Happy reading...
Laju mobil yang di kemudikan Evan mengarah ke kediaman Salman. Pagi ini sebelum berangkat bekerja, ia terlebih dulu mengantar putrinya ke rumah itu. Alena yang akan ikut pergi dengan keluarga Wira begitu bersemangat menyiapkan semua keperluannya.
"Pa, setelah lulus nanti Lena juga ingin kuliah di luar negeri."
"Tidak boleh," sahut Evan tegas.
"Kenapa, Pa? Kak Alvin pernah, Kak Rendy juga, sekarang Kak Amiera. Alena juga pengen," rengek Alena.
"Meydina enggak. Alena, Papa nggak bisa jauh dari kamu. Kalau di luar negeri siapa yang ngurus kamu, heh?"
"Kak Mey kan keburu nikah. Lagian juga Lena udah besar, Pa. Bisa ngurus diri sendiri."
"Bohong. Kamar masih berantakan, selalu harus Bibi yang beresin. Bangun juga sering kesiangan. Kalau hampir setiap hari seperti itu, mana bisa Papa percaya sama kamu."
"Kak Amiera juga nggak jauh beda sama Alena, manja. Tapi di bolehin kuliah diluar negeri. Berarti Om Salman percaya dong sama Kak Amie. Tidak seperti Papa," protes Alena.
"Beda dong, Sayang. Papa kamu ini nggak sekaya Tuan Salman. Amiera itu yang penting punya kemauan untuk study. Semua kebutuhannya ada yang ngurus. Apapun yang dia butuhkan tersedia. Bahkan mungkin Tuan Salman akan menyiapkan bodyguard bayangan untuk Amiera."
"Oh ya?"
"Ya, bagitulah biasanya kalau orang kaya. Nggak seperti kita yang biasa-biasa saja. Kalau kuliah di sana harus mandiri. Semua dilakukan sendiri. Kalau mau uang jajan lebih, ya harus cari kerja paruh waktu," terang Evan.
Pria itu melirik putrinya yang mengangguk-anggukan kepala. Ucapannya barusan tidaklah sepenuhnya benar. Ia hanya tidak ingin Alena lepas dari pengawasannya.
"Jadi kalau ingin kuliah nggak usah jauh-jauh ya. Di sini juga banyak universitas yang bagus."
Evan menyunggingkan senyum melihat Alena yang memajukan bibirnya.
Sesampainya di kediaman Salman, Evan menyapa si empunya rumah. Setelah itu, ia pergi ke kantor.
"Hai, little boy! Makin cakep aja. Kakak tunggu kamu gede ya," celoteh Alena. Ia mencium gemas dan hendak memangku Zein namun anak itu meronta.
"Nggak mau!" tolak Zein.
"Amar aja deh," ucap Alena saat Zein berhasil melepaskan diri.
Amar yang mendengar namanya di sebut segera merangkak menuju Amiera.
"Ya, kok nggak mau juga," ujar Alena kecewa.
"Awas ya, Zein! Kakak kejar nih," ujar Alena lagi saat Zein melemparkan mainan pada kakinya. Alena berlari-lari pelan hendak menangkap Zein. Dan merekapun kejar-kejaran.
Amiera dan Amar terkekeh melihat tingkah kekanak-kanakkan Alena.
"Pengennya dipanggil kakak. Tante kali, Len," ujar Amiera.
"Jangan tante dong, kesannya gimana gitu. Auntie aja deh," sahut Alena yang kemudian tertawa karena berhasil menangkap Zein.
"Yee, kena. Auntie menang!" Serunya.
"Rendy gimana kabarnya, Len? Sejak di sana dia nggak pernah nelepon Kak Mey," ujar Meydina yang datang sambil menggendong Fatima.
"Mami, toyong!" seru Zein.
"Bilang sama auntie, Sayang!" sahut Meydina.
"Nggak, ah. Bilang dulu kalau Zein sayang sama auntie! Nanti dilepas," ujar Alena.
"Nggak mau! Zein nggak cayang auntie!" pekiknya.
"Iya, deh. Tapi cium dulu," pinta Alena sambil menyodorkan pipinya.
Zein bersikeras dengan sikapnya. Ia menggeleng dengan bibir yang dikatupkan.
Cup.
Alena mencium pipi Zein dengan gerakan yang sangat cepat. Tiba-tiba..
"Huaaa, Mami! Auntie nakal!" Zein berlari kearah Meydina.
Sedangkan Alena terkekeh melihat hal tersebut. Menggoda Zein mendatangkan kesenangan tersendiri baginya.
"Auntienya genit ya, Kak. Emangnya Kakak cowok apaan maen cium aja," ujar Amiera pada Zein.
"Mumpung masih kecil, Kak Amie. Nanti kalau Zein udah besar nggak akan bisa," sahut Alena disela-sela kekehannya.
"Mami, apus!" rengek Zein dengan telunjuk mengarah pada pipi yang dicium Alena.
