Kansha mengambil kerang yang berada di pesisir pantai. Ia lalu mendekatkannya pada telinganya. Ia selalu melakukan itu bila sedang bersedih dan rindu kakaknya. Ia berharap dengan mendengar suara laut, ia bisa tahu dimana keberadaan sang kakak.
Alan melihat perilaku Kansha mengernyit bingung. Ia menghampiri Kansha yang masih asik menatap laut sambil mendekatkan kerang ke telinganya.
“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Alan.
“Sini.” Alan mendekat lalu kerang tadi didekatkan Kansha pada telinganya.
“Kerang ini adalah telfon laut. Kita bisa mendengar suara laut.” Ujar Kansha.
“Kamu terlalu banyak menonton kartun, Sha. Ini hanya suara angin saja.” Tukas Alan.
“Alan, kamu itu tidak asik ah.” Keluh Kansha.
Alan tertawa lalu ia berjongkok dan secara acak menggali pasir. Tiba-tiba suatu ide melintas di kepalanya.
“Kansha.” Panggil Alan yang masih berjongkok.
“Apa?” sahut Kansha acuh.
“Mau bermain tidak?” tanya Alan sambil berdiri.
“Hah? Bermain apa?” sahut Kansha tidak mengerti.
“Kumpulkan batu sebanyak mungkin, usahakan yang besar dan bawa ke pantai. Siapa yang paling sedikit, dia harus membuat api dan memasak makan malam, bagaimana setuju?” tantang Alan.
“Cih, hanya batu kan. Oke, setuju." Sahut Kansha. Itu hanya sepotong kue baginya.
“Oke siap ya, waktunya sampai langit terlihat jingga, oke?” Kansha mengangguk.
“Siap. 1,2,3.” Setelah itu pada hitungan ketiga, Alan dan Kansha berlari mengambil batu-batu.
Alan dan Kansha terus berlarian mengambil batu-batu. Sesekali mereka saling mengganggu seperti melempar pasir bahkan batu kecil. Suara tawa mereka bergaung di pesisir pantai.
Kansha melemparkan pasir basah pada Alan bermaksud menganggu. Hingga batu-batu yang diangkut Alan terjatuh karena pasir basah itu mengenai wajahnya. Kansha tertawa.
Alan langsung membalas. Ia melemparkan pasir basah pada Kansha. Pasir itu mengenai rambu Kansha. “Alan! Aku udah bilang, jangan rusak rambutku!” seru Kansha lalu mengejar Alan yang sudah kabur duluan sambil tertawa. Bagi Kansha, rambut adalah bagian keramat dari tubuhnya.
Alan dan Kansha saling berhadapan sambil saling membawa senggenggam pasir basah. Alan masih tertawa sambil sesekali mencoba kabur. Namun Kansha terus menghalanginya. “Mau kemana kamu? Tanggung jawab!” kata Kansha tajam.
Alan masih tertawa, membuat Kansha makin geram hingga mereka terus berlarian dan saling mengejar. Warna jingga sudah menghias di cakrawala, pertanda sore sudah tiba dan permainan mereka selesai. Kini Alan dan Kansha berbaring telentang menghadap langit. Nafas mereka masih tak beraturan.
“Wah, langitnya seperti lukisan ya.” Celetuk Kansha. Alan mengangguk.
“Faa bi ayyi alaa’irrabi kuma tukadziban.” Timpal Alan. Kansha menoleh pada Alan dan mengernyit tidak mengerti.
“Apa maksudnya?” tanya Kansha.
“Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Al-Qur’an surah Ar-Rahman ayat 13.” Jelas Alan.
“Kitab suci kalian sepertinya menarik ya. Banyak nyanyiannya.” Ujar Kansha.
“Itu bukan nyanyian Kansha. Itu adalah murotal. Mengaji sambil dilagukan.” Jawab Alan mengoreksi.
“Kamu tahu, Al-Qu’an merupakan suatu yang luar biasa. Semua kejadian di alam semesta yang dikaji oleh Sains ternyata sudah ada dalam Al-Qur’an.”
“Contohnya?”
“Contohnya seperti planet yang berada pada garis orbitnya masing-masing. Gunung-gunung yang berdiri tegak bahkan soal penjelasan mengapa ada sungai di laut. Semuanya sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan tentang bagaimana mencari mata pencaharian. Dan menurutku yang luar biasa salah satunya tentang keberadaan air Zam Zam yang sudah dijelaskan dalam Al-Qu’an tentang air jernih penuh manfaat yang takkan pernah kering.”
