8. Pembalasan

***

Thifa meminum kopi yang ada di depannya, dengan santai menatap mata Aldy, tanpa rasa takut. Atau bahkan gemetar.

"Sudah berapa banyak gadis yang kau hancurkan masa depannya? Apa begini cara kau merenggut kebahagiaan mereka? Apa kau merekam kejadian memalukan itu?"

"Ya, ya Semua itu benar. Aku memperlakukan mereka dengan cara yang sama, dan aku juga merekam semua kejadian memalukan ini." akunya seolah tak berdosa.

"Dan sekarang adalah giliran mu. Kau merasa takut kan? Tenang saja, aku akan bermain halus dan lembut." lanjutnya, berjalan lebih mendekat ke arah Thifa.

"Suami ku masih hidup, untuk apa aku takut padamu, yang merupakan sampah umat manusia. Noda bagi kaum lelaki."

Urat-urat kekesalan sudah muncul di wajah Aldy. Dia sudah tidak sabar untuk merobek habis baju yang Thifa kenakan.

Tangan Aldy menepuk bahu Thifa, seolah ingin merobeknya.

"Ayo kita mu--"

Byuurrrr

Belum selesai Aldy berbicara, kopi panas itu sudah Thifa siramkan ke wajahnya. Membuat matanya sakit, dan kehilangan arah jalannya. Thifa dengan cepat mendorong tubuh orang menjijikan itu ke lantai.

Tak tinggal diam, sudah ada Theea yang bersiap memukul kepala Thifa menggunakan tongkat golf. Thifa tau itu, tapi entah kenapa dia memilih tak mengelak, dan membiarkan tongkat itu menghantam punggungnya.

"Mati kau!! Beraninya kau menyiram bos ku! Kau akan membayar untuk semua yang kau perbuat!!"

Thifa menarik sudut bibirnya. Siapa yang mati masih belum tau loh~

"Thifa...," gumam seseorang dari arah pintu. Theea melihatnya, ada Liana sang resepsionis yang telah di ikat. Dan ada dua orang pria di sebelahnya. Theea kenal mereka, yang adalah suami dari nona Ifa, dan asistennya.

Brukkkk!!!

Tanpa Ba-Bi-Bu lagi Arfen langsung menunjang perempuan sialan itu. Menamparnya kasar, tetap menendangnya tanpa ampun. Namun, seketika Arfen berhenti.

"Bersyukurlah pada ibumu yang telah melahirkan mu sebagai seorang perempuan. Kalau kau pria, sudah ku pijak habis kau."

Arfen berjalan mendekat ke arah Thifa. "Kita ke rumah sakit sekarang." suami posesif itu segera menarik tangan istrinya.

"Tapi, ini cu--"

"Tidak ada kata tapi, ataupun cuma. Semua luka yang ada di badan mu, harus di periksa. Aku tidak mau kalau ini nanti sampai berbahaya di kemudian hari."

Tapi, ini cuma kena pukul tongkat golf oke?

"Tunggu dulu, bagaimana dengan para iblis ini?"

Arfen melihat ke arah Aldy yang sibuk dengan wajahnya, menatap Theea yang sudah terbaring lemas, memandang Liana yang sudah terikat.

"Awalnya aku cuma mau menjebloskan mereka semua ke dalam penjara. Tapi, karna kau terluka dalam tragedi ini. Akan ku pastikan mereka semua menderita, sebelum terlempar ke penjara." kata Arfen, matanya tajam mengerikan.

Nah, ini dia yang ku maksud. Kalau hanya masalah kasus, Arfen tidak akan menyiksa para iblis ini. Tapi, kalau aku sampai terluka?

Jangan salahkan aku, salah diri kalian sendiri kenapa begitu kejam. Kalian mana boleh hidup tenang setelah menghancurkan hidup lima orang gadis.

Batin Thifa. Dia tau benar bagaimana posisinya di hati, dan kehidupan Arfen. Dia tau, bahwa Arfen akan sangat murka jika dirinya di siksa.

"Sebentar, " Thifa berjalan mendekat ke arah Theea yang terbaring. "Kau tau suamiku mengampuni mu karna kau seorang perempuan. Kau tau kenapa? Karna perempuan itu hebat. Mereka luar biasa, mereka bisa melakukan apa yang tidak bisa pria itu lakukan. Tapi kau? Kau menodai kehebatan perempuan."

Thifa menoleh ke arah Aldy, berjalan mendekat.

