Malam tiba. Malam pertama mereka terdampar di pulau tak berpenghuni dan terpencil. Sore tadi, setelah mengisi perut mereka seadanya, mereka mulai bergerak masuk ke hutan untuk mencari ranting-ranting pohon, akar dan daun untuk mereka buat menjadi gubuk sederhana. Alan dan Kansha juga mencari kayu bakar untuk membuat api, agar ada sedikit penerangan dan menghangatkan mereka. Meski gubuknya terlihat tak nyaman, setidaknya malam ini mereka memiliki tempat untuk tidur.
“Hei, bisa tidak?” tanya Kansha sambil terkekeh. Sudah tiga puluh menit, tapi Alan belum berhasil membuat api.
“Membuat api dengan cara paling konvesional seperti ini memang cukup 10 atau 20 menit?” kata Alan sambil terus menggesekkan kayu. Tawa Kansha makin membahana.
Alan terus memutar kayu ke kayu lainnya. Membuat gesekan agar api bisa menyala. Akhirnya dengan usaha keras, Alan berhasil. Ada percikan api dari kayu yang digesek Alan lalu Alan menumpunya dengan ranting-ranting kecil yang kering. Butuh waktu lama untuk membuatnya besar.
“Wow, hebat.” Puji Kansha sambil bertepuk tangan. Alan hanya tersenyum bangga.
“Aku tidak percaya kalau kita seperti kembali ke zaman purba. Membuat gubuk dari akar pohon dan membuat api dengan ranting.” Ujar Kansha menggeleng.
“Mau bagaimana lagi. Kita hanya bisa sabar dan mensyukuri apa yang terjadi.” Jawab Alan seadanya lalu menaruh kedua telapak tangannya diatas api unggun yang kini berkobar.
“Taruh kedua tanganmu.” Titah Alan. Lalu Kansha pun melakukan apa yang dilakukan Alan.
“Tadinya kufikir, malam tidak akan semenyeramkan ini. tapi fakta kalau di pulau seluas dan seterpencil ini hanya kita berdua, rasanya tidak bisa dinalar. Aku bahkan takut untuk sekedar menoleh.” Keluh Kansha.
“Kalau kamu takut maka mengadahlah.” Ucap Alan.
“Sudah kubilang aku takut.“ kata Kansha.
"Liat saja dulu." ucap Alan. Ia menengadah dan Kansha mulai menurut.
Kansha seketika menganga takjub ketika melihat gugusan bintang di langit. Bulan yang tampak penuh. Dan laut malam yang bercahaya terbias sinar bulan. Rasanya ia belum melihat pemandangan maha indah ini.
“Woah.” Kansha menganga takjub.
“Orang zaman dahulu, selalu melihat bintang sebagai penunjuk arah mata angin. Orang zaman sekarang, selalu melihat bintang sebagai keistimewaan hidup yang langka. Karena di perkotaan seperti Jakarta, melihat bintang seterang dan sejelas ini sangat susah.” Ujar Alan.
“Kamu lihat kan, langit malam terlihat seperti lukisan cantik. Gugusan bintang yang seperti membelah langit malam, bulan yang nampak penuh dan cahayanya yang membias pada permukaan laut. Kalau kata para pelukis, mungkin ia adalah definisi sebuah lukisan cantik yang romantis. Dan semuanya, adalah nikmat yang Tuhan berikan pada kita.” Lanjut Alan.
“Jadi, kalau kamu merasa takut ketika malam tiba, maka tengoklah ke atas. Ada bintang yang akan selalu menemani perjalananmu setiap malam layaknya bintang yang menemani bulan.”
Malam ini, dua anak manusia tengah mengagumi keindahan alam. Bukti keagungan dan kebesaran sang Pencipta. Layaknya pepatah, di setiap penderitaan selalu terselip sebuah pelajaran.
***
Pagi tiba, setelah suasana canggung soal tidur berdua di gubuk. Akhirnya mereka dapat tertidur dengan kesepakatan adanya garis teritorialnya masing-masing. Alan membuat sekat antara tempat tidurnya dengan Kansha dari daun dan akar-akar kering. Meski sedang dalam suasana sulit dengan tempat teduh seadanya, Alan tidak mau melanggar batas. Ia berusaha menjaga kehormatan Kansha.
Pagi ini, mereka berniat mencari makanan seperti umbi-umbian untuk dimakan. Luka mereka masih terasa sakit, namun mereka masih bisa menahannya. Mau bagaimana lagi, mereka harus makan atau kalau tidak mereka akan mati lemas karena kelaparan. Belum lagi mereka harus menyembuhkan luka-lukanya. Meski tidak memakai obat-obatan, setidaknya dengan makan, tubuh mereka akan sembuh secara bertahap.
