Happy reading...
Sepulang kuliah, Alena dengan menggunakan ojek online mengunjungi kediaman Meydina. Gadis itu terlihat semangat karena akan bertemu dengan keponakannya.
"Hai, hai! Auntie yang cantik menyapa kalian!" seru Alena pada tiga anak kecil yang sedang bermain di lantai.
Mendengar lengkingan suara Alena, Amar berlari kearah Maminya.
"Kurang kenceng tu suara, Len?" sindir Laura.
"Masuk rumah itu ucapkan salam, bukan teriak-teriak." Ujarnya lagi.
"Hehe, maaf Kak."
Mendengar perkataan Laura, Meydina jadi teringat pada almarhumah ibunya. Ibu Anita selalu menyambut kedatangan Meydina dengan tegurannya.
"Hei, Ganteng! lagi apa?"
"Auntie cana! Jangan ganggu Kakak," pekik Zein.
"Iih, Kakak judes. My Queen aja deh." Alena beralih pada Queena. Gadis cilik itu menyodorkan mainan musik miliknya. Dan Alena pun dengan senang hati bermain dengannya.
Sementara itu, Laura bergantian memangku Fatima karena Amar bersikeras ingin duduk di pangkuan Meydina.
"Main sama Kakak, Sayang."
Amar menggeleng, lalu berdiri sambil memeluk sang Mami.
"Kak, kita ke rumah ibu yuk!" ajak Meydina.
"Ayo. Kapan?"
"Gimana kalau kita makan malam disana? Ya, Len?"
"Boleh," sahut Laura.
"Ayo, Kak. Udah lama ya kita nggak kesana," ujar Alena.
"Iya. Mau minta Bibi belanja atau kita bawa aja dari rumah bahan-bahannya?" tanya Meydina.
"Kalau menurut Kakak sih lebih baik bawa dari rumah aja. Jam segini kalau belanja di pasar pasti tingal sisa," jawab Laura.
"Iya, ya. Mey telepon Bibi dulu ya, supaya jangan dulu pulang."
Laura menganggukkan kepala. Ia memang tidak mengenal sosok Ibu Anita. Namun begitu, ia tahu sosok itu sangat berarti bagi suaminya. Karena Alvin tak pernah kehabisan kata saat menceritakan tentang kebaikannya.
***
London
Amiera sedang fokus pada pekerjaannya. Saat ini, ia sedang meletakkan pola pada bahan yang akan di jadikan gaun pengantin yang di pesan pelanggannya. Dibantu seorang asisten, Amiera terlihat sangat serius mengerjakannya. Ia juga terlihat bolak-balik antara ruang produksi dan ruangannya.
Disisi lain ruangan itu, Diana juga sedang menyelesaikan pekerjaannya. Sesekali matanya mendelik kearah Amiera.
"Nona, anda tidak makan siang?" tanya Asisten Amiera.
"Kau saja, aku bisa nanti." Sahutnya tanpa menoleh.
"Anda ingin sesuatu, Nona? Saya akan membawakannya untuk anda." Tawarnya.
"Baiklah. Bawakan aku cappucino ice. Aku akan membayarnya nanti," sahut Amiera. Asistennya mengangguk lalu meninggalkan ruangan tersebut.
"Apa yang ingin kau buktikan dengan tidak makan siang, Amiera? Apa kau ingin terlihat giat dan bekerja keras?" cemooh Diana.
Seperti biasa, Amiera tidak menghiraukan ucapannya. Ia tahu benar sejak awal Diana sudah menganggapnya sebagai rival, bukan sebagai rekan.
"Kalau kau sudah selesai, pergilah. Jangan mengganggu konsentrasiku," sahut Amiera datar.
"Dasar sombong. Aku ingin lihat sekeras apa kau berusaha," umpat Diana.
"Pergilah," usir Amiera dengan gerakan matanya.
Dengan perasaan geram, Diana meninggalkan Amiera.
Di tangga, Diana berpapasan dengan seorang pria. Wanita itu memperlihatkan senyum termanisnya saat menyapa pria tersebut.
"Selamat siang, Tuan Brian. Anda akan ke ruangan Miss Julie?"
"Tentu. Memangnya aku akan kemana?" sahut pria yang bernama Brian itu.
"Silahkan, Tuan. Saya akan makan siang," ucap Diana.
"Silahkan." Brian menatap heran pada wanita yang menyapanya. Sambil menggeleng pelan, ia berlalu menuju ruangan Julie.
"Hai, Kak! Sudah siap?"
"Tentu saja. Aku tahu kau tidak suka menunggu," jawab Julie.
Mereka berdua pun meninggalkan butik.
Saat di dalam mobil, Brian merasa heran dengan sikap Julie, kakaknya. Wanita itu sikapnya berbeda tidak seperti kemarin.
"Ada apa? Kau ada masalah?"
"Tidak. Hanya saja aku sedang bingung," sahut Julie.
"Kenapa?"
"Brian, seandainya kau mengetahui salah satu karyawanmu adalah anak orang yang sangat kaya, apa yang akan kau lakukan?"
"Dia mengatakan identitasnya atau tidak?" Brian balik bertanya.
"Tidak. Aku mengetahuinya dari salah satu temanku," jawab Julie.
"Jadi dia karyawanmu?"
"Iya. Lalu jika kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?"
"Karena dia tidak mengungkap identitasnya, itu artinya dia tidak ingin ada yang mengetahui identitasnya. Jadi ya, pura-pura tidak tahu saja," jawab Brian santai.
