6. Di benci satu kantor

***

Ada yang aneh dalam tidur Thifa kali ini. Dia tidak merasakan hangat dari pria yang selalu memeluknya erat sepanjang malam. Thifa perlahan membuka matanya. Benar saja! Dia tak bisa melihat adanya Arfen di sampingnya.

Thifa mengucek lembut matanya, mencoba memastikan sekali lagi bahwa Arfen benar-benar tidak ada di sana.

"Kemana dia ya? Apa turun di bawah, kelaperan?" Thifa mencoba bangkit berdiri, dia mencuci wajahnya sebentar. Ah~ pandanganya menjadi lebih jernih sekarang. Rasa kantuknya juga sedikit hilang.

Thifa berjalan ke bawah untuk memastikan Arfen di mana. Dia memusatkan pandangannya pada seseorang berambut panjang yang tengah makan di meja itu. Thifa menelan salivanya payah. Ini cukup mengerikan kalau ternyata itu mbak-mbak beda alam. Thifa bahkan sudah berimajinasi bagaimana kalau orang itu berbalik dan wajahnya rata.

"He-hey...! Apa yang kau lakukan?" panggil Thifa masih menjaga jarak sedikit jauh. Orang berambut panjang itu menoleh ke arah Thifa berada. Deg deg begitulah bunyi jantung Thifa yang ketakutan.

"Ahihihi ... Aku hantu yang lapar. Hihiii...," Bukan Arfen, tapi Thifa malah melihat Shiren yang sedang makan mie instan di meja makan.

Thifa menghela napas lega saat dia sadar, itu adik ipar kesayangannya, Shiren Arkasa.

"Kamu ini,  buat kakak takut aja. Kamu laper? Kenapa makan mie instan? Mau kakak buatin nasi goreng aja gak?" Thifa berjalan lebih dekat, tidak perlu takut. Itu adalah adik iparnya yang imut.

"Eh,  kakak bisa buat nasi goreng? Shiren mau liat dong kak. Shiren juga lagi ga mau makan mie instan."

Thifa berjalan ke dapur, di ikuti oleh Shiren di belakangnya. Thifa sesekali memberikan penjelasan bumbu-bumbu pada Shiren yang bahkan tidak bisa membedakan garam dan gula. Parah sekali anak itu.

***

Setengah jam sudah berlalu dan masakan ala Thifa dan Shiren sudah matang. Obrolan ringan menemani keduanya makan. Suara mereka di buat sedikit lebih pelan,  agar tidak mengganggu tidur siapapun.

"Kalian makan gak ngajak-ngajak? Wah parah sih." Celetuk seseorang di antara obrolan keduanya. Mata Thifa tertuju pada pria itu, dengan membawa sepiring nasi goreng buatannya.

"Loh, Arfen? Kamu dari mana?" Interogasi Thifa dengan wajah yang dingin.

"Tau nih kak Arfen. Dari tadi kak Thifa nyariin loh, nunggu kakak sampai buatun Shiren makan lagi. Emang kemana sih?" Timpal Shiren.

Apalah daya Arfen yang baru saja memukuli habis anak orang. Dia juga bingung mau jawab apa. "Ada urusan tadi, udah lah. Lagian kan aku dah balik. Lapar juga, makan aja dulu." Arfen tanpa permisi duduk di sana, ikut nimbrung di antara keduanya. Thifa sendiri merasa aneh dengan gelagat suaminya ini.

***

Pagi ini Thifa ke kantor sendiri, karna Arfen masih ada rapat penting. Arfen langsung berangkat dari rumah, katanya tidak perlu Thifa ikut.

Thifa berjalan menuju ruangan kerjanya. Banyak sorot mata yang tidak enak mulai menajam ke arahnya.

Padahal kisah semalam. Masih aja belum selesai.

"Eh! Cewek murahan! Ini gara-gara lo nih, si Ari gak masuk kantor dan dia masuk rumah sakit. Itu pasti karna kopi panas yang lo siram kemarin." Ketus gadis itu Manda, ia menarik lengan Thifa, menatapnya jijik.

"Baguslah, biar dia tau rasa dan mengerti bagaimana caranya menghargai perempuan." Sahut Thifa enteng tanpa beban. Kalau soal harga diri wanita, Thifa tak kan mau mengalah.

"Lo ini bener-bener ya! Ngeselin banget! Bukannya minta maaf malah bersyukur!"

"Apa sih lu Manda, si Ari masuk rumah sakit bukan karna air panas tau! Itu karna dia kemarin malam terbegal waktu pulang tengah malam." Sambung seseorang dari belakang Thifa. Thifa menoleh ke arah orang itu.

