"Buat semester ini, kalian sudah siapkan jadwal belajar yang padat?” tanya Marlina seraya duduk santai bersandar, jari tangannya dan matanya tetap sibuk di ponsel mahalnya yang berwarna ungu muda.
“Sudah,” jawab Sinta singkat, ia duduk di sisi kiri gadis cantik berambut ikal sebahu lebih itu, tapi ditata rapi oleh jepit rambut yang berwarna ungu muda mengkilap.
Sinta yang juga cantik dari sisi paras, memandang ke kursi depan samping Bu Rista, sopir wanita yang mengemudikan mobil. Di sisi Bu Rista duduk seorang pemuda seusia Marlina dan Sinta, namanya Rendy. Pemuda berwajah tegas dengan tulang rahang yang menonjol kokoh itu memiliki kulit cokelat sawo matang. Ia mengenakan kaos merah terang yang agak ketat, sedikit menunjukkan lekukan dan tonjolan otot tubuh dan lengannya yang terbentuk bagus.
“Ren, ditanya Marlina!” kata Sinta agak keras kepada pemuda di depan.
“Ah?” sahut Rendy seraya setengah berpaling ke belakang, seolah tidak medengar apa yang tadi Marlina tanyakan.
“Untuk semester ini, sudah siap jadwal belajar yang padat?” tanya Sinta dengan wajah terkesan kesal tapi nada terkesan sabar.
“Ada yang belum siap,” jawab Rendy sambil kembali memandang lurus ke jalan raya.
“Apa?” tanya Sinta.
“Belum siap menembak hatimu, Sin. Hahaha!” jawab Rendy lalu tertawa setengah terbahak.
Gombalan Rendy itu membuat Bu Rista yang fokus di kemudi turut tertawa kencang. Marlina hanya tersenyum. Sementara Sinta mengerenyit kesal, tapi setengah tersenyum agak malu.
“Kenapa belum siap?” tanya Marlina menanggapi.
“Gak tega,” jawab Rendy singkat tapi mengambang.
Marlina yang sangat kenal karakter Sinta dan Rendy itu memutuskan untuk meyempurnakan gombalan Rendy kepada Sinta. Karenanya ia bertanya lagi, “Gak tega kenapa?”
“Gak tega kalau hati Sinta bolong kena tembakan saya. Hahaha!”
Kali ini tawa Rendy kian diriuhkan oleh tawa Bu Rista dan Marlina yang lebih keras dari sebelumnya. Marlina kian tertawa memandang reaksi Sinta yang hanya merengut memandangi Rendy yang tertawa puas.
“Sekali lagi gombalin saya, saya tantangin benaran, berani?” kata Sinta kepada Rendy dengan wajah masih merengut, tapi manis.
“Siapa takut? Dengan syarat!” kata Rendy tanpa berpaling memandang kepada Sinta.
Marlina dan Bu Rista hanya senyum-senyum menyaksikan perseteruan lanjutan antara Rendy dan Sinta.
Sejak Rendy dan Sinta digabungkan dalam tugas mengawal Marlina, pertengkaran-pertengkaran kecil kerap terjadi di antara mereka, tapi tidak sampai ke tahap serius. Karakter Sinta sebagai gadis yang tidak suka bercanda dan selalu serius, justru membuat Rendy yang suka berkelakar kian suka menggodanya.
“Apa syaratnya?” tanya Sinta serius.
“Jangan sampai ketahuan Bos Jenderal.”
“Saya tidak akan memberi tahu Bos Jenderal, tapi saya harus izin dulu kepada Mely,” kata Sinta.
Disebutnya nama “Mely” membuat Rendy mendelik, lalu cepat ia berbalik kepada Sinta.
“Apa-apaan bawa-bawa Mely segala?!” tanya Rendy sedikit sewot.
Reaksi Rendy itu membuat Sinta merasa menang, karenanya ia tersenyum sinis kepada Rendy. Hal itu membuat Marlina tertawa.
“Iya dong, harus seizin Melisa. Kalau tanpa izin dia, lalu dia tahu, saya bisa dicap perampok cinta,” kilah Sinta.
“Gak jadi, batal!” tandas Rendy.
“Mely itu siapa, Ren?” tanya Bu Rista, wanita berusia 35 tahun itu jadi penasaran dengan nama yang membuat Rendy takut ketahuan menjalin cinta dengan seorang gadis.
“Wanita salehah di sekolah yang bulat cantik semanis bakpao lapis cream susu. Dia seleranya yang gemuk makmur,” jawab Sinta.
Bu Rista tertawa kecil. Rendy hanya diam, tidak berkomentar lagi. Ia rela kalah. Ia tidak mau membawa-bawa nama Mely, gadis sekelasnya yang duduk di depan meja guru.
“Mobil Norel ada di belakang, Bu?” tanya Marlina.
“Ada di belakang kita, Neng,” jawab Bu Rista.
