"Selamat siang. Mas Nico nya ada ?"
Suci mendongak dari fokusnya mengetikan laporan di laptopnya. Ada seorang wanita cantik fashionable berdiri depan mejanya menatap ke arahnya. Sudah dipastikan apa yang dipakai dari ujung rambut sampai ujung kakinya adalah barang branded.
"Selamat siang mbak. Maaf, apa sudah ada janji sebelumnya ? tanya Suci dengan senyum ramah.
Wanita itu Winda, ia menatap seksama ke arah Suci. Ini pasti sekretarisnya Nico, hmm cantik juga dia, jangan sampai Nico terpikat padanya, aku sering mendengar ada kisah cinta boss dan sekretarisnya, ahh jangan sampai itu terjadi. Begitu yang berkecamuk di hatinya Winda
"Ah, kenalin dulu, aku Winda pacarnya Mas Nico." Winda mengulurkan tangannya dan Suci pun menjabatnya sambil menyebutkan nama dirinya.
"Katakan saja padanya, ada Winda!"
Suci mengangguk pelan. Ia pun memijit line telepon yang tersambung ke ruangan Nico. "Silakan mba Winda bisa langsung masuk..." ujar Suci setelah menyimpan kembali gagang telepon.
"Thank you." Winda segera berlalu yang diikuti tatatpan Suci sampai hilang di balik pintu.
"Hm. Jadi seperti itu seleranya Pak Nico," batin Suci.
Tak terasa waktunya istirahat tiba. Berbarengan dengan Suci berdiri dari kursinya, pintu ruangan Nico pun terbuka.
"Eh Suci, kami mau makan siang di luar dulu ya..." Winda berseru, sambil tangannya menggelayut di lengan Nico. Mereka berlalu melewati Suci yang sudah siap untuk ke kantin.
"Kenapa juga harus lapor sih. Terserahlah...," gerutu Suci dalam hatinya.
Suci melangkah dengan tergesa melewati meja Bayu cs. Wajahnya tampak masam, ia berjalan lurus tanpa menyapa teman-temannya yang juga sudah bersiap untuk ke kantin.
"Woi tunggu, barengan dong..." Dina menarik lengan Suci yang akan masuk dalam lift, diikuti Rere dan yang lainnya. Mereka bersamaan masuk ke dalam lift yang kosong itu. "Suci, tadi cewek siapa sih. Gayanya lenggak lenggok kayak di catwalk," Rere yang kepo dari tadi akhirnya bersuara.
"Pacarnya Pak Nico." jawab Suci singkat.
"Ah kamu salah kali Ci," Rere merasa tak percaya. Dina pun berkata demikian.
"Tadi orangnya sendiri yang bilang kok. Namanya Winda." sahut Suci kembali menegaskan.
"Kalau gue nggak sanggup deh punya bini model gitu. Gaji gue nggak akan cukup buat beli tasnya juga. Butuh nabung enam bulan biar bisa kebeli." seloroh Rinto yang dari tadi ikut menyimak, hingga menimbulkan gelak tawa membahana.
Suasana kantin sudah ramai dengan para karyawan yang mengantri memilih menu makan ala prasmanan. Ada Salma yang berteriak memanggil namanya, dari meja yang berada dipojokkan. Rupanya Salma sudah menyiapkan kursi kosong di mejanya untuk tiga orang. Hingga Suci dan teman perempuannya tak perlu repot nyari tempat duduk yang hampir penuh.
"Salma, Bang Candra makan dimana ? Kok aku nggak lihat..." Suci duduk di kursi samping Salma, mulai menyantap nasinya.
"Pak Candra sedang kunjungan ke pabrik Bekasi. Mengecek langsung persiapan ekspor sudah sampai tahap apa. Meskpun sudah ada laporan tulisan, tapi kakakmu itu selalu teliti, ingin meyakinkan dengan melihat langsung." jelas Salma.
"Sebentar-sebentar, ini maksudnyai kamu adiknya Pak Candra ?" Dina menghentikan suapannya menatap Suci, yang dibalas dengan anggukan.
"Oalah, pantesan sama hidungnya pada runcing. Satu turunan toh ternyata..." sahut Dina terkekeh sama halnya dengan Rere yang nggak menyangka. "Harusnya nanti menikhnya sama yang berhidung minimalis, biar perbaikan keturunan..." candaan Rere membuat semuanya tertawa.
****
Berkas yang menumpuk di meja Suci tak membuatnya mengeluh. Ia menikmati perkejaannya itu dengan diiringi lgu-lagu Beautiful Romantic Saxophone yang ia download dari youcube. Selain sebagai teman sepi, alunan musik instrumen saxophone membuatnya tetap fokus dan rileks selama bekerja.
"Alhamdulillah," ucap Suci bernafas lega karena semua lembar dokumen ekspor sudah selesai. Ia menuju ruangan Nico untuk meminta tanda tangan.
