"Ya ampun, aku haus sekali." keluh Kansha. Energinya benar-benar terkuras saat dirinya dan Alan membuat tanda SOS.
"Aku baru sadar, kalau kita tidak minum dari kemarin." timpal Alan. Dia duduk dengan tak berdaya di atas hamparan pasir.
"Kita harus minum agar tidak dehidrasi, tapi masalahnya apa yang bisa kita minum?" lanjut Alan lesu.
Kansha mendesah, lalu matanya terpaut pada pohon kelapa yang berjajar gagah, "Kamu bisa memanjat bukan?" tanya Kansha.
Alan mengikuti arah pandang Kansha lalu sontak menggeleng, "Terlalu tinggi, aku tidak bisa."
Kansha mencebik kesal, "Kamu ini laki-laki atau bukan sih? Masa memanjat pohon kelapa saja tidak bisa?" seru Kansha.
"Aku bisa memanjat pohon lain, tapi tidak untuk yang satu ini." ujar Alan menggeleng tidak mau.
Kansha berdecih, "Lalu apa yang bisa kita minum?"
"Air laut, mungkin?" ucap Alan.
Kansha membulatkan matanya, "Kamu gila?!" sentak Kansha.
"Lalu apa yang bisa kita minum selain itu? Kita tidak bisa memanjat pohon kelapa, dan satu-satunya air yang ada ya air laut!" ucap Alan.
Kansha menggeleng tidak mau. Dia gila apa harus minum air laut, secinta-cintanya ia dengan laut, dia masih punya kewarasan.
Kansha mengedar kesekeliling. Pantai pulau itu terlihat kosong. Tak ada apapun, hanya ada sampah laut, seperti karung, botol bekas bahkan sterefoam juga ada.
Lalu Kansha teringat sesuatu, "Aku baru ingat, di sebelah utara tempat kita berdiri, ada aliran sungai!"
Alan mengernyit, "Kamu yakin?"
"Kurasa. Ayo kita cek." ujar Kansha lalu beranjak bangun diikuti Alan.
Kansha dan Alan berjalan beriringan, dan benar saja, ada aliran sungai kecil yang terbentang. Namun Kansha kembali lesu ketika air nya kotor.
"Sial, kenapa harus kotor sih?" seru Kansha kesal.
Alan mendesah, dia sudah menyerah. Tak tahu lagi.
"Sebentar." Tiba-tiba Kansha terfikirkan sesuatu, "Alan coba gali di sebelah sungai ini." titah Kansha.
Alan mengernyit, "Untuk apa?"
"Tentu saja untuk mendapatkan air. Satu-satunya air yang bisa kita minum adalah air tawar. Kita harus menggalinya." kata Kansha.
Hendak protes, tetapi keburu Kansha memelotinya. Alan mendesah pasrah, dia mulai menggali sesuai instruksi Kansha.
Kansha memekik senang tatkala muncul air dari galian Alan. Alan bersikap biasa saja, dia tidak terpukau sama sekali.
"Kenapa harus sebahagia itu, ini kan air yang sama dengan itu." kata Alan menunjuk aliran sungai itu.
"Ck, nilai IPA mu berapa sih? Masa begitu saja tidak tahu." ucap Kansha kesal.
"Apa hubungannya dengan nilai pelajaran ku?" ujar Alan bingung.
"Tuan, apa kau pernah mendengar bahwa pasir mampu menyaring kotoran dari air yang kotor?" Alan menggeleng.
Kansha mendesah, dia malas menjelaskan untuk saat ini.
"Sudahlah, aku malas menjelaskan. Kamu cari tahu saja sendiri." ujar Kansha.
"Tunggu, kamu bilang pasir menyaring kotoran kan, tetapi mengapa airnya masih tidak jernih?" tanya Alan bingung.
Kansha terdiam. Benar juga kata Alan, meski pasir sudah menyaringnya, air masih terlihat kotor. Kansha kembali memutar otak.
Ayo, otak cerdasku berfikir, apa yang harus kulakukan? Gumam Kansha dalam hati.
Lalu matanya mengerjap ketika sebuah ide muncul di kepalanya. Kansha menatap Alan yang masih asik menggali. Matanya lalu terpau pada kaus abu Alan.
"Alan, kausmu cukup panjang bukan?"
***
"Kamu bisa gunakan yang lain untuk alatmu itu tapi jangan kausku juga dong!"