Mereka masuk ke dalam hutan yang berada di sebelah selatan pulau. Hutan di pulau itu ternyata masih sangat rimbun. Makin lama ke dalam, pepohonan makin rapat. Cahaya matahari pun makin sedikit, namun yang membuat mereka takjub adalah, hutan ini terasa masih bersih—dalam artian belum terjamah oleh tangan nakal manusia.
“Menurut kamu, makanan apa yang bisa kita makan?” tanya Kansha pada Alan yang berjalan di depannya.
“Apapun, selain batu dan tanah.” Jawab Alan acuh.
“Kalau kuberi ulat, mau?” tawar Kansha terkekeh.
“Asal ulatnya dibikin steak dulu, mungkin bisa dipertimbangkan.” Sahut Alan santai.
“Kamu berniat menjadikan gubuk kita serasa restoran begitu?”
“Ide bagus. Jadi kalau kita terdampar lagi, kita tidak perlu khawatir kelaparan lagi.”
“Dasar gila.” decih Kansha. Alan tertawa keras.
Mereka terus berjalan masuk ke dalam hutan. Namun mereka belum menemukan apa yang bisa mereka makan. Padahal perut mereka terus keroncongan.
“Aku bersumpah, kalau kita bisa mendapatkan makanan, bila kita terdampar lagi aku akan mewujudkan gubuk serasa restoran impian kamu itu.” Kata Kansha mulai meracau.
Alan berhenti lalu membalikkan badan pada Kansha yang juga ikut terhenti. “Kamu serius?” tanya Alan mengangkat alisnya.
“Mana pernah sih aku berbohong.” Jawab Kansha.
“Kalau gitu, sepertinya kamu harus memenuhi janjimu tadi. Lihat.“Alan menunjuk pada pohon singkong yang berada tak jauh ditempatnya.
Mata Kansha melebar, “Akhirnya, yeay!” seru Kansha senang.
“Ingat, janjimu tadi.” Ujar Alan mengingatkan.
Kansha pura-pura lupa, “Yang mana ya?” tanya Kansha acuh.
“Kalau kamu akan membuat gubuk serasa restoran.” Terang Alan menahan geli.
“Emang aku pernah bilang begitu?” tanya Kansha pura-pura bingung pada Alan.
“Sekitar 3 menit yang lalu.” Bantu Alan.
“Sepertinya aku lupa. Aku orang yang memiliki jangka ingatan pendek. Jadi lupakan saja.” Ujar Kansha santai lalu menghampiri pohon singkong itu
Alan hanya menggeleng sambil tersenyum lalu menghampiri Kansha yang berjongkok melihat pohon singkong dihadapannya. “Seumur-umur, baru kali ini aku merasa senang melihat pohon singkong.” Ucap Kansha takjub.
“Jadi mengertikan, betapa berharganya setiap rezeki yang sudah diberi pada kita?” tanya Alan yang ikut berjongkok.
Kansha mengangguk, “Lan, cabut dong.” Pinta Kansha.
“Bersama ya.” Pinta Alan.
“Pohon singkong saja masa harus dibantu sih. Kamu kan laki-laki.” Seru Kansha.
“Nona, kalau kamu lupa. Tubuhku masih penuh dengan luka. Dan rasanya masih sakit, kalau-kalau kamu lupa juga apa yang terjadi pada kita. Biarkan ku ingatkan, ki—“ ucapan Alan terpotong.
“Oke, oke. Jangan bahas insiden itu lagi. Membuat merinding saja.” Cebik Kansha.
Alan dan Kansha lalu saling bahu membahu. Mereka bekerja sama menarik pohon singkong itu. Alan benar, luka mereka masih basah dan rasanya masih perih. Lalu dengan segala tenaga yang mereka miliki dan keringat yang sudah membanjiri, pohon singkong berhasil tercabut.
Mata Kansha menatap takjub pada singkong yang terlihat besar-besar itu. “Lan, ini bisa jadi makanan sehari.” Ucap Kansha. Alan mengangguk.
“Tapi untuk jaga-jaga, kita juga harus mencari makanan lagi.” Kata Alan.
Lalu Alan dan Kansha kembali berjalan sambil Alan menenteng singkong yang berhasil mereka cabut itu. Tak lama, mereka menemukan pohon pisang. Namun rupanya pohon itu belum berbuah matang. Buah pisang masih terlihat mentah.
