengkuh tubuh istrinya dan langsung mencium lembut bibirnya. Ciuman lembut itupun perlahan menjadi lum*tan menggairahkan. Namun sayangnya, cumbuan singkat itu hanya sesaat. Karena suara si kecil Zein mengagetkan keduanya.
"Kena! Cekalang Zein cama Amal yang cembunyi. Mami cama Papi yang nyali," ujar Zein yang sudah mulai berlari kecil mencari tempat persembunyian. Begitu juga Amar yang mengikuti gerakan kakaknya.
"Aww! Sakit, Sayang!" pekik Maliek pelan karena Meydina mencubit perutnya.
Meydina tidak berkata apa-apa. Ia hanya mendelik gemas kearah suaminya. Dan Maliek membalas dengan tatapan yang tak kalah menggemaskannya sambil berseru, "Mi, Kakak sama Amar sembunyi dimana ya?"
***
Di ruangan utama, Riky yang sedang menunggu bosnya terlihat fokus pada ponselnya. Sampai ujung matanya menangkap sosok gadis yang mengalihkan pandangannya.
"Pagi Amiera!" sapanya dengan raut wajah yang ceria.
"Pagi, Kak!" sahut Amiera datar. Gadis itu terduduk di sofa dan membereskan isi tasnya.
"Kapan pergi ke London?"
"Minggu depan, Kak."
"Mau ku temani?" Tawarnya.
"Nggak usah, terima kasih."
"Kenapa nggak mau? Daripada sendirian," ujarnya.
"Amie nggak sendirian kok," ucap Meydina yang mendengar percakapan mereka.
Melihat Meydina yang menggendong Fatima, Amiera segera menghampirinya. Dari arah pintu kamar, Maliek datang dengan kedua putranya yang perpegangan pada jari-jarinya.
"Halo, baby girl! Siapa namamya? Fatima ya kan? Uwu cantiknya," ujar Riky yang mendekati bayi Meydina yang dipangku Amiera.
"Memangnya kamu pergi sama siapa kesana?" tanya Riky yang sekilas beradu pandang dengan Amiera.
"Sama Alena juga Om Wira dan Tante Nura," jawab Amiera datar.
"Mau ngapain mereka kesana?"
"Om Wira dan Tante Nura akan menghadiri wisuda Rendy. Sedangkan kalau Alena, ya ingin ikut aja sekalian jalan-jalan." Meydina yang datang dengan gelas susu di tangannya menjawab pertanyaan Riky.
"Oh, aku boleh ikut?"
"Nggak!" sahut Amiera cepat.
"Kenapa?" Riky terlihat kecewa.
"Amie sama Alena dan Tante Nura mau shopping, Kak Riky. Terus Kakak kesana mau ngapain?"
"Mau bawain belanjaan kamu,"jawab Riky spontan.
"Idih, nggak usah ya."
"Hehehe... Ya udah kalau nggak boleh, Om sama Zein aja ya." Riky mulai membalas keusilan Zein padanya dan berlari pelan mengejar putra sahabatnya itu.
"Semangat, Rik! Jangan kasih kendor," ucap Maliek yang melintas diantara mereka dan mendudukkan dirinya di samping Meydina.
"Mau pergi sekarang?"
"Iya," bisik Maliek yang sedang menghirup aroma rambut Meydina. Pria itu mendekatkan kepalanya lalu mencium pipi istrinya.
"Malu Kak," bisik Meydina.
Maliek tersenyum melihat wajah istrinya yang merona. Pria itupun meninggalkan rumah setelah drama Zein yang ingin ikut naik mobil Papinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
bunda syifa
ini si amar ceritanya umur berapa Thor ko' blom jalan, masak blom genap satu tahun udah punya ade'
2022-06-13
0
momtikita
Suka banget sama keluarga kecil ini selalu harmonis,,, sikap Maliek bikin kita meleleh nih jd baper deh 😍😍😍
2021-03-10
5
Aya Vivemyangel
Msh penuh teka~teki si rendy , segitu cintay sm mey ,
Kmrn si alvin yg bikin deg" ser ,, skrg ada si rendy 😂😂
Q mau dong diposisi mey thor 😆😆😍😍💖💖
2021-01-20
0