Sudah satu jam dan Alan masih betah mengomel. Kansha menggunakan kausnya, satu-satunya kaus miliknya untuk dijadikan penyaringan. Alhasil, kausnya kini camping sebelah.
"Yasudahlah, nanti kalau kita selamat, aku akan membelikanmu kaus kalau perlu sekarung." Timpal Kansha acuh. Dia asik memerhatikan tiap tetesan air yang mengalir melalui serat kaus Alan. Begitu berharga dan dinanti. Meski harus menunggu lama, namun, fakta bahwa dia bisa minum air tawar yang bersih membuatnya bahagia dan rela menunggu lama.
Alan menatap Kansha yang asik menatap botol itu, mata Kansha seperti mau keluar saking fokusnya, "Jangan terus dilihat. Matamu bisa juling." kata Alan datar.
Kansha hanya memutar bola mata, malas. Dia baru tahu bahwa Alan bisa semenyebalkan ini.
***
"Bunda jadi benar, bahwa mas Alan hilang?” tanya Aisyah. Wanita berhijab itu sudah menangis.
Ia langsung terbang ke Jakarta ketika mendengar bahwa Alan menjadi salah satu penumpang dalam pesawat yang hilang beberapa hari lalu.
“Iya, Nak. Alan sengaja ingin menemui kamu di Riau dan menjenguk ayah kamu. Namun Qadarallah, musibah itu terjadi.” Timpal Bunda sedih.
“Astagfirullah.” Aisyah menutup mulutnya, syok. Ia makin menangis dan seketika perasaan bersalah bersarang di hatinya. Kalau saja Alan tidak menyusulnya ke Riau karena ia yang memberi tahu soal kabar sakit ayahnya maka Alan seharusnya tidak mengalami demikian
“Maafkan Aisyah, bun. Ini salah Aisyah, hiks. Kalau saja Aisyah tidak mengatakan hiks pada Mas Alan, soal sakitnya abi, Mas Alan pasti tidak akan terbang untuk menyusul. Dan Mas Alan pasti tidak akan mengalami musibah naas ini.” ucap Aisyah menunduk. Air matanya makin deras.
Bunda menarik calon menantunya itu ke pelukannya. “Semuanya sudah kehendak Allah SWT. Bukan salah kamu Nak. Kalaupun misalnya dia memang tidak jadi pergi, tapi kalau di hari itu ia tetap harus kecelakaan, pasti akan tetap terjadi. Qadarallah.” Ujar Bunda lapang.
“Hiks, hiks, bunda. Aisyah khawatir pada Mas Alan. Semoga Mas Alan baik-baik saja.” Do’a Aisyah sambil menangis.
Rasanya sakit ketika mendengar bahwa calon kekasih halalmu, dinyatakan hilang tak tahu dimana rimbanya.
***
Seperti dugaan Ruben sebelumnya, pertemuan bisnis di salah satu hotelnya memang dihadiri oleh orang tua Kansha. Nana baru bertemu pertama kali dengan pasangan pengusaha ini. Andrian yang dingin dan tenang namun mengitimidasi serta Grace yang terlihat layaknya ibu tiri.
Disinilah Nana, dihadapan suami istri Williams. Setelah pertemuan tadi, Ruben meminta waktu sebentar pada Andrian dan Grace. Mereka kini berada di ruang meeting yang dipakai sebelumnya ketika pertemuan bisnis.
“Jadi Ruben, ada apa? Kamu meminta waktu berhaga kami bukan hanya untuk saling berdiam diri kan.” Ujar Grace memecah keheningan. Suaranya dingin dan angkuh.
Ruben melirik Nana yang ikut melirik nya. Nana menjadi takut ketika mendengar suara Grace. Nyalinya sudah ciut duluan. Kansha, kenapa dia bisa memiliki orang tua yang punya aura intimidasi sekuat ini.
“Ekhem.” Nana berdeham membuat atensi kedua Williams itu mengarah padanya. “Perkenalkan saya Nana. Sahabatnya Kansha.” Ucap Nana memperkenalkan diri.
Nana menunggu reaksi dari pasangan Williams itu, namun tak ada tanggapan apapun. Nana pun melanjutkan perkataannya.
“Saya tahu kalian berdua sudah memutuskan hubungan keluarga dengan Kansha. Tapi bagaimanapun juga sebagai orang tua Kansha, saya rasa kalian harus tahu apa yang menimpa pada anak kalian.”
“To the point saja.” Ujar Grace dingin.
