Alan ternganga dengan keterampilan memanggang Kansha. Setelah satu bulan menolak memasakkan makanan, Kansha kini mau unjuk kebolehan. Ia memanggang sendiri ikan yang ia berhasil tangkap dengan penuh drama itu.
Alan bertepuk tangan takjub. Pasalnya, ikan yang dibuat Kansha adalah ikan berbumbu. Maksud berbumbu disini adalah makanan mereka kini sedikit memiliki rasa. Yaitu asin. Semua bermula dari keluhan Kansha yang merasa hambar dan tak enak dengan makanan yang ia makan. Kansha akhirnya membuat garam laut buatan tangan.
Cara membuat garam laut termasuk tidak terlalu sulit apalagi bisa di sederhanakan. Yaitu hanya dengan air laut, cuaca mumpuni dan tanah dengan daya serap pas. Tidak semua air laut bisa menjadi garam. Air laut yang dekat ke hilir sungai biasanya sudah tercampur oleh air tawar. Tingkat keasaman dari air laut juga perlu diperhatikan.
Kansha hanya membuat sepetak tanah kecil untuk penyerapan air dan air laut secukupnya. Kemudian dengan bantuan sinar matahari yang terik dan angin yang berangin, proses penguapan segera dimulai. Dan bila air sudah tidak ada, yang tersisa hanyalah butiran kristal yang disebut garam. Itulah garam yang biasanya kita makan. Garam alami dari cara tradisional.
Awalnya Kansha ragu untuk menaburkannya ke makanan. Namun didorong dengan keinginan membuat ikan serasa steak, khayalannya. Akhirnya ia memberanikan diri menaruh sedikit garam laut.
“Bagaimana rasanya?” tanya Kansha penasaran.
Alan kembali bertepuk tangan, “Luar biasa. Makanan laut memang harus diberi sedikit rasa. Kamu koki hebat.” puji Alan.
Kansha mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Tentu saja. Ucapkan terima kasih pada otakku yang ingin mengambil resiko antara hidup dan mati itu.” Ujar Kansha bangga.
Alan terkekeh, “Makan makananmu. Malam semakin larut, kita harus segera tidur.” Ucap Alan ambigu.
Sedetik kemudian---
Kansha mematung. Alan juga menghentikan gerakannya yang sedang mengunyah. Pipinya serasa memanas. “Maksudku bukan dalam artian ‘tidur’. Kita hanya memejamkan mata, maksudku—aku dan kamu tidur terpisah.” Jelas Alan gugup. Pipi Kansha makin memanas, Alan tidak perlu menjelaskan sampai sedetail itu pula.
“O-oh.” Hanya itu tanggapan Kansha. Lalu mereka hening kembali mulai menyantap makanan mereka.
Ditemani cahaya bulan dan kepulan asap api unggun yang membumbung, mereka makan dengan khidmat. Lalu tak lama, Kansha berhenti mengunyah, ia terdiam berusaha menajamkan pendengarannya. Lalu matanya menengadah ke atas. Dugaannya benar, ada helikopter yang melintas.
“Alan! Helikopter!” seru Kansha sambil menunjuk ke atas.
Alan terkejut lalu ikut menengadah, Kansha benar ada helikopter yang melintas. Alan dan Kansha lalu berdiri, mereka melambai-lambaikan tangan mereka sambil berteriak. Berharap awak heli itu mendengar mereka.
“Tolong! Kami disini!” teriak Kansha. Mereka terus mengikuti kemana helikopter itu pergi.
“Hei!”
“Tolong! Kami disini!”
“Selamatkan kami!”
Alan dan Kansha terus berteriak, namun sepertinya para awak helikopter itu tidak mendengar. Helikopter terus melaju hingga akhirnya hilang dari pandangan. Seketika Alan dan Kansha mendesah kecewa.
“Ini tidak semudah yang dibayangkan.” Ucap Kansha kembali duduk.
Alan menghela nafas pelan, ia juga kembali duduk. “Kurasa mereka memang tidak mendengar dan melihat kita.”
“Apa yang harus kita lakukan Alan? Aku tidak mau terperangkap disini selamanya!” seru Kansha mulai menangis.
Alan gelagapan ketika mendengar tangisan Kansha. “Eh eh, jangan menangis.” Ucap Alan panik.
Kansha terus saja menangis bahkan tangisannya makin keras. “Aku muak terus makan singkong bakar! Aku muak terus minum air kelapa, jangankan jadi muda, malah aku makin menua setiap hari karena stress! Aku muak dengan baju bau ini! aku muak, aku ingin pergi, hiks hiks.” Kansha terus menangis. Alan tambah panik, ia bingung harus menenangkan Kansha dengan cara apa.
“Kansha.” Panggil Alan lembut. Ia menepuk bahu bergetar Kansha.
“Jangan menangis, kumohon. Kita pasti segera pergi dari tempat ini. sabar ya.” Hibur Alan.
Kansha menelungkupkan kepalannya di lipatan lututnya. Ia tidak memberikan tanggapan apapun pada penghiburan Alan.
Alan bingung. Lalu tangannya terangkat ingin merangkul bahu Kansha, bermaksud menenangkan. Alan tahu itu salah, namun dia tak punya pilihan lain, Kansha terus menangis. maafkan aku ya Allah batin Alan.
