*Masnaini Muslimah Rekayasa*
Greg!
“Selamat siang!”
Tiba-tiba pintu depan kelas dibuka oleh seorang pria berjas rapi dan berkacamata hitam. Pria itu adalah pengawal Jenderal Bagas. Satu pria lagi berdiri di luar.
Marlina dan Sinta langsung mengenali dua pengawal ayahnya.
“Selamat siang!” jawab Pak Supoto dengan wajah serius. Ia berdiri dan mendatangi tamu tidak diundang itu.
“Jenderal Bagas ingin menemui anaknya di ruang Kepala Sekolah, Pak,” kata pria berbadan besar itu.
Mendengar nama “Jenderal Bagas” disebut, Supoto langsung mengerti. Semua pendidik dan warga sekolah itu tahu siapa adanya Jenderal (Purn.) Bagas Danuarta.
Pak Supoto tidak bertanya lagi, ia hanya menengok ke arah Marlina yang sudah berjalan dengan agak terpincang. Sinta pun mengikuti. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Sinta adalah pengawal Marlina, bukan sekedar teman sekelas atau sahabat.
“Permisi, Pak,” pamit Marlina kepada gurunya yang kemudian hanya mengangguk.
Sementara di kantor Kepala Sekolah, Jenderal Bagas sedang marah-marah kepada Norman Milan dan wakilnya, Risma Tari. Ada pula Ferdy Faso, Kepala Bina Siswa.
“Anda tahu, Marlina itu anak semata wayang saya. Jangankan jiwanya terancam, terluka sedikit pun saya bisa menuntut sekolah ini, bahkan menghancurkannya ke titik paling nol!” kata Jenderal Bagas dengan nada suara tinggi dan mata mendelik-delik. “Pikiran orang kampung pun tahu, tidak mungkin beberapa ekor ular muncul di area sekolah yang jauh dari sawah jika tidak karena disengaja dengan maksud yang jahat. Dan jika ularnya tiba-tiba muncul di beberapa titik, itu berarti pelaku yang terlibat bukan hanya satu orang. Artinya ada tindak kriminal berkelompok yang terencana. Anda tahu, Norman? Dalam beberapa jam ke depan, para wartawan akan tiba di sini mempertanyakan kejadian ganjil itu. Dan jika sampai nama saya dan Marlina disebut media, maka sekolah dan yayasan harus bertanggung jawab. Pertanyaan saya, apa yang Anda sudah dapatkan untuk mengungkap siapa para pelaku insiden ini?”
Dengan wajah yang menunjukkan rasa bersalah, Norman berusaha menenangkan amarah sang jenderal.
“Kami pihak sekolah dan yayasan meminta maaf atas peristiwa buruk yang terjadi dan sampai melukai anak Jenderal. Sejauh ini, saya dan Pak Ferdy selaku Ketua Bina Siswa belum mendapatkan titik terang tentang para pelaku dan apa motif sesungguhnya. Namun, jika Jenderal mau memberi waktu, titik terang itu kemungkinan kuat bisa terungkap. Sebab belum lama ini, Profesor Saduya menelepon saya bahwa beliau memiliki orang yang berjanji akan mengungkap siapa siswa yang berani bermain ular itu. Sumber tersebut akan menelepon Profesor jika pelakunya sudah terkenali.”
“Tapi sampai kapan Anda baru akan mengungkap kasus ini?” tanya Jenderal tanpa menurunkan nada suaranya dari sebelumnya.
“Maaf, Jenderal, itu tidak bisa kami janjikan,” kata Norman seraya tersenyum kuda sebagai reaksi orang yang tersudutkan.
“Saya beri Anda waktu dua hari. Jika hingga Rabu pagi tidak ada titik terang dari sumber Profesor Saduya, saya yang akan bertindak. Dan saya tidak akan memikirkan untung dan rugi dari sekolah ini lagi!” ujar Jenderal Bagas.
Tok tok tok!
Pintu kantor diketuk dari luar. Dari jendela kaca bisa dilihat yang datang adalah pengawal Jenderal Bagas dan Marlina yang didampingi oleh Sinta.
Setelah mengetuk, pengawal membuka pintu sendiri lalu masuk.
Melihat putri cantiknya masuk dengan sedikit terpincang, Jenderal Bagas cepat menyongong.
“Bagaimana lukamu, Sayang?” tanya Jenderal Bagas berubah lembut kepada Marlina.
“Tidak apa-apa, Pa. Hanya pincang sedikit, besok pun akan sembuh,” jawab Marlina.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Sinta?!” tanya Jenderal Bagas membentak tiba-tiba, tapi kepada Sinta.
Sinta yang sudah siap mendapat murka majikannya menjawab dengan sikap siap sempurna layaknya seorang polwan.
