Happy reading...
Walau tanpa Alya, acara makan malam itu berlalu dengan meninggalkan kesan tersendiri bagi Nura. Sebagai seseorang yang sudah tak muda lagi, Nura bisa melihat baik Amiera maupun Sophia keduanya memendam rasa pada putranya. Namun sebagai ibu, Nura juga sudah lama tahu perasaan Rendy terhadap Meydina.
"Semoga kamu bisa secepatnya menghapus perasaanmu terhadap Meydina, Nak. Mama tidak perduli siapapun pilihanmu nantinya, asalkan kamu bahagia," gumam Nura sambil menatap wajah putranya yang sedang terlelap.
Nura kemudian mematikan lampu apartemen itu dan menutup pintunya. Malam ini, ia dan suaminya juga Alena kembali menginap di apartemen Amiera. Apartemen Rendy tidak cukup untuk menampung mereka bertiga. Dan lagi mereka bisa sekalian menemani Amiera sebelum lusa kembali ke negaranya.
Pagi sekali, Amiera yang ditemani Bella berangkat menuju universitasnya. Gadis itu sangat antusias ingin segera melihat universitas yang selama ini menjadi impiannya. Rencananya hari ini Amiera hanya akan melihat-lihat lingkungan kampus saja, karena kuliahnya baru akan dimulai pada pekan depan.
Bukan tanpa alasan Mike meminta adiknya menemani Amiera. Walau tidak sampai lulus, nyatanya Bella pernah menempuh pendidikan di universitas tersebut. Hal itu karena Bella lebih tertarik mendesain sebuah bangunan daripada sebuah gaun.
"Bella, sampai kapan kau akan menemaniku?" tanya Amiera saat mereka duduk di bangku taman sambil menikmati es cappucino yang dibelinya.
"Sampai kau merasa bosan," sahut Bella santai.
"Bukankah kau harus bekerja? Aku tak ingin kau mendapatkan gaji buta," dengus Amiera.
"Kau tenang saja, Tuan Salman tidak akan bangkrut hanya karena hal itu." Kelakarnya.
"Tetap saja, kau harus profesional!" tegas Amiera.
"Ya, tentu. Aku masih bisa memantau proyek yang sedang berjalan tanpa harus datang ke lapangan."
"Heh, kau sombong juga," delik Amiera.
"Bukan sombong, Nona. Tapi memang begitu kenyataannya. Beginilah caraku bekerja, dan selama ini, itu tidak ada masalah." Tuturnya.
"Apa Daddy tahu salah satu Project Manager (PM)nya suka bermalas-malasan?"
"Dia sangat tahu Amiera. Tuan Salman sangat tahu bagaimana aku. Daddymu sudah mengenalku mungkin sebelum kau lahir. Oh, ya bagaimana kabar Alvin?"
"Daddy mengenalmu? Kau juga mengenal Kak Alvin?" Amiera terlihat heran.
"Tentu saja. Dulu sebelum Mike, almarhum ayahku yang bekerja pada Tuan Salman. Dia sangat setia, dan itu menurun pada Mike. Daddymu adalah panutannya. Dan Alvin, saat remaja aku sangat menyukainya. Bisa dibilang dia cinta pertamaku. Sayangnya dia sekarang sudah menikah," tutur Bella dengan senyumnya.
"Kalau kau mengenal Kak Alvin, berarti kau mengenal teman-temannya juga. Apa kau juga mengenal Kakakku yang satunya lagi, Meydina?"
"Tidak. Aku tidak mengenal Kakak perempuanmu. Aku baru tahu Tuan Salman memiliki dua orang putri saat Mike memintaku mendampingimu. Dan kalau teman-teman Alvin, aku hanya tahu sekilas. Karena saat aku masuk universitas, di tahun yang sama mereka lulus. Jadi aku tidak terlalu mengenal mereka."
"Oh, begitu ya." Amiera mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bella, bagaimana kalau besok setelah mengantar mereka ke bandara, kau temani aku mencoba jalur menuju kesini dengan transportasi umum?"
"Apa? Kau mau naik kendaraan umum? Heh, yang benar saja. Mike tidak akan mengijinkanmu. Dan tentunya aku yang akan dimarahi," ujar Bella.
"Tidak akan. Hanya sesekali, aku ingin mencobanya. Sebenarnya aku ingin meminta Rendy menemaniku. Tapi sepertinya dia akan sibuk setelah beberapa hari ini cuti. Dan Uncle tidak akan memarahimu, aku jamin itu."
"Kenapa kau memanggil Mike, Uncle. Dia tidak setua itu," protes Bella.
"Itu lebih baik dari pada dirimu, memanggilnya dengan nama saja. Tidak sopan," decih Amiera.
"Itu hal biasa disini."
"Kau memang tidak sopan," gurau Amiera.
"Enak saja, aku tidak begitu," sanggah Bella.
Merekapun berjalan sambil diselingi candaan. Sesekali terdengar gelak tawa dari keduanya. Amiera mulai merasa nyaman bersama dengan Bella, yang menurutnya memiliki kepribadian mirip dengan Meydina.
Di tempat lain, keluarga Atmadja berencana mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di negara itu. Kebetulan Rendy sedang mengambil cuti, jadi bisa menemani orang tuanya sekaligus sebagai tour guide mereka.
Tanpa diduga, ajakan basa-basi Nura di tanggapi serius oleh Sophia. Gadis itu dengan senang hati mengikuti perjalanan keluarga Atmadja. Tanpa menghiraukan reaksi Rendy yang memperlihatkan raut wajah tak suka.