"Pura-pura tidak tahu? Tapi bagaimana jika suatu saat dia membuat kesalahan, bukankah jika aku menegurnya lalu dia tersinggung akan mendatangkan masalah untukku?"
"Memangnya sekaya apa dia, sampai membuatmu takut untuk menegurnya. Dia kan karyawanmu, jadi kalau salah marahi saja. Kalau dia tidak terima, pecat dia."
"Tidak semudah itu," sahut Julie pelan, lalu menghela nafasnya.
Brian menoleh pada sang kakak. Ia jadi penasaran siapa karyawan yang di maksudkan kakaknya. Terlebih dari keluarga mana dia berasal.
"Oh ya, Brian. Siapa wanita yang sudah menarik perhatianmu itu? Apa aku mengenalnya?"
"Kurasa tidak. Dan sepertinya dia orang asia."
"Hmm? Dimana kau mengenalnya?"
"Aku melihatnya di kampus. Kakak ingat saat memintaku mengantarkan pesanan teman Kakak beberapa hari yang lalu? Saat itulah aku melihatnya," tutur Brian.
"Baru mengenalnya dan kalian sudah berkencan?" Julie terlihat tidak suka.
"Kami belum berkenalan Tepatnya aku belum tahu siapa namanya. Tapi Kakak tenang saja, aku sudah memperkenalkan diriku," sahut Brian bangga.
"Kau ini ada-ada saja," kekeh Julie.
"Ya, namanya juga usaha." Brian tersenyum sambil kembali fokus pada kemudinya.
***
Suasana rumah Anita malam ini sangat ramai. Anak, menantu, cucu, dan orang-orang yang disayanginya ada di rumah itu. Sayangnya si empunya sudah tiada. Namun begitu, kebaikan hatinya masih dirasakan setiap orang yang kini ada di rumahnya.
Anak-anak bermain riang bersama Alena dan juga Meydina di ruang tengah. Para pria mengobrol di teras, sedangkan Mama Resty bersama Laura dan juga Bibi berada di dapur menyiapkan makan malam.
Sesekali gelak tawa terdengar dari teras. Entah apa yang di bicarakan Bram, Salman, Alvin, Maliek dan Evan. Mereka tampak menikmati kebersamaan yang sangat jarang terjadi.
Meydina beranjak ke kamarnya untuk menidurkan Fatima. Saat berada dikamarnya, hati Meydina terasa terhenyak mengingat banyaknya kenangan disana. Kenangan ia dan juga ibunya.
Air mata Meydina menetes saat menatap foto ia dan ibunya yang terpaku di dinding. Foto itu diambil saat kelulusan SMU. Masa-masa tersulit dalam kehidupan mereka.
Bagaimana tidak, saat itu masa dimana ia sangat membutuhkan banyak biaya. Sedangkan tabungan peninggalan ayahnya sudah tidak ada.
Air mata Meydina semakin tidak tertahan saat mengingat ibunya yang merelakan semua barang berharganya di jual untuk keberlangsungan hidup mereka. Kini saat ia memiliki segalanya, sang ibu tidak ada lagi disisinya.
"Hiks.."
Susah payah Meydina menahan isakannya. Dadanya terasa sesak mengingat kesabaran dan kebaikan hati ibunya. Ibunya adalah orang yang baik, oleh sebab itu Tuhan Yang Maha Baik pun memanggilnya. Dan semoga ia di tempatkan di tempat yang terbaik pula. Aamiin.
***
London
Dengan gerakan secepat yang ia bisa, Amiera bersiap untuk berangkat bekerja. Pagi ini, gadis itu terlambat bangun dan berkali-kali merutuki dirinya.
Semalam ia tidur cukup larut karena mengerjakan beberapa tugas kuliahnya. Di tambah lagi kamarin ia bekerja sampai sore, sehingga terasa lelah.
Amiera berkali-kali menoleh pada jam digital yang berada di atas nakasnya. Amiera terlihat panik melihat waktu yang dirasanya berjalan sangat cepat itu.
Keluar dari apartemennya, Amiera menuju ke basement. Saat ini tidak ada pilihan lain selain menggunakan mobilnya. Bila naik bus, untuk sampai di butik dari apartemennya Amiera harus naik dua kali. Dan tentu akan memakan waktu yang tidak sebentar.
"Aku tidak boleh terlambat. Aku sudah berjanji pada Julie," gumam Amiera.
Sesampainya di depan butik, Amiera bernafas lega melihat pintu butik yang masih tertutup. Sesaat ia tertegun mengingat-ingat, apakah ia datang terlalu awal?
Karena penasaran, ia melihat ponselnya untuk memeriksa salinan perjanjian kontrak yang di tanda tanganinya kemarin. Dan...
"Oh my God," pekik Amiera. Ternyata butik baru buka setengah jam lagi.
Kini Amiera terdiam dan kembali merutuki dirinya sendiri.
Sementara itu, Brian menepikan mobilnya. Keningnya berkerut melihat sebuah mobil sport mewah terparkir di depan butik kakaknya.
"Pelangganmu datang sepagi ini?" Tanyanya.
Julie yang tak kalah heran menjawab, "Entahlah." Ia juga bingung karena merasa pagi ini tidak ada janji dengan siapapun juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
L A
hehehehe kalimat mommy Anita
Tapi emang bener....
2022-05-13
0
Lia Kiftia Usman
terharuu.... u alvin
2021-12-26
0
Mugi
up
2020-12-24
0