“Saya bersalah dan mengaku lalai, Jenderal. Saya siap menerima hukuman!” jawab Sinta tegas dengan sikap siap sempurna dengan tatapan lurus ke depan, ke arah tembok ruangan.
“Laksanakan hukumanmu saat pulang nanti!” bentak Jenderal kepada Sinta.
“Siap!” jawab Sinta tegas.
“Pa, coba baca ini,” kata Marlina kepada ayahnya sambil memberikan ponselnya.
“Hm,” gumam Jenderal Bagas sambil melihat apa yang ada di layar ponsel Marlina.
Yang ditunjukkan oleh Marlina adalah seuntai pesan dari nomor tidak dikenal.
Jenderal Bagas tahu sandi Operasi Cuci Putih. Ular pagi ini adalah peringatan.
Jika tidak diserahkan sebelum purnama dipotong lima, kamu akan dieksekusi.
Demikian bunyi pesan yang ada di ponsel Marlina dari nomor tidak dikenal itu.
Setelah membaca pesan itu, Jenderal terdiam sejenak dengan wajah yang masih menunjukkan kemarahannya.
“Lacak pemilik nomor ini!” perintah Jenderal sambil memberikan ponsel Masnaini kepada seorang pengawalnya.
Si pengawal segera membuka ponselnya dan mengetik nomor tidak dikenal itu.
“Bagaimana luka itu bisa ada, Nak?” tanya Jenderal lembut kepada Marlina.
“Saat ular tiba-tiba muncul, saat kacau, saya hanya merasakan ada yang menusuk belakang kaki saya, Pa. Tapi benda yang menusuk tidak beracun,” jelas Marlina.
“Ini benar-benar tantangan serius,” desis Jenderal Bagas pelan dengan kening berkerut berpikir. Lalu katanya kepada Marlina, “Hari ini kamu pulang saja, Sayang.”
“Marlina tidak akan apa-apa kok, Pa. Marlina tidak mau tertinggal pelajaran,” kata Marlina.
“Baiklah,” kata Jenderal Bagas menyetujui. Lalu katanya kepada Sinta, “Sinta, jika terjadi hal berbahaya lagi, nasib kamu jadi taruhan.”
“Siap, Jenderal!” pekik Sinta, benar-benar tidak seperti seorang siswi.
Marlina mengambil kembali ponselnya dari pengawal.
Jenderal lalu beralih kembali kepada Kepala Sekolah.
“Ingat, Pak Norman! Dua hari waktu Anda. Jika ada kejadian berbahaya lainnya sebelum itu, saya tidak akan segan-segan!” ancam Jenderal Bagas.
“Baik, Jenderal,” kata Norman.
Tanpa pamit lagi, Jenderal Bagas melangkah ke pintu yang diikuti oleh para pengawalnya.
“Maaf, Pak,” ucap Marlina pelan kepada Kepala Sekolah, ada rasa tidak enak kepada pemimpin sekolah itu.
“Tidak apa-apa,” kata Norman seraya tersenyum kecil.
Melihat putrinya masih di dalam, Jenderal Bagas segera memanggil, “Marlina!”
“Ya, Pa!” sahut Marlina lalu buru-buru menyusul ayahnya dengan sedikit terpincang.
“Orang itu benar-benar mengancam keselamatan kamu, Nak. Sebaiknya kamu tidak sekolah dulu hingga pelakunya terbongkar dan ditangkap,” kata Jenderal Bagas membujuk lagi.
“Tidak, Pa. Papa tidak usah cemas. Marlina ini anak jenderal, lho,” kata Marlina sambil memegangi lengan kekar tua ayahnya. “Martabat Papa akan ambruk jika seluruh siswa di sekolah ini tahu, jika hanya karena serangan ular si anak jenderal takut ke sekolah lagi. Cukup Sinta yang mengawal saya. Saya yakin kok, Pa, Marlina tidak akan sampai menjadi seperti boneka tembak. Kejadian tadi pagi membuat saya lebih waspada.”
“Baiklah. Tapi, kamu bantu Papa pecahkan kata-kata ancaman dalam pesan dari pelaku itu. Apa maksud dari kalimat ‘purnama dipotong lima’?” kata Jenderal Bagas.
“Iya. Tapi, Pa, apa itu Operasi Cuci Putih?” tanya Marlina.
“Nanti di rumah Papa jelaskan,” jawab Jenderal Bagas. Lalu tanyanya kepada pengawalnya, “Bagaimana nomor asing tadi?”
“Sudah saya kirim untuk dilacak, tapi nomor itu sudah tidak aktif. Ardan sedang bergerak untuk melacak penjual dan pembeli nomor tersebut,” jawab pengawal yang tadi diserahkan nomor yang mengirim sms kepada ponsel Marlina. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Bagus Effendik
semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat semangat
2021-01-05
0
👑⁹⁹Fiaᷤnͨeͦ🦂
Lanjut kak, semangat!
2020-12-04
0