Aisyah Zakariyanissa, seorang gadis berhijab yang memiliki akhlak bagus dan tingkah laku baik. Aisyah lebih muda 2 tahun dari Alan. Mereka merupakan teman sedari kecil lalu beranjak dewasa, mereka berpisah karena Aisyah harus ikut abinya ke Maluku.
Pertama kali bertemu Alan lagi adalah saat ia bertandang ke rumah neneknya yang berada di Manado yang merupakan kampung halaman Alan. Aisyah sejak kecil ikut sang abi pergi ke Maluku. Jadilah ia dan sang abi akan pergi menjenguk sang nenek sebulan sekali.
Alan saat itu berusia 15 tahun. Ia sudah terpesona dengan teman kecilnya dahulu yang kini telah beranjak dewasa itu. Wajahnya putih, bersih dan bercahaya. Nilai kecantikannya bertambah karena Aisyah sudah mengenakan hijab. Lalu diusianya yang ke-19 tahun, sang abi memberitahukan bahwa keluarga Alan datang untuk mengkhitbah Aisyah.
Untuk kali pertama Aisyah merasakan ketertarikan pada lawan jenis adalah pada Alan. Ia tidak pernah mengenal cinta sebelumnya karena sang abi selalu menjaga pergaulan Aisyah.
Aisyah kini sedang berada di kamar Alan. Ia mendesah pelan, betapa ia merindukan pemilik kamar ini.
Bunda Alena datang ke kamar Alan. Dilihatnya Aisyah sedang termenung menatap ke luar. Masih terlihat jelas kesedihan pada raut Aisyah. Meski pun sudah ada perkembangan terbaru, beban kesedihan masih tak berkurang dalam hatinya.
Bunda duduk di tepi ranjang sang putra yang sudah tak ditempati pemiliknya hampir satu bulan. Bunda Alena mengusap lembut seprai yang masih sama sejak satu bulan yang lalu itu. Aroma khas Alan pun masih tercium di inderanya. Oh Allah, betapa bunda merindukan putra lelakinya.
“Aisyah.” Panggil Bunda. Aisyah terlihat tersentak kaget lalu menoleh ke sumber suara.
“Bunda.” Sahut Aisyah lirih.
“Kemari, nak.” Bunda menyuruh Aisyah mendekat. Aisyah menurut lalu duduk disamping bunda.
Bunda mengusap kepala Aisyah yang tertutup hijab. Betapa cantik paras Aisyah yang terjaga baik auratnya. Bunda lalu memegang tangan aisyah, menumpunya pada telapak tangannya sendiri dan menatap Aisyah penuh sayang.
“Aisyah, bunda sayang sekali pada Aisyah.” Ucap bunda tulus.
Aisyah menatap bunda dengan berkaca-kaca, “Aisyah juga sayang dengan bunda.” Jawab Aisyah tersenyum. Baginya bunda sudah seperti uminya. Ia yang telah kehilangan sang umi karena sudah dipanggil oleh sang Pencipta, diganti sayangnya dengan bunda Alena.
“Bunda ikhlas bila kamu ingin melepaskan Alan.” Ujar Bunda. Aisyah terpaku, perkataan bunda selanjutnya seolah petir yang menyambar hatinya. Demi Allah, Aisyah tak pernah ada niat sekalipun meninggalkan Alan.
“Bunda, Aisyah tidak akan meninggalkan Mas Alan.” Ucap Aisyah tegas.
“Nak, kami sekeluarga sudah ikhlas. Apapun yang terjadi pada Alan, kami ikhlas. Bunda harap kamu juga demikian. Kasihan Alan, nak.” Ucap Bunda sedikit terisak.
Aisyah menggeleng kuat, air matanya sudah turun deras. Tidak, ia yakin Alan belum meninggal. Ia yakin Alan akan kembali.
“Tidak, Bunda. Aisyah yakin Mas Alan masih hidup. Aisyah yakin, Bunda.” Tegas Aisyah.