Meydina mengusap bagian pipi itu, lalu menciumnya.
"Udah. Dah ilang," ucap Meydina sambil menghapus sisa air mata putranya.
Melihat Amar yang juga datang menghampirinya, Meydina lalu memberikan Baby Fatum pada babysitternya.
"Mi," panggil Amar yang berjalan sambil berpegangan pada sofa.
"Sini, Sayang!" sambut Meydina yang mengangkat Amar ke pangkuannya lalu mencium gemas putranya itu. Sementara Zein mulai main dengan pengasuhnya.
"Lena, gimana Rendy?" tanya Meydina lagi.
"Alena juga nggak tahu, Kak Mey. Makanya besok mau ikut, biar sekalian ketemu. Sama Tante Nura juga Kak Rendy jarang nelepon. Mungkin sibuk. Alena dengar Kak Rendy udah kerja."
"Oh, ya?"
Meydina terlihat kecewa. Sejak pertemuan mereka di pemakaman ibunya, Meydina tidak pernah lagi mendengar kabar dari sahabatnya itu. Kecuali kabar keberangkatan Rendy ke London yang tiba-tiba.
"Amie, nanti apartemen kamu sama Rendy dekat nggak?"
"Belum tahu, Kak. Daddy belum bilang apartemen Amie di mana. Daddy cuma bilang, nanti kalau di bandara akan dijemput sama yang namanya Bella. Dia itu adik dari Uncle Mike, orang kepercayaan Daddy di sana," sahut Amiera.
"Oh. Coba kalau dekat, ya. Kamu jadi ada teman di sana," gumam Meydina.
"Belum tentu juga Rendy mau. Apalagi kalau Rendy sibuk," sahut Amiera pesimis. Sekilas ia mengenang sosok pria yang pernah jadi obsesinya itu.
***
Keesokan harinya...
Suasana di rumah Salman sudah diramaikan dengan suara lengkingan Resty yang sangat khas. Wanita paruh baya itu terlihat sibuk dengan kedua cucu laki-lakinya. Pagi ini ia dan Bram datang karena ingin melihat kepergian Amiera ke bandara.
"Amie, Om nggak bisa lama-lama. Ada rapat sebentar lagi. Hati-hati disana ya! Semangat studynya, oke!" ujar Bramasta.
"Terima kasih, Om."
Amiera mencium punggung tangan Bram dengan senyum bahagia.
"Bye, bye jagoan Opa!" pamit Bram.
"Tante, Amie ke kamar dulu ya."
"Iya, Sayang. Jangan sampai ada yang ketinggalan lho, Amiera."
"Iya, Tan."
Sepeninggal Amiera, Resty kini menyuapi kedua cucunya secara bergantian. Wanita itu selalu terlihat bersemangat bila sedang bersama cucu-cucunya.
Sementara itu di kamar Meydina, Maliek sudah siap dengan pakaian formalnya. Ayah tiga anak itu terlihat gagah dengan postur tubuh ideal juga dada bidangnya. Ia seolah tidak pernah kehilangan pesonanya, baik di mata rekan kerja apalagi di mata karyawannya.
Maliek tetaplah Maliek. CEO Bramasta Corp. yang kaulitas kepemimpinannya tidak diragukan lagi. Apalagi setelah ia menjadi menantu Salman Al-Azmi. Tentu kemampuannya tidak akan terbantahkan. Karena Salman bukan orang biasa dan pasti menantunya pun luar biasa.
"Sayang, jam berapa Amiera berangkat?" tanya Maliek.
"Sekitar satu jam lagi," sahut Meydina sambil menautkan kedua tangannya di pinggang Maliek.
Maliek tersenyum tipis merasakan Meydina yang memeluknya dari belakang.
"Apa sebaiknya hari ini aku kerja dari rumah?"
"Jangan. Kalau di rumah Kak Maliek nggak akan bisa fokus bekerja."
"Tapi sepertinya ada yang nggak mau ditinggal," sindir Maliek.
"Nggak kok. Sebentar aja," bantah Meydina.
Maliek memutarkan tubuhnya agar menghadap Meydina. Diusapnya dengan lembut surai istrinya itu.
"Jangan terlalu lelah, Sayang. Kamu masih dalam proses pemulihan."
Meydina mengangguk pelan. Maliek merengkuhnya lalu berbisik, "Terima kasih karena sudah menjadi istri dan ibu dari anak-anakku, Mey."
Mendengar hal itu, Meydina membenamkan wajahnya di dada Maliek. Ia terharu karena Maliek masih sempat berterima kasih, padahal selama ini Malieklah yang banyak berkorban untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Mbah Edhok
masih mengikuti thor...
2021-08-14
0
momtikita
Tuh kan selalu bikin kita meleleh dan baperan nih jadi mauuuu yaaa hahahaha
2021-03-10
4
✨Cinderella✨
Meydina merindukan Rendy..
Lanjuuut kak el ❤❤
2021-01-17
3