Nana mengerjap, “Eh?”
Lalu Nana menyikut Ruben membuat Ruben tersadar. Ia terlalu larut dari aura intimidasi yang diberikan suami istri Williams itu. Terpogoh-pogoh, Ruben langsung menyalakan proyektor yang sudah ia sambungkan di laptopnya. Lalu memutar sebuah tayangan berita yang kini sedang hangat diperbincangkan.
Sebuah pesawat Key Asia J 203 diketahui hilang kontak satu jam setelah lepas landas di bandara Halim Perdana Kusuma. Pesawat dengan tujuan rute Riau ini tidak terlihat lagi pada radar pukul sebelas siang tadi. Sampai saat ini pihak maskapai sedang melacak keberadaan pesawat ini. Namun, diperkirakan pesawat mengalami kecelakaan dan jatuh di perairan.
Bagi keluarga dari para korban bisa mendatangi ke pihak maskapai untuk informasi lebih jelas atau hubungi nomor dibawah ini.
Nana melihat tayangan berita itu dengan sendu. Air matanya bahkan hampir jebol. Namun Nana mencoba menahan sebisanya.
“Kansha.. salah satu dari penumpang pesawat itu.” Ucap Nana tercekat.
Tak ada tanggapan apapun dari Andrian maupun Grace. Lalu terdengar meja digebrak oleh Grace. Nana dan Ruben terkejut. Melihat reaksi Grace yang diluar dugaan.
“Kalian boleh pergi.” Usir Grace dengan nafas tak karuan.
“Tapi--” Nana bingung. Lalu sekretaris Williams segera membawa Ruben dan Nana keluar ruangan.
Grace duduk kembali. Bahunya terkulai. Berita yang diperlihatkan Ruben, membuat hatinya berdenyut sakit. Entah kenapa.
“Itu—tidak mungkin kan?” tanya Grace pada Andrian yang duduk disampingnya.
Andrian hanya terdiam. Lalu menghubungi seseorang, “Hubungi pihak maskapai. Tanyai soal kabar pesawat jatuh beberapa hari lalu dan laporkan perkembangannya.”
Saat itu, Grace merasa langitnya runtuh bersamaan dengan air matanya yang sudah tak meluruh selama sepuluh tahun ini. sebagai ibu, ia merasakan kesakitan mendalam. Ia telah kehilangan Kansha. sekali lagi.
***
Grace dan Andrian kembali ke rumah mereka. Rumah bergaya Eropa yang sempat menjadi kenangan kecilnya dengan Kansha, sang putri. Grace menatap dinding putih yang polos tanpa lukisan apapun. Dulu, dinding itu penuh dengan foto keluarga kecil mereka.
Grace lau beralih pada sofa favorit Kansha di ruang tamu. Sofa itu masih sama. Grace duduk disana untuk pertama kalinya. Sejak dia memutuskan hubungannya dengan Kansha sepuluh tahun lalu, ia tidak pernah menyesalinya. Namun kini, mengetahui Kansha hilang, Grace merasa menjadi ibu yang sangat kejam. Dihadapannya kini ada Kansha kecil yang terus menyodorkan selembar kertas padanya.
“Ma, lihat aku dapat 100 loh.” Kansha kecil menunjukkan kertas ulangannya dengan bangga.
Grace hanya terdiam lalu pergi. Kansha mengejar Grace.
“Ma! Mama mau kemana? Tunggu sebentar, lihat Kansha dapat 100.” Ujar Kansha sambil mengejar Grace.
Grace menepis kertas ulangan itu, “Saya tidak peduli.” Ujar Grace dingin.
Kansha berhenti mengejar Grace. Dia menunduk melihat kertas ulangan yang jatuh karena ditepis mamanya. Ia berjongkok dan mengambil kertas ulangan itu. Bibirnya melengkung ke bawah.
Kansha lalu bangkit dan duduk dengan lesu di sofa favoritnya. Ia mendesah pelan dan mencoba tidak menangis.
Grace menangis tanpa suara. Ia tidak sadar banyak luka yang diperoleh Kansha sejak kecil. Namun ia malah tidak peduli.
Grace lalu masuk ke dalam kamar Kansha. Kamar yang sudah tidak ditempati Kansha sejak 10 tahun yang lalu ia mengusirnya. Kamar itu masih sama. Bernuansa biru langit kesukaan Kansha. Di raknya berjejer piala dan medali.