Sinta menengok ke belakang untuk memastikan keberadaan mobil Uno Morel, adik angkat Marlina yang biasa mereka panggil dengan nama “Norel”. Sebuah sedan sport berwarna biru bergaris hitam melaju tepat di belakang sedan hitam mewah yang dikemudikan oleh Bu Rista.
“Norel mau keluarin lagu barunya, ya?” tanya Sinta.
“Iya,” jawab Marlina.
“Apa judulnya?” tanya Sinta lagi.
“Kenangan Sapu Tangan Putih,” jawab Marlina lagi, tanpa beralih dari kesibukannya di ponselnya.
“Wah, sepertinya saya banget itu,” celetuk Rendy. “Nanti saya mau jadi orang pertama yang minta tanda tangan di album barunya.”
“Suara kamu juga lumayan merdu loh, Mar, kenapa gak sekalian buat duo sama Norel?” tanya Sinta.
“Terus saya tampil di panggung kemudian goyang sana, goyang sini. Bernyanyi pura-pura sedih, lalu pura-pura senyum. Apa hebatnya jadi artis? Kebahagiaan seolah hanya diukur dari sambutan penggemar dan dari mata penonton,” ujar Marlina.
“Awas, Bu!” teriak Rendy tiba-tiba memperingatkan Bu Rista.
Ciit!
Dengan sigap Bu Rista injak rem, sampai-sampai terdengar decitan ban menggesek aspal dengan keras. Marlina dan Sinta yang tidak bersabuk pengaman jadi tersorong tajam ke depan, tapi keduanya cepat menahan dengan tangan agar tidak tersungkur ke depan.
Mobil sport yang melaju kencang di belakangnya pun turut mengerem mendadak, hingga-hingga jarak kedua mobil tinggal dua jengkal.
Teeet!
Bu Rista spontan tekan klakson panjang untuk sebuah motor yang tiba-tiba mogok di depan laju mobil mereka.
Tampak beberapa meter di depan, sebuah sepeda motor bebek berhenti mendadak. Klakson Bu Rista membuat pengendara motor tersenyum mengaku salah sambil angkat satu lengannya sebagai tanda permintaan maaf. Selanjutnya, pria berkumis pengendara motor itu mencoba menyela engkol motornya yang memang sudah terlihat cukup tua.
Bu Rista yang ingin marah, tidak bisa marah, karena itu bukan kesalahan pengendara, tapi kesalahan kendaraannya. Mau tidak mau mereka harus menunggu sejenak, termasuk mobil Norel.
Setelah motornya kembali menyala, pengendara motor itu kembali lambaikan tangan kepada Bu Rista, lalu melaju pergi.
“Yaaa, lampunya merah,” keluh Rendy.
Kejadian itu memang terjadi beberapa ratus meter dari lampu merah besar. Saat mobil mereka kembali berjalan, lampu yang menyala hijau berganti ke merah. Mereka pun harus menunggu dari awal hingga akhir.
Seiring merahnya lampu, sekelompok bocah jalanan bergerak menyebar untuk mengamen. Dua bocah perempuan berwajah dekil, bahkan seorangnya beringus, berdiri tepat di sisi mobil Marlina. Keduanya bernyanyi cuek menghadap ke dalam mobil, sementara pandangannya beredar ke sana dan ke sini tidak menentu, karena pada nyatanya mereka tidak bisa melihat tembus ke dalam mobil. Keduanya bernyanyi bersama, yang satu bertepuk tangan, yang lain memetik gitar mainan dari plastik.
“Kasihan, anak-anak dipekerjakan seperti ini di jalan raya yang panas,” ucap Sinta.
“Itu urusan pemerintah,” kata Rendy menanggapi. “Karena ada oknum-oknum petugas negara yang mengambil dari praktik bisnis jalanan ini dengan memanfaatkan kekuasaannya.”
Meski Rendy dan Sinta prihatin terhadap nasib anak-anak jalanan yang mereka yakini dipekerjakan oleh para orang dewasa, tapi satu pun dari mereka tidak ada yang berinisiatif membuka kaca jendela untuk memberikan sereceh uang.
Merasa tidak ada reaksi dari dalam mobil terhadap nyanyian mereka, kedua bocah itu terus bernyanyi tanpa menunjukkan wajah kecewa. Mereka kemudian bergeser ke depan di sisi beberapa sepeda motor yang turut menunggu lampu berubah hijau.
“Di lampu merah ini banyak juga anak-anaknya,” kata Sinta sambil melihat ke beberapa titik, terutama di sekitar kolong jalan tol.
Selanjutnya mereka hanya diam sambil memperhatikan lalu-lintas di area lampu merah itu.
“Kenapa anak-anak itu?” tanya Rendy tiba-tiba yang tak seorang pun menjawab, kecuali turut melihat apa yang dilihat oleh Rendy.
Anak-anak jalanan yang tadi menyebar di beberapa titik untuk mengamen atau mengemis, tiba-tiba bergerak bubar dari aktivitas utamanya. Terlihat lebih dari sepuluh anak-anak bergerak dan berlarian menuju ke satu titik di bawah jalan tol.