Thifa sepertinya kenal dia siapa. Dia adalah Nadin, gadis pendiam jarang ngomong mungkin, tapi bakatnya luar biasa. Dia ada di bagian IT. Aneh sekali rasanya melihat Nadin membela seseorang. Harusnya gadis bertipe Nadin sama sekali tak ingin merepotkan dirinya hanya untuk menolong orang lain, kan?

"Apa sih lo, lo juga biasa diam aja kan. Gak usah ikut campur deh lo."

"Turut berduka cita." Kata Thifa seraya melanjutkan jalannya. Semua pegawai kantor menatap Thifa tak percaya seolah responnya acuh tak acuh.

Thifa meletakkan tasnya di atas meja. Tangan mungilnya sesekali memijit dahinya.

"Ulah Arfen kan? Jadi kemarin malam dia keluar cuma mau mukulin anak orang? Stress." Thifa menggelngkan kepalanya, tak habis pikir dengan Arfen.

***

Saat jam makan siang, Arfen belum juga kembali bersama Alan. Membuat Thifa bosan makan sendiri. Dia berjalan keluar kantor. Entahlah, terbesit di pikirannya untuk melihat keadaan Ari. Thifa tau betul, segila apa Arfen itu.

Hanya butuh waktu setengah jam untuk Thifa dan mobilnya sampai di rumah sakit Kenanga itu. Setelah berbincang sedikit dengan resepsionis, Thifa menuju kamar 71 di tempat Ari berada.

Lamunan dan ekspetasi soal suksesnya perusahaan yang di kelolanya dan Arfen memenuhi kepala Thifa.

Akan sangat menyenangkan kalau itu kenyataan. Menghalu itu cukup mengasyikkan juga ya.

Thifa tanpa permisi langsung membuka ruangan itu. Tanpak Ari yang sudah terbaring lemah. Wajahnya penuh akan lebam biru. Harus Thifa akui, dia cukup iba melihat kondisi memprihatinkan ini.

"A-ampun gue gak bakal gangguin lo lagi. Ja-jangan sakitin gue." ringis Ari, sepertinya dia sudah mengerti apa arti dari rasa sakit.

"Aku di sini mau minta maaf atas semua ulah kakak ku itu. Dan semoga cepat sembuh." Thifa keluar dari ruangan itu. Setidaknya hatinya merasa jauh lebih lega saat dia minta maaf. Seolah-olah beban di hatinya hilang.

***

"Sayang? Apa aku benar-benar seburuk itu saat memakai penyamaran ini?" tiba-tiba Arfen masuk ke ruangan Thifa.

"Kenapa emangnya?" Thifa langsung memberhentikan aktivitas mengetiknya. Dia bangkit mendekat ke arah suaminya.

"Semua orang di kantor Witria tadi kayaknya ketawain aku."

"Terus kamu malu? Kalo iya bagus deh, masih punya otak."

"Gak sih, biasa aja. Lagipula aku aslinya ganteng kok. Sekali lirik mereka juga bakal terpana." Arfen melepas tompel, kumis, dan janggutnya. Itu sungguh sangat tidak nyaman.

Chuppp

Mendadak Arfen menyerang bibir Thifa. Arfen memeluk erat istri mungilnya.

"Ada apa?"

"Ga ada sih. Pengen meluk aja. Ah, emang kalau udah meluk istri rasanya jauh lebih tenang ya?" Arfen mengeratkan pelukannya.

Thifa menghela napas lega. Dia mengelus lembut kepala suaminya itu.

"Kapan ya Thif kita bisa punya anak tuh. Kayaknya seru banget, ya kan?"

"Kamunya aja kurang jago," ledek Thifa, entahlah Thifa tidak tau masalah Arfen kali ini. Yang Thifa tau dan jelas, saat ini Arfen tidak dalam kondisi terbaiknya. Jadi,

Mengembalikan modnya seperti biasa udah jadi tugas ku.

Tanpa Thifa sadari, Arfen tersenyum miring. "Oh? Nantangin nih?"

"Enggak! Ampun, ampun, aku bercanda, ahaha."

***

Terpopuler

Comments

Nimranah AB

Nimranah AB

👍👍👍

2021-06-11

0

def.

def.

up

2020-12-06

4

Iis Aisyah

Iis Aisyah

good job cerita nya bagus banget,bikin ngakak terus.
kapan yah thifa hamil nya

2020-12-05

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!