“Lalu banyak peneliti yang meneliti tentang sumur Zam-zam itu dan mereka juga mengakui bahwa air itu tidak pernah kering dan selalu jernih.”
“Banyak penjelasan dalam Al-Quran yang sesuai dengan sains dan hebatnya di Al-Qur’an sudah tertulis lebih dahulu.” Jelas Alan.
“Agama Islam sepertinya memang menarik.” Komentar Kansha.
Alan mengangguk membenarkan, “Aku memang bukan orang yang religius tapi aku selalu bangga dan beryukur bisa menjadi seorang muslim.” Kansha mengangguk.
“Aku juga bukan orang yang religius. Aku sudah jarang beribadah.” Aku Kansha jujur.
“kenapa?” tanya Alan.
“Aku hanya merasa tidak tenang. Selalu gelisah, merasa kalau apa yang kulakukan tidak benar selama ini.” jawab Kansha sambil mengernyit. Ekspresi yang selalu ditunjukannya ketika bingung.
“Tidak benar soal apa?”
“Entahlah. Aku juga tidak mengerti.” Kansha menggeleng.
“Ya sudah kita hentikan pembicaraan ini. Ada yang harus kita lakukan sebelum malam tiba nanti.” Ujar Alan. Ia lalu tiba-tiba berdiri.
“Apa?” tanya Kansha ikut berdiri.
“Soal batu-batu itu.” Tunjuk Alan pada tumpukan batu-batu yang berserakan.
“Ah iya benar. Jadi siapa yang menang?”
“Kurasa hasilnya seri.” Jawab Alan.
“Kalau begitu kita bagi dua saja. Kamu membuat api dan aku yang memanggang singkong oke?” Ujar Kansha.
Alan menggeleng, “Tidak, kita harus bergantian. Giliran kamu yang membuat api.”
“Alan, aku tidak bisa. Ayolah, kamu saja ya.” Rengek Kansha.
“Tapi pegal Kansha bila harus terus memutar sampai berjam-jam.” Keluh Alan.
“Alan kok mengeluh. Aku janji, akan membuat singkong serasa steak.” Ujar Kansha.
Tawa Alan pecah. “Kamu lucu.” Ujar Alan tertawa keras.
Kansha mencebik dan kembali memohon dengan wajah menggemaskan, “Ya Alan? Please.” Ucap Kansha dengan puppy eyes.
Alan berdeham lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, “O-oke.” Ujar Alan gugup. Kansha bersorak senang.
“Tapi sebelum itu, bagaimana dengan batu-batu ini?” tanya Kansha bingung.
“Kita akan bikin SOS yang kedua.” Sahut Alan.
“Maksudnya?” Kansha tidak mengerti. Lalu sedetik kemudian, ia berseru. “Ah, kamu mau bikin tulisan SOS, begitu?”
Alan mengangguk. “Kita susun batu-batu ini mengelilingi tiang kayu ini dan membentuknya menjadi SOS.” Ujar Alan.
“Tapi kamu yakin batu ini tidak akan terbang oleh angin? Lalu apa akan terlihat?” tanya Kansha tidak yakin.
“Untuk itulah mengapa kita membutuhkan batu besar. Aku juga sudah mengambil semak-semak untuk di tindih batu-batu itu. Jadi semak-semak ini kita buat mengelilingi tiang kayu, untuk menonjolkan tiang ini dan batu-batu SOS ini nanti.” kata Alan.
“Rencanamu terdengar bagus. Ayo kita coba.” Ujar Kansha. Alan mengangguk.
Mulailah mereka menyusun batu-batu yang mereka peroleh dari permainan seru tadi. Alan dan Kansha saling bekerja sama. Hingga kata SOS sudah terbentuk. Pekerjaan mereka selesai bertepatan gelap menyelimuti.
“Kamu berwudhu saja. Biar aku yang buat api.” Ujar Kansha. Ia kini sudah hafal kapan Alan beribadah.
“Yakin?” tanya Alan memastikan.
“Yakin. Sana.” Usir Kansha. Alan mengangguk, lalu menuju bibir pantai untuk berwudhu.
Kansha melihat dari kejauhan punggung menawan Alan yang kini tengah berjongkok. Menatap Alan dari kejauhan sudah menjadi hobinya belakangan ini. Sudah beberapa hari mereka terdampar di pulau dan dengan adanya Alan, Kansha seperti merasakan kenyamanan berbeda yang belum pernah dirasakannya seumur hidup.
Kansha sadar. Dia sudah punya calon istri. Tegur batinnya. Ia hampir saja terbuai dan membiarkan dirinya larut dalam pesona Alan. Tidak—tidak boleh, lelaki itu—sudah memiliki pujaan hati.