Bunda memeluk Aisyah erat. Bukan hanya Aisyah yang berharap demikian, namun bunda pun juga berharap bahwa putra sulungnya itu masih hidup. Namun Bunda tak ingin egois, Aisyah berhak bahagia meski bukan dengan Alan.
“Aisyah harus kejar kebahagiaan Aisyah. Cari bahagiamu, Nak, meski bukan dengan Alan.” Ucap Bunda.
“Mas Alan adalah kebahagiaan Aisyah, Bun. Bagaimana bisa bunda bilang begitu?” Aisyah menggeleng tidak terima.
“Namun Alan sampai saat ini belum ditemukan. Bunda hanya takut bila suatu saat nanti kamu terus menunggu dan ternyata Alan pulang dalam keadaan tak bernyawa.” Sahut Bunda getir.
Aisyah melepaskan pelukannya, lalu menatap bunda yang sedari tadi berkaca-kaca. Dengan berlinang air mata, Aisyah berkata getir, “Bunda, beri waktu buat Aisyah. Bila dalam satu bulan, Mas Alan belum ditemukan, Aisyah ikhlas melepaskan Mas Alan.”
***
“Alan, kamu benar-benar serius ternyata.” Geleng Kansha tidak percaya. Pasalnya dua minggu sebelumnya, Alan bilang mereka tidak bisa terus menerus mengandalkan mencari buah-buahan atau umbi-umbian karena mereka tidak tahu apa yang ada dalam hutan. Karena semakin masuk ke dalam hutan, hutan makin lebat dan gelap. Jadi Alan tidak ingin mengambil resiko.
Sejak 2 minggu lalu mereka memang menanam kembali pohon singkong di sekitar tepi hutan. Namun bila menunggu tumbuh pasti akan lama. Jadilah Alan bilang, dia akan membuat alat untuk menangkap ikan. Alan bilang ia bisa membuat tombak dari kayu.
Awalnya Kansha tak yakin. Karena satu-satunya alat tajam yang mereka punya hanyalah pisau lipat milik Kansha yang kini bahkan hampir berkarat. Namun Alan tak main-main. Ia mencari batang pohon yang panjang dan ringan lalu diruncingkan salah satu ujungnya. Tentu saja proses peruncingan itu membutuhkan waktu lama. Jadilah alat itu selesai ketika sudah dua minggu.
"Kita bisa cari kerang seperti kemarin." Sanggah Kansha. Ia merasa ide Alan tidak terlalu bagus.
"Kita tidak bisa mengandalkan itu juga, Kansha. Kita butuh protein dan yang bisa kita makan ya ikan atau udang. Dan kalau kita beruntung, di air surut juga ada kepiting." tukas Alan.
kansha mendesah pasrah, perkataan Alan ada benarnya juga. Tapi mencari ikan jauh lebih sulit dibanding dengan mencari kerang. Ditambah mereka tidak memiliki peralatan memadai. Namun Kansha memilih mempercayai Alan.
"Jadi caranya bagaimana?" tanya Kansha.
“Kita bisa gunakan ini untuk menangkap ikan atau udang. Tidak perlu umpan, cukup kesabaran dan kegesitan saja saat menancapkannya.” Ujar Alan lalu menyerahkan satu tombak kayu pada Kansha.
“Kamu pantas jadi pilot.” kata Kansha.
Alan terkekeh mendengar nada skeptis dari mulut Kansha, “Apa hubungannya dengan ini?” tanya Alan geli.
“Apa saja.” Ucap Kansha acuh. “Jadi kita mulai darimana?” lanjutnya.
Alan menunjuk cekungan laut di sebelah utara ia berdiri. “Aku sudah mengamati tempat itu jauh-jauh hari. Sedikit jauh dari tempat kita mencari kerang.” Jelas Alan.
Kansha mengangguk, “Mari. Kita berburu, ketua suku.” Ajak Kansha bercanda. Alan tertawa.
***
Malam tiba dan Alan serta Kansha siap beraksi berburu ikan. Kansha dan Alan harus mengandalkan cahaya bulan dan mata terbuka untuk mengambil buruan.