“Yah, Lan. Masih belum matang.” Sedih Kansha.
Alan tak menjawab, ia melihat buah pisang itu lalu merabanya. “Kurasa sekitar dua atau tiga hari lagi baru bisa dimakan. Tapi lebih baik kita potong sekarang saja. Kita bisa mematangkannya di gubuk saja.” Ujar Kansha.
“Emang bisa?” tanya Kansha tidak percaya.
“Semoga saja. Daripada kita biarkan di pohon, aku takut nanti dimakan binatang.” Perkataan Alan membuat Kansha membeku.
“Ngomong-ngomong soal binatang. Disini tidak ada binatang buas kan?” tanya Kansha parno.
Alan yang sedang menatap buah pisang seketika menoleh pada Kansha yang ketakutan. “Kurasa tidak. Tapi aku tidak terlalu yakin. Kemungkinannya sekitar 60 %.” Jawab Alan ragu.
“Jadi?” Tanya Kansha butuh kepastian.
“Mungkin ada, mungkin tidak.” Jelas Alan. “Kenapa kamu takut?” lanjut Alan menoleh pada Kansha yang berada di sampingnya.
“Tentu saja takut. Masa sudah lolos dari pesawat jatuh terus malah masuk ke mulut harimau, kan tidak lucu.” Sahut Kansha mencebik.
“Jadi kalau beneran ada harimau disini, kayaknya aku bakal umpanin kamu dulu deh. Daging kamu lebih empuk. Hahaha.” Ucap Alan tertawa.
Kansha memukul bahu Alan keras membuat Alan mengaduh kesakitan, “Hei, ini masih luka tahu!” seru Alan meringis.
“Makanya jangan ngomong sembarangan dong.” Tukas Kansha kesal.
“Iya iya becanda. Maaf ya.” Ucap Alan.
Kansha menatap Alan yang sedang menatapnya juga. Entah kenapa seperti ada sengatan listrik di tubuhnya. Alan pun juga, lalu ia tersadar. Ia sudah zina mata pada Kansha yang tidak halal baginya.
“Astagfirullah.” Ucap Alan menunduk.
“Kenapa?” Kansha mengernyit.
“Tanpa sadar aku menatapmu lama. Aku seharusnya menundukkan pandanganku. Maaf ya.” Kata Alan merasa bersalah.
“Memang kenapa? Bukannya sah-sah saja ya menatap wajah seseorang?” tanya Kansha tidak mengerti.
“Tapi kamu belum halal bagiku. Di agamaku tentu saja dilarang. Namanya zina mata.” Jelas Alan.
Kansha mengangguk-mengangguk, “Oh, aku belum pernah mendengarnya.”
“Di dalam Islam, laki-laki harus menundukkan pandangan terhadap wanita yang bukan muhrimnya. Karena kalau tidak demikian, itu bisa jadi awal melakukan zina.”
“Kenapa? Cuma pandangan saja kan.” Tukas Kansha bingung.
“Berawal dari pandangan, akan muncul rasa tertarik. Lalu dalam fikiran terus terbayang sosok yang bukan muhrimnya. Lalu tanpa sengaja mereka mulai bersentuhan, dimulai dari tangan, lalu wajah dan seterusnya. Hingga mereka lupa pada batasannya.”
“Jadi dari hal seremeh dan sekecil apapun, bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar. Jadi lebih baik mencegah bukan. Karena kalau sudah tercebur, keringnya akan lama. Dan itulah konsep Islam. Kami menghormati perempuan layaknya perhiasan mahal yang hanya bisa dinikmati bagi pemilik sah nya.” Jelas Alan.
“Agama kalian cukup menarik ya.” Puji Kansha.
“Tertarik masuk Islam?” tanya Alan pada Kansha.
“Pertanyaanmu tiba-tiba sekali.” Jawab Kansha. “Ayo kita potong dulu buah pisangnya. Aku sudah lapar.” Lanjut Kansha mengalihkan pembicaraan.
Alan tersenyum dengan jawaban Kansha. Kansha memang bukan Muslim. Ia sudah mengatakannya pada Alan tadi malam, ketika Kansha bertanya apa yang dia lakukan saat Alan membasahi beberapa anggota tubuhnya. Ketika Alan bilang ia sedang berwudhu karena akan melaksanakan shalat, Kansha hanya bilang bahwa dia bukan Muslim.
“Coba lihat di tas doraemon mu. Ada pisau lipat tidak atau apapun yang tajam.” Suruh Alan.
