*Masnaini Muslimah Rekayasa*
“Sepertinya gak adil deh, Lus. Kalau main keroyokan, buat apa kamu jadi ketua geng? Kalau begini kan curang namanya,” kata Masnaini.
“Hei! Kalau saya mau jadi orang yang jujur, adil, baik hati, mendingan saya jadi anak mami saja yang setiap hari nyusu sama sapi. Percuma saya jadi ketua geng kalau urusan ngabisin anak baru saja mesti saya yang kerja!” kata Lucy.
“Lucy!”
Tiba-tiba seorang siswa memanggil dari luar lingkaran pengepungan. Siswa berwajah Papua berambut keriting halus, melangkah mendekat ke pengepungan. Ia bernama Lukas Omere. Bersamanya ada dua siswa dan tiga siswi lain. Mereka berenam adalah siswa dari kelas 12E, anak buah Oji Purnama. Mereka baru saja mendapat pesan perintah dari Oji untuk mencegah pengeroyokan itu.
“Kasih dia pergi. Kalau tidak, kamu akan berurusan dengan anak 12E!” kata Lukas mengancam.
“Oji dan anak 12E jangan ikut campur! Saya berani mati tarung sama anak-anak Geng Kramat, asal perempuan aneh ini saya hancurin dulu!” hardik Lucy kepada Lukas.
“Kalau begitu, kita ribut punya urusan sekarang!” teriak Lukas.
“Lukas! Sekali lagi saya bilang, jangan ikut campur!” teriak Lucy tidak kalah keras.
“Perhatian!” seru Masnaini agak keras, meminta agar Lukas dan Lucy fokus kepada perkataannya. Lalu kata Masnaini, “Anak buah Oji saya minta tidak ikut bantu saya, kecuali jika saya sudah tidak bisa berdiri lagi, kalian boleh gotong saya pergi. Tapi, saya juga mau pegang omongan Lucy yang tadi, kalian semua jadi saksi. Pertama, kalau saya bisa keluar dari sini dengan sehat wal afiat, Lucy harus berhenti jadi ketua geng dan saya yang menggantikannya. Bagaimana, Lucy?”
Mendengar tantangan Masnaini yang tampaknya serius, mendeliklah Lucy dan teman-temannya. Sebelumnya sangat jelas ia telah sesumbar sejak awal. Pikirnya, jelas tidak ada pilihan lain.
“Setuju!” jawab Lucy lantang.
“Dengar, kalian semua jadi saksi ijab kabul ini!” seru Masnaini yang kini tidak memiliki senyum di bibirnya.
“Ya, kita semua jadi saksi!” teriak Lukas menegaskan.
“Kedua!” lanjut Masnaini. “Kalau saya bisa masuk sekolah besok pagi seperti biasa menyebarkan salam dan membungkuk hormat, Lucy harus bayar upeti kepada saya setiap hari. Bagaimana, Lucy?”
“Setuju!” jawab Lucy cepat dan lantang.
“Lukas, tolong mundur!” kata Masnaini kepada para pelindungnya.
Lukas pun patuh. Ia mundur bersama teman-temannya, agak jauh dari pengepungan.
Set! Tak! Dug!
Alangkah terkejutnya Lucy dan teman-temannya serta yang menonton. Tanpa isyarat atau aba-aba terlebih dulu, tiba-tiba tubuh Masnaini melesat dengan dua langkah panjang yang cepat.
Tahu-tahu, posisi tubuh Masnaini telah berdiri rapat di sisi kiri Lucy yang sebenarnya belum siap menerima serangan. Dengan gerakan yang lembut tapi cepat, kaki kanan Masnaini mengait kaki kiri Lucy, memaksa Lucy jatuh terlutut satu kaki. Saat yang bersamaan, telapak tangan kanan Masnaini ditempelkan menutupi wajah Lucy. Bukan hanya menempel, tapi juga mencengkeram kuat, membuat gadis cantik itu kelabakan.
Dakdak!
Sebelum Lucy bereaksi melakukan perlawanan, sisi telapak tangan kiri Masnaini telah menghajar tengkuk Lucy dua kali. Pukulan yang keras. Seketika pandangan Lucy gelap seiring rasa sakit yang melanda leher dan kepalanya.
Krek!
“Akk!” Lucy memekik tinggi. Di saat gelap pandangannya, pergelangan kaki kirinya yang rata dengan lantai diinjak keras oleh Masnaini, hingga-hingga terdengar jelas tulang kaki Lucy berbunyi.
Setelah itu, Masnaini melepaskan kepala Lucy dan membiarkannya tumbang di lantai menggeliat kesakitan sambil pegangi pergelangan kaki kirinya.
“Serang!” teriak Anri selaku orang terdekat dengan Lucy, memberi komando kepada teman-temannya.
Serentak seluruh anak buah Lucy yang mengepung bergerak meyerang dengan cara dan kesempatan yang berbeda tipis.
Mendapat serangan serentak, Masnaini tidak bergerak mundur, ia justru menyambut dengan memilih sasaran serang.
Sementara itu, di lapangan upacara, Marlina dan Sinta bersama tim paskibra sekolah sedang berlatih baris-berbaris. Mereka berlatih hanya menggunakan seragam sekolah biasa.
Marlina selaku Ketua Paskibra SMA Gemas, hanya memberi komando tanpa ikut berbaris, karena luka yang dideritanya.
“Langkah tegak majuuu, jalan!” teriak Marlina lantang memberi aba-aba.
Drap drap drap!