Suci dan Nico duduk di sofa dengan lembaran kertas yang terurai di tengah-tengah mereka. Nico nampak mempelajari lembar demi lembar isi dokumen itu dengan teliti..
"Aku permisi pulang duluan Pak Nico." Suci melirik jam di tangannya, sudah pas jamnya bubar kantor. Dokumen pun sudah selesai ditandatangani Nico.
"Kamu pulang bareng Candra ?"
"Nggak Pak. Abang sedang ke pabrik, pulangnya langsung dari sana. Aku pakai taksi onlen saja..."
"Aku akan anterin kamu pulang. Tunggu 30 menit lagi pekerjaanku beres." Nico menahan Suci untuk tidak keluar dari ruangannya. Pekerjaannya belum selesai karena waktunya terganggu kedatangan Winda.
"Maaf Pak Nico, aku pulang sendiri aja," entahlah, Suci merasa hatinya kesal saat ini. Ia enggan berlama-lama dekat dengan Nico setelah kedatangan Winda tadi. Ia segera berlalu keluar ruangan, tapi satu tangannya digenggam Nico, yang berusaha menahannya.
"Please Suci, tunggu sebentar lagi ya. Aku ingin anterin kamu pulang!" intonasi rendah dan pandangan Nico yang lembut, membuat Suci luluh lalu mengangguk lemah.
"Baiklah. Aku mau sholat Ashar dulu kalau gitu."
"Disini aja sholatnya, ada kamar kok disini..." tawar Nico menunjukkan dengan dagunya ke arah kamar.
"Tidak ah, mau ke musholla aja," tolak Suci. Ia tentunya merasa risih harus masuk kamar Nico, karena di ruangan hanya ada mereka berdua.
"Kalau gitu, sini dompetmu!"
"Untuk apa?" Suci mengernyit heran.
"Untuk jaminan agar kamu tidak kabur..." Nico menaikkan dua alisnya. Tangannya mengulur ke depan Suci untuk meminta dompetnya. Suci hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menyerahkan dompetnya.
****
Nico melirik Suci yang hanya diam saja dengan muka datar sejak mobil melaju meninggalkan kantor. Seperti biasanya, jalanan sore ibukota selalu padat dengan kendaraan yang didominasi mereka yang pulang bekerja. Hujan tiba-tiba turun dengan deras, semakin membuat laju mobil melambat karena desakan motor-motor yang ingin mendahului kendaraan roda empat di depannya.
"Ehmm." Nico mencoba mengalihkan perhatian Suci yang hanya memandang jendela samping.
"Kamu sakit?" Nico menoleh sebentar ke arah Suci yang kemudian mengalihkan pandangannya ke depan.
"Eh nggak kok. Emang kelihatan seperti orang sakit ya?" Suci malah balik bertanya. Nico hanya tersenyum, pertanyaannya mampu membuka jalan percakapan.
"Soalnya dari tadi diam aja dan mukanya agak murung gitu, kirain sakit.."
"Kalau sekarang kelihatannya bagaimana?" Suci memiringkan badannya ke arah Nico yang sedang menyetir. Ia melebarkan senyum yang menampakkan deretan gigi putihnya.
Nico menghentikan laju mobilnya karena lampu lalu lintas menyala merah. Ia menatap Suci yang memintanya memberi penilaian. "Nah begitu seharusnya, kan enak dilihatnya juga. Level cantiknya makin naik." Pujian Nico membuat Suci tak mampu menyembunyikan rona merah pipinya. Dan sepanjang jalan, obrolan ringan pun mengalir begitu saja.
Hujan sudah mulai reda, hanya tersisa gerimis-gerimis kecil yang menyejukkan udara sore ibukota yang selalu panas setiap harinya. "Alhamdulillah, sudah sampai. Makasih untuk tumpangannya," Suci membuka sabuk pengamannya, tersenyum sebagai tanda terima kasihnya.
"Nggak disuruh masuk dulu nih..." tanya Nico sambil menatap Suci yang sudah membuka pintu mobil.
"Maaf Pak Nico, sepertinya Abang belum pulang. Aku nggak bisa mengajak Pak Nico untuk mampir ke rumah."
"He he he, becanda kok. Selamat istirahat ya..."
Suci hanya mengangguk. "Hati-hati di jalan ya pak Nico. Assalamualaikum..." Suci membungkukkan badannya dari luar jendela, berucap salam dan melambaikan tangan.
"Waalaikumsalam." jawab Nico pelan.
Bukan hanya bumi yang basah
dan memberi sejuk karena hujan
Hati inipun sama menjadi basah
Karena hujan mengantarkanku pada senyum manisnya yang mempesona
----------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
bunda
author dah pandai berpuitis dehh
2023-09-10
0
Ersa
eeeaaa💃💃
2022-11-10
0
Jumiati
eeeaaaaa😂😂
2022-07-01
1