" Tidak mungkin ada, Kalau ada, kenapa tidak dari kemarin kita pakai untuk membuat gubuk." sanggah Kansha. Ia jadi teringat dengan kejadian kemarin, ia harus menarik akar pohon, daun-daun sampai terlepas.
"Coba saja dulu. Mungkin kemarin kita kurang teliti melihatnya." Alan masih berfikir positif.
Kansha mengalah, “Kita lihat, barang apa yang akan dikeluarkan dari tasku.” Ujar Kansha sambil membuka tas pinggangnya. Tangannya mencari apa yang Alan tadi bilang. Lalu tangannya berhenti mengaduk tasnya, lalu menatap Alan yang sedari tadi menunggu.
“Ta-da!” seru Kansha sambil mengeluarkan sebuah pisau lipat.
“Woah. Benarkan ada!” ucap Alan senang.
“Benar.” Sahut Kansha tak kalah senang.
“Nih.” Kansha lalu menyerahkan pisau lipat itu pada Alan. Lalu menutup resleting tas nya lagi.
“Tapi kenapa kamu membawa sampai pisau lipat segala?” tanya Alan sambil memotong buah pisang.
“Um, mungkin aku sengaja tidak sengaja membawanya. Aku kan harus ke luar pulau. Lalu kufikir aku harus membawa sesuatu untuk dijadikan perlindungan diri dan aku membawa pisau lipat. Temanku yang merekomendasikannya.” Jelas Kansha riang.
“Temanmu? Siapa? Nana?”
Kansha menggeleng, “Bukan. Dia orang yang sama yang memberikanku rompi pelampung itu.”
“Ternyata kamu punya teman lain. Laki-laki?”
“Ya. Dia salah satu kakak tingkatku waktu kuliah. Ketua BEM. Hebat kan?” seru Kansha bangga.
“Temanmu yang hebat, bukan kamu.” Tandas Alan jahil.
Kansha melunturkan senyumnya, “Aish.”
***
“Ada perkembangan Na?” tanya seorang pemuda berkaca mata yang sedari tadi rautnya gelisah.
“Belum kak.” Jawab Nana lesu.
Pemuda itu menghela nafas pelan. Ia baru saja kembali dari Jerman. Dan ketika pulang ke Tanah Air, ia harus mendengar kabar buruk yang membuat hatinya hancur seketika.
“Kansha dari pas sebelum berangkat memang udah aneh kak. Dia seperti mau pamitan saja. Perasaanku juga tidak enak. Tapi kufikir, itu hanya perasaanku saja. Tahunya, dua jam kemudian dapat kabar kalau pesawat yang dia tumpangi hilang kontak.” Ujar Anna sedih.
“Kakak yakin dia masih hidup. Dia wanita paling tangguh yang kakak kenal. Ya, Kansha pasti selamat.” Ucap pemuda itu menenangkan diri sendiri. Namanya Ruben.
“Kak Ruben, aku teringat sesuatu. Sebelum berangkat, Kansha bilang dia mau aku sampaikan salam ke orang tuanya. Kak Ruben bisa bantu aku buat ketemu sama orang tuanya?” tanya Nana penuh harap.
Ruben mendesah, “Suami istri Williams terlalu sibuk berbisnis. Kakak baru saja dengar bahwa mereka berhasil mengakuisisi salah satu perusahaan penyiaran di Korea Selatan. Ada kemungkinan mereka sedang di Korea saat ini.” jawab Ruben.
Bahu Nana terkulai lemas, “Kak, apa kakak tidak punya cara buat ketemu mereka? Maksudku, aku takut itu jadi pesan terakhir Kansha.” Nana berujar gemetar.
“Kita juga harus kasih tahu mereka soal hilangnya Kansha. Walau mereka sudah tidak peduli pada kansha, mereka masih tetap orang tuanya.” Lanjut Nana.
Ruben berfikir keras, “Lusa nanti, akan ada pertemuan bisnis di salah satu hotel milik perusahaan kami. Kurasa tidak mungkin bahwa Andrian Williams dan Grace Williams tidak hadir. Jadi kakak akan bawa kamu kesana.” Ucap Ruben.
Nana mengangguk. “Ide bagus kak.” Ujarnya tersenyum cerah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
tanpanama
emang pisau lipat bisa lolos tes bandara ya?
2022-05-10
0
Desmawati
bagus kk cerita nyo aku suka💃💃
2021-12-13
0
ダンティ 妹
bagus bngt cerita ya
2021-09-23
1