Di ruangan lain di sekolah elit itu, Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah SMA Generasi Emas sedang berdiri terdiam di depan meja Ketua Yayasan, Prof. Saduya Renta Buana. Wajah putih pria 61 tahun itu menunjukkan gurat-gurat kemarahan.
Di depan meja Profesor berdiri seorang pria agak gemuk berpenampilan rapi dari fisik hingga pakaian. Pria berdahi lebar dan berambut tipis itu mengenakan jas hitam dan dasi hitam bergambar butiran-butiran balon air warna-warni. Ia adalah Drs. Norman Milan, Spd., MM, Kepala Sekolah SMA Generasi Emas.
Di sisi kiri Norman berdiri seorang wanita berusia 50 tahun, lima tahun lebih muda dari Norman. Rambutnya sebahu dan sudah memiliki uban yang cukup banyak. Wajah tuanya yang dipermuda dengan riasan yang cukup tebal, dilengkapi dengan kacamata berbingkai warna perak. Ia bernama Dra. Risma Tari, S.Com. Jabatannya adalah Wakil Kepala Sekolah.
“Selama dua setengah tahun sekolah ini berjalan, baru kali ini ada kejadian gila seperti ini. Dari jumlah ular yang ditangkap tadi, jelas ada beberapa orang yang sengaja melepas ular di saat upacara. Dan, tidak mungkin ular-ular itu datang dari alam lepas. Kita tidak mungkin meminta semua siswa tidak bercerita kepada orangtua mereka. Terlebih, korban luka adalah Marlina, putri Jenderal Bagas Danuarta. Itu baru satu orangtua murid. Bagaimana kalau para orangtua yang rata-rata memiliki pengaruh dengan kekuasaan dan hartanya itu menggugat kita? Sebab, apapun motif para pelaku, tapi yang tergambar adalah menyangkut keselamatan jiwa,” ujar Saduya dengan nada agak tinggi. Ia lalu menyodorkan sebuah tablet mini di mejanya, lalu katanya, “Coba lihat!”
Norman meraih tablet mini itu dan membaca sebuah berita yang ada di dalam monitornya. Berita itu berjudul “Sekawanan Ular Bubarkan Upacara Bendera SMA Elit Jakarta”. Gambar dari berita menunjukkan seekor ular sedang merayap dengan latar kumpulan kaki-kaki pelajar yang menjaga jarak dari posisi ular. Norman membaca sejenak isi berita itu. Untuk beberapa saat semuanya diam.
Setelah membacanya, Norman menyerahkan gawai tersebut kepada Risma. Wakil Kepala Sekolah itu pun membacanya.
“Siapa yang menulis berita itu? Fotonya asli dari lokasi upacara tadi,” tanya Saduya.
“Web Gemas Globe milik siswa kita, Prof. Web ini dikelola oleh Rida dan dua temannya, murid 12B. Hampir semua kegiatan yang kita adakan dan berbagai prestasi yang kita raih, mereka beritakan di situsnya,” jawab Norman.
Risma kembali meletakkan tablet itu di meja Profesor setelah usai membacanya.
“Saya ingin kalian berdua menyelesaikan masalah ini dan saya tidak mau melibatkan Dewan Yayasan. Kalian harus menemukan para pelaku pelepas ular itu dan apa motifnya menimbulkan kekacauan seperti itu!” tandas Saduya.
“Baik, Pak,” jawab Norman dan Risma.
“Saya harus berangkat ke Palembang siang ini. Laporkan perkembangan dari kerja kalian terhadap kasus ini. Jika memang perlu, gunakan jasa penyidik swasta. Ingat, ini masalah serius!”
“Iya, Pak,” jawab Norman.
“Kalian boleh pergi!” perintah Saduya.
Kepala Sekolah dan wakilnya itu beranjak pergi ke pintu ruangan.
Di luar ruang kantor Ketua Yayasan itu, ternyata telah menunggu seorang pria berpenampilan rapi, berkemeja putih bercelana warna cream. Pria itu juga mengenakan dasi kuning yang memiliki gambar tepian pantai di ujung dasinya. Pria berusia 40 tahun itu mengenakan kacamata dan memelihara kumis yang tipis. Ia bernama Ferdy Faso, Kepala Bina Siswa. Ia dan dua stafnya bertanggung jawab dalam mengontrol perilaku siswa dan permasalahan siswa.
“Pak, sudah lebih 50 telepon yang masuk dan semuanya mempertanyakan dan mengeluhkan serangan ular di saat upacara!” kata Ferdy melapor lalu berjalan mengikuti langkah Norman dan Risma.
“Bapak harus sesegera mungkin mengungkap peristiwa ini dan menyelesaikannya sampai tuntas!” tandas Norman sambil terus berjalan menuju kantornya.
“Iya, Pak,” jawab Ferdy.
“Apakah ada telepon dari Jenderal Bagas?” tanya Norman.
“Belum ada, Pak,” jawab Ferdy.
“Bukankah biasanya purnawirawan itu langsung menelepon Bapak jika ada hal genting?” tanya Risma kepada atasannya.
“Benar,” jawab Norman. Lalu katanya kepada Ferdy, “Jam tiga saya minta laporan dari Bapak mengenai kasus ular ini!”
“Baik, Pak.”
Norman lalu menggerakkan tangannya memberi tanda kepada Ferdy bahwa ia boleh pergi.
Sementara itu, setelah Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah SMA Generasi Emas pergi, Profesor Saduya langsung mengemas tasnya dan segera pergi. Di kantor yang lebih sering tidak dimasukinya itu, Saduya menyengajakan diri tidak mau memiliki staf atau sekretaris di kantornya. Sebagai orang yang sibuk dengan jadwal agenda yang padat, Saduya memang jarang berkantor di gedung tersebut. Tanpa Ketua Yayasan di tempat, maka Kepala Sekolah yang memiliki wewenang tertinggi di lingkungan itu.