“Ma, lihat aku dapat juara 2 lomba lukis loh!”
“Ma, aku dikasih medali sama bu guru katanya aku juara satu lomba lari.”
“Ma, aku dikasih medali lagi. Tadi pas upacara kelulusan sekolah, aku dipanggil ke panggung sama bu guru. Temen-temen aku yang lain maju sama mamanya, tapi aku aja yang enggak.”
“Mama, aku dapat juara 1 debat bahasa indonesia!”
“Mama, tadi bu guru tanya aku bakal datang sama siapa pas aku dapat juara nanti. Mama mau datang kan?”
“Ma, ini raportku loh. Aku dapat rangking 1 sesekolah. Tapi kenapa mama gak datang?”
“Ma, aku anak bandel ya, Makanya mama gak pernah mau datang ke sekolah?”
Sekelebat kenangan hinggap terus menerus dikepalanya. Menghatamnya telak akan perlakuan buruk dan tanpa hatinya pada Kansha. Piala-piala yang didapatkan Kansha tak lain adalah untuk membuatnya bangga. Namun kebencian terlalu mengakar pada hatinya. Membuat ia buta akan rasa empati pada Kansha.
Grace lalu menatap figura Kansha ketika kelulusan SMP. Itu adalah waktu dimana ia memutuskan ikatan ibu dan anak pada Kansha.
“Mulai hari ini, kamu dan saya tidak ada hubungan apapun lagi. Kamu sudah besar, bisa mengurus diri kamu sendiri!”
“Kenapa ma? Aku salah apa sama mama sebenernya. Dari sejak aku kecil, mama selalu bersikap dingin sama aku.” Tanya Kansha menangis.
“Kalau kamu lupa, kamu yang sudah menyebabkan anak saya meninggal dunia karena menyelamatkanmu!” sentak Grace penuh amarah. Kansha terdiam.
“Pergi kamu!” teriak Grace menggelegar.
Hari itu, yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan pada Kansha menjadi hari paling menyedihkan. Hari itu bertepatan dengan ulang tahunnya, ulang tahun terburuknya. Dan di hari ulang tahun putrinya, Grace memutuskan ikatan ibu dan anak.
Grace menangis keras. Ketika kejadian itu menghatam kepalanya. Ia sampai terduduk dan mengacak-acak rambutnya. Seharusnya ia tidak menyalahkan Kansha atas meninggalnya Kania, kakak Kansha. Saat itu ia hanya tidak mau satu atap dengan pembunuh dari putrinya . Akibat perbuatannya, ia bukan hanya kehilangan Kania, namun juga kehilangan Kansha.
“Argh!” teriak Grace frustasi. Penyesalan terus menggerogoti tiap sendi hatinya. Lalu mata Grace beralih pada tumpukan surat di kolong meja belajar Kansha.
***
Andrian termenung di ruang kerjanya. Saat ia mendengar berita tentang hilangnya Kansha, membuat dunianya runtuh dan hancur. Ia memang sama bersalahnya dengan Grace, membiarkan Kansha menanggung perbuatan yang tidak dilakukannya. Membiarkan Kansha tak lagi menyebutnya papa.
Andrian seharusnya bisa berfikir dewasa 10 tahun yang lalu. Bukannya ikut menyalahkan Kansha dan membangun benteng kokoh yang menjauhkannya dari sang Putri. Saat kejadian naas itu, Kansha masih terlalu kecil untuk mengerti.
13 tahun yang lalu, Kania, putri kandungnya menyelamatkan Kansha yang hampir terseret arus laut. Namun naas, malah Kania yang terseret ombak hingga jasadnya tidak ditemukan. Kejadian itu menjadi pukulan baginya dan Grace. Dan sejak saat itu, Grace dan Andrian menjudge bahwa Kansha penyebab Kania meninggal.
“Tuhan aku mohon. Jangan ambil putriku lagi.” Mohon Andrian dalam hatinya. Hatinya yang telah patah karena kehilangan Kania, tak ingin bertambah patah karena kehilangan Kansha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Kas Gpl
egois bgt jd ortu. ...yg akhirnya nyesel juga
2023-01-31
0
sehune
hahah enak ngk tu penyesalan selalu di belakang klo di awal namanya pendaftaran, dan bnyk y yg daftar
2021-06-28
1
Rahmawaty❣️
pdhl khansa ank nya pintar cerdas..
sedihhh bangettt akuuu thorrrr😭😭😭😭
2021-06-14
0