Kansha menghela nafas. Dari dulu tak ada yang benar-benar mencintai dan menghargai keberadaannya. Selama ini hanya Nana, Ruben dan Bu Sari. Dan kini ada Alan yang belakangan ini menjadi pelengkap alasannya bahwa hidup lebih lama tidak ada salahnya. Namun Alan sudah memiliki pelengkap hatinya. Tentu saja dia tidak boleh berharap pada lelaki yang sudah memiliki calon istri.
Kansha lalu berbalik dan mulai menyusun kayu. Ia harus fokus pada pekerjaannya. Alan akan beribadah sebentar lagi, jadi Alan harus punya penerangan agar lebih jelas.
Kansha membuat api sambil sesekali melihat ke arah Alan yang kini sudah berwudhu dan berjalan ke arahnya. Alan terlihat bersinar ditempa cahaya bulan. Dari kejauhan saja, Kansha bisa melihat bulir air laut yang masih bertengger pada wajah dan rambut Alan. Seketika Kansha merasa iri pada air itu.
“Ada apa?” tanya Alan ketika sudah mendekat. Ia mengernyit melihat Kansha cemberut.
Kansha tersadar lalu pura-pura acuh, “Tidak ada.”
Alan hanya mengangguk. Lalu mulai melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Beralas pelepah pisang, Alan bersujud dengan khidmat. Kansha melihat dari belakang, suara Alan ketika membacakan surat sangatlah merdu dan membuat hatinya tenang. Tiap kali Alan beribadah, tak terasa bulir air mata selalu beriak di pipinya. Kansha menghapus air matanya, ia tidak tahu apa yang sudah terjadi pada dirinya belakangan ini.
Alan selesai shalat lalu mendekat pada Kansha yang kini sedang membakar singkong. Alan menaruh kedua tangannya di atas api. Rasa hangat menjalari kedua tangannya.
“Suaramu bagus. Apa namanya tadi?” tanya Kansha sambil fokus membakar singkong.
“Mengaji.” Sahut Alan singkat. Kansha hanya ber'oh' ria.
“Alan, kamu bilang kamu datang ke Riau karena ingin menjenguk ayah dari calon istrimu yang tengah jatuh sakit kan?” tanya Kansha lagi. Alan mengangguk.
“Calon istrimu—siapa namanya?” tanya Kansha penasaran. Namun ia sedikit pura-pura acuh. Tidak menganggap bahwa itu penting dijawab.
“Aisyah Zakariyannisa.” Jawab Alan singkat. “Kenapa?” tanya Alan menoleh pada Kansha.
“Namanya bagus. Dia pasti sangat cantik kan?”
“Cantik.” Alan mengangguk. Kansha merasa ada darah panas mengalir di dadanya membuat solar frexisnya berdenyut sakit.
“Dia orang seperti apa?” Kansha seperti cari penyakit. Terus menggali informasi yang hanya membuat hatinya sakit saja.
“Dia--gadis yang baik, akhlaknya bagus dan berhijab. Calon istri idaman tentunya.” Jelas Alan menerawang.
“Kamu pasti sangat mencintainya.” Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan.
“Iya, aku mencintainya. Tapi entah kenapa, terasa ada yang aneh.” Ucap Alan tidak jelas.
“Apa maksudmu?” tanya Kansha tidak mengerti. Alan hanya mengendikkan bahu tidak tahu.
“Giliranku yang bertanya.” Kata Alan.
“Apa?” tanya Kansha.
“Apa kamu mempunyai hubungan dengan si pemberi rompi pelampung dan pisau lipat itu?” tanya Alan serius.
Kansha gagal paham, “A-apa Lan?”
“Apa hubunganmu dengan laki-laki yang memberimu rompi pelampung dan pisau lipat itu?” ulang Alan.
Kansha mengernyit bingung, “Hubungan apa yang kamu maksud? Kurasa aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Ruben.”
“Jadi namanya Ruben.” Gumam Alan.
“Apa Lan?” tanya Kansha tidak jelas. Tadi Alan mengatakan apa ya?
Alan hanya menggeleng, "Lupakan saja."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Trinity Trinityelf
Alan alim sekalii,berati ini novel ga ad sentuhan fisik dong ???
2022-09-25
0
fa _azzahra
masih mendingan terdampar dg cowok yg masih muda tampan.coba sama aki2 terdampar nya.disuruh kerokin trs si aki mgk gara2 masuk angin 😂😂
2021-10-26
1
Rahmawaty❣️
mreka umurnya pda brpa tahun thor?
2021-06-14
2