Sebagai orang sibuk, Saduya harus selalu menjaga kesehatan fisiknya dan waktunya. Karena itulah, ia menjadi orang yang memiliki langkah yang cepat dalam berjalan. Kantor Ketua Yayasan dan Kepala Sekolah berada di lantai empat. Gedung SMA itu memiliki dua fasilitas lift di titik yang berbeda.
Profesor langsung menuju ke lift. Dalam perjalanannya di sepanjang koridor, dari arah berlawanan, berjalan pula seorang siswi berjilbab. Dari gelagatnya yang membaca nama ruangan di atas pintu yang dilaluinya, menunjukkan siswi itu sedang mencari.
Kemunculan siswi cantik yang tidak lain adalah Masnaini tersebut, membuat Saduya sedikit kerutkan kening. Masnaini tampak membawa sehelai sapu tangan putih bersih. Setahu Saduya, hanya putri wakil menteri yang mengenakan jilbab di sekolah itu dan ia tahu bahwa siswi putri wakil menteri yang bernama Melisa Nuraini itu bertubuh gemuk.
“Ini bukan anaknya Pak Faisal,” membatin Saduya.
Profesor dan Masnaini akhirnya berpapasan. Masnaini berhenti dan tersenyum kepada orang yang tadi dilihatnya jadi Pembina Upacara Bendera.
“Assalamu ‘alaikum, Pak,” ucap Masnaini memberi salam, lalu membungkuk ojigi memberi hormat. Senyumnya tetap ia pertahankan.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Saduya turut tersenyum. Lalu tanyanya, “Setahu Bapak, hanya ada satu siswi di sekolah ini yang berjilbab dan Bapak kenal. Tapi kamu?”
“Nama saya Masnaini, Pak. Saya siswi baru di tingkat 12,” jawab Masnaini lancar tanpa gugup.
“Apakah kamu siswi yang direkomendasikan oleh Kapolda Metro Jaya?” tanya Saduya menerka.
Pertanyaan itu membuat Masnaini terkejut samar lalu cepat memandang ke sekitar. Di koridor itu hanya mereka berdua.
“Bapak tahu?” tanya Masnaini.
“Saya Ketua Yayasan. Saya yang meminta Kepala Sekolah untuk menerima kamu tanpa alasan, tapi saya tidak tahu kalau kamu berjilbab. Terus terang saja, sekolah ini tergolong anti dengan jilbab. Pesan saya, jangan sampai membuat masalah besar di sekolah ini,” ujar Saduya.
“Baik, Pak,” jawab Masnaini mengangguk.
“Lalu, kenapa kamu ada di lantai empat?” tanya Saduya menyelidik.
“Sepertinya saya dikerjai oleh teman sekelas saya, Pak. Saya mencari toilet wanita, teman saya menunjukkan di lantai empat,” jawab Masnaini.
“Di setiap lantai ada toilet, tapi toilet di atas bukan untuk siswa,” kata Saduya.
“Kalau begitu saya balik lagi ke lantai tiga, Pak,” kata Masnaini.
“Ayo bareng,” ajak Saduya.
Keduanya pun berjalan merdampingan menuju lift.
“Ini hari pertama kamu masuk?” tanya Saduya.
“Iya.”
“Kamu tidak ada hubungan dengan ular-ular itu, kan?” tanya Saduya menyelidik.
“Tidak, Pak. Tapi, mungkin saya pernah bertemu orang yang menciptakan kekacauan itu,” kata Masnaini.
“Oh ya?”
“Saya hanya kenal muka, belum tahu nama, tingkat dan kelasnya. Pelakunya laki-laki,” kata Masnaini.
Keduanya tiba di depan lift. Saduya segera menekan tombol buka.
“Kamu mau terlibat mengungkap pelakunya?” tanya Saduya.
“Mungkin tidak, Pak. Sebab, saya tidak mau terlibat urusan yang lain, terlebih ini urusan yang tidak ringan,” kata Masnaini.
Kling!
Pintu lift terbuka. Profesor masuk lebih dulu, disusul Masnaini. Profesor menekan tombol ke lantai bawah dan Masnaini menekan tombol angka tiga.
“Kecuali Bapak memberi jaminan kepada saya,” kata Masnaini seiring pintu lift tertutup.
“Hmm,” gumam Saduya berpikir. “Kamu tidak seperti seorang siswi biasa.”
“Saya harap hanya Bapak yang tahu jika saya punya rahasia,” kata Masnaini.
“Baik. Jaminan apa yang kamu minta?” kata Saduya.
“Pertama, Bapak harus jaga rahasia saya jika Bapak tahu saya punya rahasia. Kedua, sikapi saya seperti siswi yang lainnya. Dan ketiga, biarkan saya bebas berjilbab, beribadah dan belajar di sekolah ini. Bagaimana, Pak?” ujar Masnaini.
“Setuju.”
Kling!
Pintu lift terbuka di lantai tiga.
“Saya akan menelepon Bapak jika saya sudah dapat informasi detail tentang pelaku itu,” kata Masnaini. “Assalamu ‘alaikum, Pak!”
Usai mengucapkan salam, Masnaini melangkah keluar dari lift. Ia lalu berbalik dan membungkuk hormat kepada Ketua Yayasan yang berdiri tanpa senyum di dalam lift. Setelah pintu lift tertutup, barulah Masnaini berbalik pergi. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Bagus Effendik
aku nyicil like om hahay semangat
2021-01-05
0
hany
semangat kk
I like
lanjut
salam dari MAHABBAH RINDU
2020-12-03
1