Alan dan Kansha dengan serius mulai berburu ikan dengan alat buatan Alan. Kansha melihat salah satu ikan yang cukup besar bersembunyi di antara terumbu karang. Kansha lalu mulai mengangkat tombaknya dan menancapkannya pada ikan itu dengan cepat. Berhasil, ikan itu tertancap ujung tombaknya.
Kansha bersorak senang mengundang rasa penasaran Alan. Alan pun mendekat dan bertepuk tangan takjub dengan keberhasilan Kansha.
“Kerja bagus, nona pemburu.” Puji Alan.
“Tentu saja.” Sahut Kansha bangga. Alan pun lanjut mencari mangsa.
Tapi—
“Alan, bagaimana cara melepaskan ikan ini?” tanya Kansha.
Alan menoleh pada Kansha yang tampak kebingungan, “Tinggal kamu cabut saja.” Jawab Alan enteng.
Kansha terkejut, “Maksud kamu, tinggal cabut ikannya begitu saja?” seru Kansha tidak percaya.
“Tentu. Memang harus bagaimana lagi?” tanya Alan tidak mengerti.
Kansha menatap Alan dengan mata menyolot marah. Alan mengangkat alisnya, ia bingung dengan reaksi Kansha.
“Kamu kejam.” Desis Kansha marah.
“Kejam? Kejam maksudnya?” tanya Alan bingung.
“Alan, ikan ini juga kan makhluk hidup. Dia pasti bakal kesakitan.” Sahut Kansha sedih.
Alan tak mampu menahan tawa. “Kansha kamu lucu sekali. Apa menurutmu saat kamu menancapkan ujung runcing ke ikan itu, dia tidak kesakitan?”
Mata Kansha membola, “Kamu benar. Alan, apa aku sudah jadi pembunuh?” tanya Kansha panik.
“Tentu saja tidak. Kita hanya berusaha untuk mempertahankan hidup kita. Kalaupun kita tidak jadi membunuhnya, yang ada kita membunuh diri sendiri karena kelaparan.” Jawab Alan.
“Kamu benar juga. Tapi-“ Kansha terdiam. “Ah Alan, ini semua gara-gara kamu!” pekik Kansha.
Alan makin tak paham. “Kenapa jadi tiba-tiba salahkan aku?”
“Andai kamu tidak membuat alat kejam seperti ini. aku tidak akan berdosa karena sudah membuat ikan ini kesakitan.” Seru Kansha tajam.
Alan mendesah frustasi. Hidup bersama Kansha membuatnya memahami sedikit demi sedikit sikap dan perilaku Kansha. Kansha adalah tipe gadis polos dan agresif.
“Kalau aku tidak membuat alat yang kamu bilang kejam itu. Bagaimana cara kita mendapatkan makanan? kamu mau ambil ikan itu dengan tangan kosong? Lagipula, ini hanya terbuat dari kayu yang bahkan tidak seruncing dengan besi.”
Kansha terdiam dan berfikir, iya juga ya. Kalau tidak menggunakan alat, masa ia harus menangkap sendiri dengan tangan kosong. Tentu saja akan butuh waktu lama. Belum lagi kalau ia salah tangkap, bisa-bisa yang seharusnya ia tangkap udang malah lobster yang akan mencapitnya. Kansha menggeleng ngeri.
Alan memerhatikan reaksi Kansha.Ia tersenyum kecil. Kansha terlihat menggemaskan bila sedang frustasi seperti itu. Lalu ia tersadar, cepat-cepat ia mengusap wajahnya. Astagfirullah, gumam Alan.
“Tapi tetap saja. Itu terlalu kejam.” Rengek Kansha pelan.
“Jadi maumu apa?” tanya Alan sabar.
Kansha lagi-lagi terdiam, “Ini saja deh. Maaf ya ikan, aku sudah menyakiti kamu.” Ujar Kansha sedih sembari menatap ikan itu. Alan menggeleng geli.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Ari Wardani
bgus kak cmn q jdi baperan bgt bcanya... next kak.. smngat nulisnya ya
2021-06-10
3
گسنيتي
lucu tp menarik hehe.
2021-05-29
2