Dua mobil sedan hitam mewah berhenti di depan gerbang utama SMA Generasi Emas. Serentak satu pintu mobil yang depan dan tiga pintu mobil yang di belakang membuka. Empat lelaki gagah dengan pakaian rapi berjas hitam dan bercelana hitam turun serentak dari mobil. Mereka memakai dasi. Dua di antaranya mengenakan kacamata hitam. Meski mereka berpakaian resmi seperti orang kantoran, tapi pakaian itu tidak bisa menutupi perawakan tubuh mereka yang berisi penuh otot besar. Satu lubang telinga mereka dipasang alat komunikasi canggih. Mereka terlihat layaknya pengawal tingkat VVIP.
Pria yang tadi keluar sendiri dari mobil di depan berlari kecil memutari separuh mobil untuk membuka pintu lain mobil itu.
Maka turunlah sepasang kaki bersepatu cokelat mengkilat bercorak kulit ular. Celana panjang berwarna putih bersih dan berjas putih yang berbahan tebal dengan dua kantong di dada. Di atas posisi kedua kantong tersemat beberapa jenis pin bagus berkilau. Di saku kanan bahkan ada semacam medali kecil berbahan emas yang menggantung. Jas berbahan mahal itu memiliki pangkat di kedua bahunya. Di sana tersemat masing-masing empat bintang berwana merah berkilau, seolah terbuat dari besi merah.
Pria berpakaian seperti seragam perwira itu adalah seorang tua dengan usia sudah 61 tahun. Ia memelihara jenggot lebat tapi pendek berwarna uban, tanpa memelihara kumis. Sepasang alis tebalnya berwarna putih, tapi tidak mengurangi sorot mata tuanya yang tajam. Kepalanya memakai baret berwarna putih yang memiliki lencana kepala harimau emas di sisi kirinya. Ia membawa sebuah tongkat besi berwarna putih pula. Terlihat dua cincin bagus menghiasi jari tua kanannya. Ia adalah Jenderal (purn.) Bagas Danuarta. Meski sudah pensiun dari kemiliteran, tapi tetap ia disebut “Jenderal”.
Seorang pengawal Jenderal Bagas segera mengurus izin masuk. Tidak sampai setengah menit, satpam pintu gerbang segera membuka pintu.
Meski Jenderal Bagas memakai tongkat dalam berjalan, tapi dari geraknya dalam menaiki tangga dan berjalan dengan cepat, seolah orang tua itu masih sehat bugar. Seorang berjalan di depan untuk memperlancar jalan, tiga pengawal lain berjalan di belakang Jenderal Bagas.
“Apa?! Jenderal Bagas sudah masuk?!” kejut Kepala Sekolah Norman Milan terkejut ketika mendapat telepon pemberitahuan dari pos satpam di gerbang sekolah.
Pak Norman segera bangkit setelah meletakkan gagang teleponnya di meja. Dengan telepon selulernya, Pak Norman segera menelepon.
“Bu Risma, tolong segera temui saya di bawah, Jenderal Bagas sedang memasuki gedung sekolah!” kata Norman kepada wakilnya sambil berjalan keluar dari kantornya.
Sementara itu, di ruang kelas 12A yang sudah kembali bersih dan harum, terjadi kehebohan setelah Afghan berlari masuk ke kelas sambil berteriak-teriak.
“Jaguar! Jaguar!” panggil Afghan sambil berlari kecil mendatangi Ronin yang memiliki julukan Jaguar.
Ronin yang sedang diskusi dengan Andy Wei yang beretnis Tionghoa, seketika berpaling memandang kepada Afghan yang datang dengan senyum di bibir. Demikian pula sebagian siswa yang terusik dengan kebisingan Afghan.
“Kenapa? Ada ular?” tanya Ronin dengan pandangan serius.
“Anak baru, Bro!” jawab Afghan.
Kebisingan Afghan ternyata diperhatikan pula oleh Marlina dan Sinta. Sebenarnya yang Marlina perhatikan adalah lebih kepada Ronin.
“Apa hubungannya sama saya?” tanya Ronin sedikit sewot.
“Sebab cowok yang pertama dia kenal di sekolah ini adalah kamu,” kata Afghan sambil tertawa. “Coba kamu lihat tuh!”
Afghan menunjuk ke pintu depan.
Ronin dan Andy Wei, serta sebagian siswa, termasuk Marlina dan Sinta segera memandang ke pintu depan. Seiring pandangan mereka, pintu depan dibuka oleh seorang guru pria bertubuh agak pendek berpenampilan rapi dengan celana putih dan kemeja putih lengan panjang, plus dasi putih bergaris-garis hitam. Rambutnya yang agak bergelombang disisir rapi ke belakang. Pria berkumis itu memakai kacamata. Ia membawa tas hitam yang ia jinjing. Ia adalah Supoto, guru mata pelajaran matematika.
Bersama Supoto adalah seorang siswi cantik berjilbab yang tidak lain adalah Masnaini. Ia membawa tas ransel kuning dan memegang sehelain sapu tangan putih.
Melihat Masnaini masuk bersama guru matematika mereka, para murid pria terperangah, sebagian tersenyum dalam pandangan pertama. Ronin tertegun tanpa kedip memandang kedatangan Masnaini, siswi baru yang dijumpainya di tempat parkir motor.
“Kenapa jadi dia?” tanya Sinta berbisik kepada Marlina.
Marlina tidak menjawab, tapi ia sempat melirik melihat reaksi Ronin. Ia melihat Ronin telah tersenyum sendiri melihat kemunculan Masnaini.