"Harusnya perempuan itu di sayangi, dan di lindungi. Perempuan itu bukan alat kesenangan memuaskan nafsu dan ketertarikan belaka. Perempuan itu, harusnya di jaga, bukan di rusak. Bagaimana bisa kau melakukan ini pada banyak perempuan, bahkan saat ibumu sendiri seorang perempuan? Aku harap kau merenungkannya di penjara. "

Thifa berjalan mendekat ke arah Arfen. "Kau akan benar-benar mengurus kasus ini kan? Sampai tuntas? Sampai mereka menerima ganjarannya."

"Akan ku lakukan lebih dari ekspetasi mu." Arfen mencium kening istrinya, dan membawanya keluar.

"Alan, urus semuanya. Aku akan membawa Thifa kerumah sakit."

Alan mengangguk patuh. Thifa berhenti sebentar saat dia berpapasan dengan resepsionis Liana. Thifa meliriknya dengan tatapan yang dia pelajari dari Arfen.

"Kau bingung? Saat kau gemetar, aku sudah tau ada yang aneh. Karna itu aku menjatuhkan pulpen ku, dan mengirim pesan kepada suami ku. Siapa yang sangka dia akan datang secepat ini, kan? Dan aku berhasil selamat."

Gadis itu melotot tak percaya. Jadi, sejak aku gemetar ya?

***

Arfen benar-benar membawa Thifa ke rumah sakit, bahkan itu rumah sakit bergengsi. Dokternya menggelengkan kepalanya.

Apa begini cara orang kaya menghabiskan uang? Ini cuma luka memar.

Batin dokter wanita, ya harus wanita sesuai permintaan Arfen. Dokter itu menggelengkan kepalanya.

"Dia sudah tidak apa-apa, saya sudah memberinya saleb. Dia akan segera sembuh. Saya permisi." Dokter itu berjalan keluar.

Wajah Thifa sudah merona karna malu. Malu sekali rasanya datang ke rumah sakit hanya karna luka memar.

Thifa ingin mengoceh pada Arfen, namun raut wajah suaminya itu terlihat berbeda.

"Ada apa? Kau marah pada ku? Oke oke, aku janji gak bakalan ngambil tindakan tanpa izin dulu."

Arfen diam, Thifa juga bingung harus apa.

"Oy Thif, kalo emang ingin agar aku nyiksa mereka, ngomong aja. Gak usah buat diri sendiri jadi tumbal."

Thifa terkejut seketika. "Kau tau semuanya?"

"Tadi harusnya kan kamu bisa mengelak dari pukulan itu. Aku tau semuanya, niatmu. Sayang, ap--"

Thifa langsung memeluk erat tubuh kekar suaminya itu. "Aku tau aku salah. Gak bakal aku ulangi lagi. Aku janjiiiiiii..., maafin akuuuu."

Arfen mengelus rambut panjang istrinya. Dia menghela napas panjang. "Ini rumah sakit Thif, jangan goda aku. Dan ini masih siang. Kita bisa lanjutkan nanti malam, anggap aja sebagai kompensasi permintaan maaf."

Thifa tidak bisa berkata-kata. Saat ini dia akan melakukan apapun, demi mendapat maaf orang ini.

***

Keesokan harinya, media sosial di banjiri dengan kasus dari perusahaan Nanaji. Banyak orang yang jijik melihat itu. Bagaimana ada manusia seperti mereka. Sementara itu, di penjara sudah ada Liana.

Di ruangan itu, dengan memakai seragam tahanan. Liana tak kuasa menatap wajah kedua orang tuanya yang sedang duduk di depannya.

Hati Liana sungguh terkoyak melihat kedua orang tuanya meneteskan air mata karna dirinya.

"Ibu tau nak, kamu lakuin ini demi kita bayar hutang kan? Tapi, gak begini caranya. Ini salah, kamu korbanin lima anak gadis...," kata ibunya sembari terisak.

"Maafin Liana buk, maafin Liana. Hutang kita..., hiksa..., "

"Semua hutang kita sudah di lunasin," sambung bapaknya.

"Siapa yang lunasin pak?"

"Kita gak tau namanya. Cuma, dia orangnya baik, cantik, rambutnya gelombang."

Nona Ifa..,?

Entah kenapa, pikiran Liana tertuju pada Thifa.

***

Terpopuler

Comments

Nimranah AB

Nimranah AB

😍😍😍😍

2021-06-11

0

Alivaaaa

Alivaaaa

Thifa emang the best 😍😍😍😍

2021-05-28

0

Nahar Hamid

Nahar Hamid

up up up

2020-12-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!