Barisan yang tertata rapi itu berjalan dengan tegak dan rapi. Langkah kaki dan ayunan tangan bergerak kompak dengan porsi yang terukur. Dada mereka membusung gagah dengan wajah tegak lurus dan pandangan mata lurus ke depan. Saat itu, dua barisan pria di sebelah kanan dan dua barisan siswi di sebelah kiri. Semuanya memakai sepatu dan kaos kaki yang sama warna.
“Berhentiii, grak!” teriak Marlina singkat dan cepat, padahal barisan baru berjalan beberapa langkah saja.
Sebagian pasukan pun menengok kepada Marlina, bertanya dengan pandangan mata.
Ternyata yang membuat Marlina menghentikan barisan secara mendadak adalah karena ia melihat Ronin dan Oji sedang berlari bersama menuju pintu utama gedung sekolah.
“Oji!” teriak Marlina kencang memanggil Oji Purnama.
Panggilan itu seketika membuat Oji dan Ronin berpaling kepada Marlina. Kedua pemuda itu berhenti. Marlina berlari kecil dengan terpincang mendatangi Oji dan Ronin. Sinta yang ada di barisan wanita segera berlari menyusul Marlina.
Melihat Marlina berlari agak pincang, Oji memutuskan berlari menyongsong, diikuti oleh Ronin.
“Kalian berdua mau ke mana?” tanya Marlina, tapi lebih memandang kepada Oji, meski dalam hati ia memilih bertanya kepada Ronin.
“Kita mau ke kelas karate. Masnaini sedang dikeroyok Lucy geng di sana!” jawab Ronin.
“Siapa yang beri tahu?” tanya Marlina lagi.
“Anak buah saya di kelas karate,” jawab Oji.
“Saya dikabari oleh Virna,” jawab Ronin pula.
Marlina segera mengelurkan ponsel dari saku roknya. Setelah dibuka, ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari Virna. Pesan Virna berisi pemberitahuan tentang pengeroyokan terhadap Masnaini.
“Sinta, ikut mereka segera ke sana, saya menyusul!” perintah Marlina kepada Sinta.
“Tapi, saya tidak boleh meninggalkan kamu, Mar!” bantah Sinta.
“Saya bukan anak bayi!” sentak Marlina kepada Sinta. “Cepat! Keburu babak belur Masnaini!”
“Baik,” kata Sinta tak bisa membantah lagi. Lalu katanya kepada Oji, “Ayo, Ji!”
Sinta dan Oji pun segera berlari pergi. Ronin ikut berbalik pergi, tapi tiba-tiba ia berhenti. Sinta dan Oji tidak mengindahkan, keduanya terus berlari menuju pintu utama gedung.
Ronin berbalik kembali menghampiri Marlina, membuat gadis cantik itu memandang heran.
“Ayo, saya temani!” kata Ronin seraya tersenyum ikhlas, senyum yang selalu ditunggu oleh Marlina.
“Gak perlu menyertai saya, Ron. Saya kan bisa jalan sendiri,” kata Marlina mencoba menunjukkan bahwa ia tidak berharap ditemani, terlebih dari seorang Ronin, siswa yang memang menjadi sorot perhatian hati banyak siswi.
“Ah, apalah kata dunia, jika seorang Ronin yang ganteng ini meninggalkan seorang Marlina yang cantik berjalan sendirian tanpa pendamping?” kata Ronin.
“Gombal banget,” rutuk Marlina tapi tersenyum kecil agak malu.
Marlina lalu beralih memandang ke teman-temannya. Ia berteriak, “Rudi! Pimpin latihan!”
“Siap!” pekik seorang siswa sambil meletakkan tangan kanannya di dahi memberi hormat.
Marlina lalu berbalik berjalan pergi bersama Ronin. Marlina berlari kecil, tapi Ronin menegurnya.
“Jangan berlari, nanti kakimu tambah bengkak!”
“Bukankah kamu tadi mau buru-buru sampai ke kelas karate?” tanya Marlina menyindir sambil berhenti berlari dan memilih berjalan biasa.
“Iya, tapi di tengah jalan ada yang lebih prioritas,” kilah Ronin seraya tertawa kecil.
“Cepat sekali berubah perasaan,” nilai Marlina.
“Kamu sendiri yang dulu mengatakan bahwa saya adalah pemuda yang gampang berubah arah terhadap cewek cantik,” kata Ronin. “Saya mau punya tempat di setiap hati gadis cantik di Gemas ini.”
“Playboy usang,” maki Marlina pelan. “Lalu membiarkan mereka saling bunuh hanya demi mendapatkan secuil cintamu? Betapa murahnya hati seorang wanita seperti itu.”
Ronin tidak marah, tapi justru tertawa ringan.
“Dengan begitu saya bisa tahu, siapa wanita cantik yang punya harga mahal. Barulah nanti saya membelinya, hahaha! Saya tidak akan membeli murah hati seorang Marlina jika dia memang mau dibeli mahal olehku.”
Marlina berhenti melangkah lalu melirik menatap tajam kepada Ronin. Pemuda itu dengan senyum di bibir terus berjalan mendahului Marlina. Marlina segera menyusul dan berjalan di sampingnya. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Bagus Effendik
hadir
2021-01-05
0
ARSY ALFAZZA
ya memang tidak adil sih main keroyok an ..
astaga.. Lucy tega banget bilang gitu ya😳
aduh ribut baku hantam✌️😱😱
2020-12-29
1
ᥴꪖꫝ
semangat upp
2020-12-06
1