***
Kediaman Salman yang luas rasanya masih terasa kurang bila kedua cucunya sedang bersenang-senang. Terutama bagi Zein, si sulung. Ia berlarian kesana-kemari dengan cerianya menggoda sang adik yang baru lancar berjalan.
Salman yang sengaja meluangkan waktunya menatap dengan tatapan berbinar ke arah keduanya. Sementara Aldo, ikut bermain bersama kedua cucunya.
Salman mengulumkan senyuman melihat sikap Aldo yang kekanak-kanakkan. Seandainya ia masih bisa, ingin rasanya ikut bersenang-senang dengan mereka.
"Kek, Mami mana?" tanya Zein yang kini terduduk di lantai dengan mainannya.
"Mami ke dokter dulu. Fatima harus diimunisasi."
"Dicuntik?"
"Iya. Zein mau?"
"No." Zein menggeleng cepat.
"Daddy, mana?" tanya Zein lagi.
"Kakak kangen adik Queen?"
"No. Kakak kangen Daddy," sahut Zein.
"Mungkin sebentar lagi datang. Tadi sih baru mau naik pesawat," sahut Salman menatap gemas wajah cucunya.
Hari ini, Alvin dan keluarganya berencana datang. Selain ingin bertemu keluarga mereka, ada urusan perusahaan juga yang akan Alvin kerjakan.
"Kakek, Kakak mau naik pesawat," pinta Zein.
"Oh iya, Kakak belum pernah ya?"
"Amal juga," timpal Zein sambil menunjuk Amar yang sedang berjalan mendekatinya.
"Duuh, kasihan cucu-cucu kakek belum pernah naik pesawat. Mmm, kira-kira kita mau pergi kemana ya?" ucap Salman sambil menempatkan Amar di atas pangkuannya.
"Jalan-jalan," sahut Zein riang yang ditanggapi riang pula oleh adiknya.
"Iya, tapi jalan-jalannya kemana? Nanti kita tanya Mami kalian aja deh, gimana?" tawar Salman.
"Asik!" sorak keduanya bahagia.
Tak lama kemudian, Aldo datang dengan dua piring sedang pasta buatannya. Pengasuh anak-anak itu juga menyiapkan meja dan kursi yang biasa mereka gunakan saat makan tak jauh dari Salman.
"Ayo, sini Tuan Muda! Kalian pasti lapar. Lihat Uncle punya apa?" ujar Aldo.
Zein dan Amar terlihat senang melihat makanan yang sengaja disiapkan Aldo tersebut. Terutama Zein yang sangat menyukai pasta. Setelah mereka didudukkan, pengasuh memakaikan baby bibs. Dan setelah di tuntun untuk berdoa, mereka pun mulai melahap makanannya.
Salman menatap satu persatu cucunya. Zein yang kini usianya hampir tiga tahun, sekilas mirip dirinya. Berbeda dengan Amar yang terlihat bagai miniatur Maliek, Papinya.
"Seandainya saat itu Badr terlahir ke dunia, mungkin wajahnya akan mirip dengan Zein. Anita, apakah kau sedang memperhatikan mereka? Kurasa Badr terlahir kembali dalam sosok Zein, cucu kita." Batin Salman.
"Uncle mau lagi," pinta Zein pada Aldo sambil menyodorkan piring kosongnya. Sementara pengasuhnya mengelap saus pasta yang mengotori wajah Zein.
"Yaa, Uncle bikinnya cuma sedikit," sahut Aldo yang memang hanya membuat untuk dua porsi mereka saja.
"Uncle peyit," gerutu Zein.
Salman terkekeh mendengar ucapan Zein.
"Buatkan lagi, Aldo! Kurasa Zein sangat menyukai masakanmu. Kau rupanya berbakat juga jadi koki," ujar Salman di sela-sela kekehannya.
"Baiklah, Tuan. Tuan Muda tunggu sebentar ya, Uncle janji tidak akan lama," ujar Aldo yang kemudian beranjak meninggalkan mereka.
Sambil menunggu, Zein melirik piring adiknya. Melihat piring adiknya masih berisi pasta, Zein menyodorkan piringnya.
"Kakak minta, Amal," ujar Zein.
Pengasuh Amar memindahkan separuhnya untuk Zein. Dan dengan singkat Zein menghabiskannya.
"Lagi," pinta Zein sambil menyodorkan kembali piringnya.
Amar menatap piring kosong itu, dan juga piringnya. Ia juga menatap pada Zein yang sedang menatap sisa pasta dalam piringnya. Mungkin karena tak rela semua pastanya di ambil Zein, Amar mulai berkaca-kaca. Dan tentunya pengasuh mereka bingung harus berbuat apa.
"Lagi, lagi, mau lagi," ucap Zein sambil memukul-mukulkan garpunya ke piring.
Salman yang melihat hal itupun berseru, "Aldo, cepatlah! Kau lama sekali. Apa kau ingin aku memecatmu karena sudah membuat cucuku menangis, hah?"
"Ish, Tuan ini. Nanti kalau pastanya masih mentah, aku juga yang disalahkan." Aldo menggerutu dengan suara pelan.
Dan tak lama kemudian, Aldo datang dengan pasta buatannya. Dan tentu Zein yang paling senang saat mendapatkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Yantie
suka heran novel sebagus ini ko yg like nya dikit,,
ada novel yg B aja tapi yg like ampe puluhan ribu
2021-12-05
2
Mbah Edhok
dimana-mana cucu pertama itu kesayangan ... aq mash ingat ...
2021-08-14
0
✨Cinderella✨
Lanjuuuut kak el ❤❤
2021-01-18
0