Hal yang pertama terlintas dalam benak Marlina, Sinta, Rendy dan Bu Rista adalah munculnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang akan menjaring mereka. Tapi, mereka tidak melihat satu pun anggota penertiban itu. Justru beberapa anak terlihat berlari dengan wajah senang.
Marlina dan yang lainnya tidak bisa melihat apa yang membuat anak-anak itu berlari ke satu tempat, karena pandangan mereka terhalang beton jalan tol.
Lampu di depan telah berganti hijau. Bu Rista perlahan menjalankan mobilnya. Seiring majunya mobil, pandangan Marlina, Sinta dan Rendy fokus ke samping mencoba melihat pusat penarik anak-anak jalanan itu.
Setelah mobil melaju, barulah mereka bisa melihat apa yang terjadi.
Di trotoar, di bawah jalan tol, berkumpul anak-anak jalanan mengerumuni seorang wanita berpakaian Muslimah berwarna kuning. Wanita yang masih sangat muda itu berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya ke atas yang memegang sapu tangan berwarna putih, seolah memanggil anak-anak yang belum datang kepadanya. Memang, beberapa anak ada yang berdiri di seberang menunggu arus berganti.
“Siapa perempuan cantik itu?” tanya Rendy kepada dirinya sendiri tapi diperdengarkan kepada tiga wanita yang bersamanya.
“Bisa saja dia ibu asuh anak jalanan di lampu merah ini,” terka Sinta.
“Tidak mungkin induk semang muncul terbuka seperti itu, apalagi gadis itu begitu terlihat salehah,” kata Rendy, curiga.
Setelah melintasi perempatan besar lampu merah itu, tiba-tiba Marlina memberi perintah kepada Bu Rista.
“Berhenti di sini, Bu!”
Bu Rista mendelik mendapat perintah itu, tapi segera memberi lampu sen tanda akan menepi.
“Kenapa berhenti di sini, Mar?” tanya Sinta.
Marlina tidak menjawab. Hal itu membuat tidak mungkin bagi Sinta untuk bertanya dua kali, kecuali hanya menuruti kemauan Marlina.
Setelah mobil berhenti, Marlina segera membuka pintu mobil. Rendy dan Sinta segera bergerak turun. Rendy bertindak sigap segera mendampingi Marlina layaknya seorang bodyguard.
Mobil sport biru bergerak melambat di depan mereka. Seorang pemuda yang mengemudikan mobil itu, memandang kepada Marlina dengan wajah bertanya. Marlina hanya memberi tanda agar pemuda yang bernama Uno Morel alias Norel itu melanjutkan perjalanannya. Norel pun terus berlalu meninggalkan kakaknya.
Marlina bermaksud menyeberang ke arah kolong jalan tol. Rendy bertindak sebagai pengawal yang memberi tanda kepada mobil dan motor bahwa mereka sedang menyeberang, sehingga Marlina bisa menyeberang dengan nyaman. Sementara Sinta lekat mendampingi dengan langkah yang tegap.
Setibanya di trotoar lampu merah di kolong jalan tol, Marlina berhenti. Ia hanya berdiri memandang ke seberang sana. Begitu pun dengan Sinta dan Rendy.
Di seberang sana, gadis berjilbab yang tadi melambai-lambaikan sapu tangan putih sedang sibuk membagikan bingkisan-bingkisan kepada anak-anak yang terlihat tertib menerima hadiah tanpa berebut.
Gadis itu cantik dengan wajah yang putih bersih. Senyum cerianya kepada anak-anak membuat lesung pipinya terlihat jelas, meski dari kejauhan. Bersamanya ada seorang lelaki agak kurus berusia 40-an tahun yang membantunya membagikan bingkisan ke anak-anak.
Marlina diam memandang ke seberang. Pandangannya harus menembus lintasan-lintasan kendaraan yang melaju kencang selepas lampu menyala hijau.
Setelah agak lama melihat jelas wajah dan perbuatan gadis berbusana Muslimah seusianya itu, Marlina lalu berbalik pergi tanpa bicara sepatah kata pun. Sinta dan Rendy segera mengawal untuk kembali ke mobil.
“Kenapa, Mar?” tanya Sinta setelah mereka semua kembali berada di dalam mobil dan Bu Rista mulai menginjak gas untuk melanjutkan perjalanan menyusul Norel yang sudah mendahului.
“Saya hanya penasaran,” kata Marlina singkat, lalu kembali mengaktifkan ponsel pintarnya.
“Saya juga heran,” kata Rendy pula lalu turut diam pula.
Sinta tidak berkomentar lagi. Ia pun diam. (RH)
**********
Bagi yang suka dengan cerita Om Rudi, tolong bantu dengan rate, like, komentar, favorit, dan vote 😁🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
delete account
aduhh malah jadi pendiam gimana mau jujur dong 🤔
2024-05-15
1
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
suka om
2023-10-20
0
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
deskripsi semacam ini loh yg bikin aku suka banget tulisan om 😊
2023-10-20
0