Alan memeluk Kansha. Ia melingkarkan kedua tangannya di bahu Kansha. Bisa dirasakan Kansha menegang. Tangisannya pun terhenti.
“Aku sudah melanggar batasanku. Jadi kumohon jangan menangis lagi.” Bisik Alan.
***
“Para awak helikopter yang menyisir tadi malam di sekitar laut Banda belum menghasilkan apapun. Tidak ada tanda-tanda puing-puing pesawat yang jatuh. Namun mereka menemukan hal aneh.” lapor Kevin pada Andrian.
Andrian menatap sekrestarisnya itu ,”Apa?” tanya Andrian.
“Di salah satu pulau tak berpenghuni, ada setitik cahaya kecil mirip api. Namun mereka tidak bisa mendarat untuk memeriksa dikarenakan saat itu persediaan bahan bakar mesin sudah habis. Mereka juga tidak yakin apakah itu hanya halusinasi dari bias cahaya helikopter dan bulan atau memang sungguhan ada api.”
Penjelasan Kevin membuat Andrian sedikit terhenyak. Ia menaruh harapan besar bahwa titik cahaya itu adalah penanda keberadaan putrinya.
“Setelah semua perlengkapan selesai, segera pergi menuju pulau itu. Saya yakin, disana akan menemukan petunjuk.” Titah Andrian.
“Baik, Pak.” Kevin mengangguk lalu pamit undur diri.
Tak lama setelah kepergian Kevin, Grace mengetuk pintu. Setelah itu ia masuk ke dalam ruang kerja suaminya itu.
“Apa ada kabar?” tanya Grace gusar.
“Para awak helikopter yang menyisir Laut Banda kemarin menemukan titik cahaya yang disinyalir merupakan api.” Jawab Andrian.
“Jadi mereka sudah menemukan petunjuk? Katakan, apa Kansha selamat?” tanya Grace cepat.
Andrian menggeleng, “Belum ada kepastian apakah titik cahaya yang dilihat tadi malam adalah api. Kalaupun benar, kita juga tidak bisa memastikan apa api yang dibuat itu merupakan penanda ada korban pesawat yang selamat atau tidak.”
Grace melemas. Ia kecewa. “Kufikir, sudah ada keterangan pasti.” Lirih Grace.
Andrian merangkul bahu istrinya yang kini tertunduk lemah, “Berdo’a saja, agar Kansha baik-baik saja.” Ucap Andrian menenangkan istrinya.
***
Pagi kelabu bukan hanya dirasakan oleh suami istri Williams, namun Kansha sang anak yang nun jauh pun merasakan yang sama. Ia merenung di pesisir pantai. Laut kini berombak tenang. Formasi burung camar pun yang menghias cakrawala pagi juga tidak bisa mengusir kegundahan hati wanita berusia 25 tahun itu.
Kegundahan hati Kansha juga disadari oleh Alan. Sejak semalam, ia mulai murung. Kansha bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun sejak bangun. Ia hanya terdiam bak mayat hidup.
Alan mendekati Kansha. Ia berdiri disamping Kansha, ikut menatap laut yang terhampar luas dihadapannya.
“Katanya, kesedihan itu harus dibagi pada orang lain. Agar yang tadinya sedih bisa merasakan kekuatan untuk tidak semakin sedih.” Ucap Alan.
“Sejak semalam, kamu nampak murung. Apa kamu masih merasa sedih karena helikopter itu tidak menyelamatkan kita?” lanjut Alan.
Kansha mendesah, “Sebenarnya, aku sudah tidak masalah. Mungkin memang belum waktunya untuk pulang.” Jawab Kansha pelan.
“Jadi apa yang membuatmu masih murung?” tanya Alan.
Kansha menunduk, melihat kedua kakinya yang telanjang. Butiran pasir membungkus kedua kakinya.
“Aku hanya merasa, bahwa ternyata aku belum siap kembali.” Ujar Kansha jujur.
Alan terdiam, “Apa maksudmu?” tanya Alan tidak mengerti.
“Selain Nana dan Bu Sari, aku tidak merindukan siapapun lagi. Kesedihan atas kepergianku mungkin hanya akan dirasakan oleh mereka berdua.” Jawab Kansha lirih.
“Kansha, bolehkah aku bertanya?” tanya Alan. Ia menatap Kansha yang masih menatap laut dengan kosong. Kansha mengangguk.
“Dari awal ketika kita bertemu, aku belum tahu tentangmu sama sekali dan aku juga tidak terlalu peduli akan hal itu. Tapi saat ini aku sungguh penasaran, apakah kamu hanya hidup sebatang kara?” tanya Alan ragu.
Kansha terkekeh pelan, mendengar nada penuh kehati-hatian yang dilontarkan Alan, “Lebih tepatnya sejak 10 tahun yang lalu aku sudah dinyatakan sebatang kara.” Jawab Kansha. Alan mengangkat alisnya.
“Orang tuaku mengusirku dari rumah.” Lanjut Kansha menatap Alan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Dwi Agustin
lama kali ya thor ditemukannya.. trus kenapa tim basarnas kok gak menemukan puing² pesawat. apakah korban yg lainnya jg blm ditemukan ya thor... kyk musnah mcm pesawat malaysia itu ya... mh berapa itu ya... mh317 apa ya...
2021-03-12
0