“Aini!” teriak Mely girang sambil lambai-lambaikan tangan kepada Masnaini.
Masnaini hanya membalas dengan senyuman. Senyum itu ternyata langsung memanah hampir semua jantung siswa pria yang terus memandangi Masnaini. Senyum yang memunculkan lesung pipi begitu manis, menjadi panah tajam yang menembus mata para pria, terus berlanjut menusuk hati.
“Wah! Enggak kuat saya!” kata Tony merintih sambil menepuk kepala Udin yang duduk di depannya. “Aduh, lesung pipinya itu, Bro. Bisa-bisa enggak tidur malam ini saya!”
Udin yang berambut botak tipis hanya tertawa melihat tingkah Tony.
Kemunculan Masnaini juga ternyata membuat Anri dan Susan heboh. Ia langsung berbisik kepada Lucy yang sejak tadi memandang tajam kepada Masnaini.
“Dia yang tolong Mely di WC dan mau ngasih kita dua juta nanti pas makan siang!” kata Anri kepada Lucy, Ketua Geng LC Girls.
Laporan Anri itu membuat Lucy jadi naikkan alisnya.
“Assalamu ‘alaikum dan selamat pagi, anak-anak!” salam Pak Supoto memulai yang otomatis menertibkan para siswa. Ternyata guru bertubuh agak mungil itu memiliki suara yang lantang.
“Wa ‘alaikum salam dan selamat pagi, Pak!” jawab anak-anak serentak.
“Bapak tidak mau melihat ada telor yang dilempar. Karena ulah kalian yang keterlaluan, teman baru kalian yang pertama tidak mau ditempatkan di kelas ini, jadi dilakukan penyilangan. Masnaini....” Supoto menggerakkan tangannya menunjuk sopan kepada Masnaini yang berdiri di depan kelas mengahadap kepada murid-murid. “Yang awalnya ditempatkan di 12B, dipindahkan ke kelas ini.”
“Alhamdulillah!” ucap Afghan agak keras yang disusul oleh tawa riuh sebagian siswa.
Masnaini hanya tersenyum melihat Afghan yang sudah ia kenal di tempat parkir motor. Melihat kepada Afghan, berarti Masnaini otomatis melihat kepada Ronin, karena Ronin duduk di depan Afghan.
Melihat Masnaini memandang tepat kepadanya, Ronin segera angkat satu tangannya tanda isyarat menyapa tanpa kata. Masnaini membalas dengan gerakan yang serupa.
“Bapak tidak mau buang-buang waktu untuk basa-basi. Masnaini, silahkan perkenalkan nama dan sapa teman-teman barumu!” kata Supoto kepada Masnaini.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuhu!” ucap Masnaini lalu ia membungkuk seperti orang Jepang.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wa barakatuhu! Hahaha!” jawab para siswa bercampur tertawa, karena hormat ojigi Masnaini lucu bagi mereka.
Namun, Masnaini tidak pernah masalah bila ada orang yang tertawa karena adatnya dalam membungkuk.
“Nama saya Masnaini. Bisa dipanggil Aini atau Ain. Terima kasih!” kata Masnaini singkat.
“Baik. Aini, kamu dapat duduk dengan nyaman di kursi kosong di belakang sana!” kata Supoto.
“Baik, Pak,” jawab Masnaini.
Di baris belakang, memang ada sebuah bangku dan kursi yang kosong. Masnaini melangkah pergi sambil melalui Mely dan menjabat tangan sahabat sejilbabnya itu.
“Gak sangka bisa sekelas,” kata Mely sambil tertawa kecil, ia senang.
Masnaini pergi ke kursinya. Ia melalui Tony yang menghadang langkahnya dengan mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
“Maaf,” ucap Masnaini tersenyum sambil mempertemukan kedua telapak tangannya di depan dada, tidak mau menyentuh tangan Tony.
“Hahaha!” tawa para siswi kelas 12A itu meledak melihat Tony harus menerima kekecewaan.
“Bukan mahram, ei! Seperti api sama es, seperti malaikat sama setan. Dia malaikatnya, kamu setannya!” seru Afghan.
“Hahaha!”
Kembali tawa mereka meledak. Sementara Masnaini telah berlalu ke kursinya.
Sebelum duduk, Masnaini lebih dulu memperhatikan kursinya. Rupanya ia menaruh siaga sebagai seorang anak baru, apalagi ia telah mendengar nasib siswi baru lainnya di kelas itu. Di sisi lain, tampak Lucy dan beberapa teman gengnya diam-diam memandangi Masnaini yang terlihat ragu untuk duduk.
“Kenapa, Aini?” tanya Pak Supoto.
“Tidak, Pak,” kata Masnaini seraya tersenyum.
Masnaini lalu mengulurkan tangan kanannya ke bantalan kursi dan mencabut beberapa benda yang nyaris tidak terlihat jika tidak fokus melihatnya. Ternyata Masnaini mencabut beberapa batang jarum yang ditancapkan di bantalan kursi yang terbuat dari busa yang padat.
“Sial!” maki Lucy pelan sambil memandang teman-temannya saat tahu Masnaini menemukan beberapa batang jarum yang tertancap dalam di bantalan kursi. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
siswa baru yg sadar ranjau, 😅😅
2023-10-20
0
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
menghunjam jantung ku.. kek lagu dr. tompi
2023-10-20
0
Bagus Effendik
wah jendral ada jendral Bagas ya lain kali aku reques nama Bagus ding om biar jadi tokoh hehe
2021-01-05
1