Sinta berlari kecil keluar ke lobi hotel. Pandangan gadis berambut lurus seleher itu beredar menyapu sisi-sisi megah ruangan lobi yang luas. Namun, ia tidak menemukan Marlina. Sinta berhenti sejenak, ia memutar tubuhnya, tapi tetap saja Marlina tidak ia temukan.
“Ke mana?” keluhnya tanpa ekspresi.
Sinta segera menelepon nomor bernama “Tuan Putri”. Setelah mendengar nada dering agak lama, alhasil tidak diangkat. Marlina jika ditelepon oleh Sinta dan Rendy selalu enggan untuk mengangkat telepon. Karenanya, Sinta beralih menelepon Rendy.
“Ya?”
Dalam waktu yang cepat Rendy menjawab telepon Sinta dengan pertanyaan.
“Kalau lihat Tuan Putri telepon saya!” perintah Sinta.
“Kamu kehilangan Marlina? Coba cek di toilet!” kata Rendy langsung dapat menerka.
Sinta menutup teleponnya. Ia lebih memilih berlari kecil keluar, ke depan pintu lobi daripada mengikuti saran Rendy yang menyuruhnya ke toilet. Di luar lobi, tepatnya di area tempat turunnya tamu hotel dari mobil dan di sekitarnya, Sinta tidak menemukan “Tuan Putri”.
“Kenapa sih sering menjauhi saya?” rutuk Sinta dalam hati. “Memangnya saya bakteri?”
Sinta memilih masuk ke lobi, kembali dengan pandangan yang masih mencari. Sinta tetap tidak memilih pergi ke toilet, karena ia yakin Sinta tidak akan ke sana, sebab sebelum ke ruang acara, Marlina sudah ke toilet.
Dan memang benar, setelah berjalan ke sana dan ke mari, Sinta akhirnya melihat Marlina sedang duduk di dalam kafe, sendiri memeluk sebuah meja dengan segelas air jeruk manis di bawah wajahnya. Sementara tangan dan pandangannya sibuk di ponselnya.
Ketika Sinta masuk ke kafe berdinding kaca bening itu, Marlina hanya melirik sejenak dan tersenyum. Dengan sedikit menunjukkan kekesalan, Sinta hempaskan pantatnya dan napasnya ke kursi lain di meja itu.
“Kenapa sih?” tanya Sinta sedikit merengut.
“Prajurit kok mengeluh?” kata Marlina tidak menjawab. Lalu ia mengalihkan bahan bicara, “Besok ada anak baru.”
“Semester akhir? Pasti anak bermasalah yang suka ribut di sekolahnya,” kata Sinta, telah menghilangkan kekesalannya.
“Siswa perempuan,” kata Marlina yang membantah dugaan Sinta.
“Kamu dapat bocoran dari mana?”
“Virna. Info juga sudah dia bocorkan ke Lucy cs.”
“Bakal rame dong besok. Tapi, sudah pasti anak itu masuk ke kelas kita?”
“Iya.”
Zring zring zring!
Gawai Sinta berbunyi. Gadis itu langsung mengangkat ponselnya, karena yang menelepon Rendy.
“Hm?” gumam Sinta bertanya.
“Saya turun sama Norel, langsung pulang,” kata Rendy.
“Kamu bareng kita atau sama Norel?” tanya Sinta.
“Saya bareng Norel.”
“Cepat banget, katanya mau ketemu sama Pak Wardansa?”
“Sudah, tapi singkat. Pak Wardansa suka sama lagu baru Norel. Ketemuan lagi besok pagi di kantornya.”
“Besok pagi? Gak sekolah, dong?”
“Yaaa gitulah,” kata Rendy. “Kita sudah turun ke lobi.”
“Iya,” kata Sinta lalu menutup teleponnya. Lalu katanya kepada Marlina, “Norel sudah di lobi.”
Marlina lalu memandang jauh lurus ke luar jauh, ke depan hingga sampai ke sebagian sisi ruangan lobi. Mereka dapat melihat sosok Norel yang dikawal Rendy sedang berjalan menuju pintu keluar. Norel sudah berganti pakaian.
“Norel!”
Seseorang memanggil Norel, membuat Rendy dan pemuda yang setahun lebih muda darinya itu berhenti.
Seorang pemuda belia bertubuh agak kurus berhidung mancung dengan lekukan model patah, melangkah sambil senyum-senyum dari arah lift. Ia membawa sebuah paper bag warna merah.
Norel kenal dengan pemuda itu. Ia bernama Sutrio, mantan teman sekelas waktu kelas 9. Sutrio tidak akrab dengan Norel, tapi keduanya pernah beberapa kali ribut dalam beberapa hal. Sutrio akhirnya pindah sekolah karena bermasalah. Norel dan Sutrio sudah tidak pernah bertemu selama hampir dua tahun.
Norel sempat tidak ingat nama sehingga ia memandangi Sutrio dengan kening berkerut. Sementara Rendy tidak mengenal Sutrio.
“Kamu gak kenal saya, Kawan?” tanya Sutrio seraya tertawa kecil.
“Saya ingat,” jawab Norel. “Sutrio.”
Sutrio tertawa kian keras.
“Selamat, selamat sukses, Kawan!” kata Sutrio seraya mengulurkan tangan untuk berjabat.
“Terima kasih,” balas Norel menyambut tangan itu.
Sutrio juga menyalami tangan Rendy.
Marlina dan Sinta hanya memandangi dari jauh tanpa bisa mendengar apa yang mereka percakapkan.
“Saya kira siapa tadi yang nyanyi, eh enggak tahunya sobat lama saya, hahaha!” kata Sutrio. “Boleh dong saya minta tanda tangan, Rel?”
Norel tidak menjawab, tapi hanya tersenyum. Sutrio merogoh ke dalam paper bag miliknya dan mengeluarkan sebuah kotak kertas putih yang bagus. Sutrio juga mengambil pena yang menyelip di saku kemejanya.
“Ini hadiah buat pacar saya, Rel. Ini buat suprise, apalagi kalau ada tanda tangan kamu. Pacar saya pastilah tahu kamu,” ujar Sutrio sambil sodorkan kotak hadiah dan penanya.
Norel dengan tetap tersenyum menerima kedua benda itu dan mencoretkan tanda tangannya pada tutup kotak putih tersebut.
“Thanks berat nih,” ucap Sutrio sambil menerima kembali kedua bendanya.
Sutrio lalu membuka tutup kotak miliknya. Secara tiba-tiba Sutrio menghambur apa yang berisi di dalam kotak ke kepala Norel.
“Hei!” teriak Rendy cepat bereaksi, terkejut, lalu cepat berlari mengejar Sutrio yang langsung kabur kencang ke pintu lobi sambil tertawa.
Sehamburan serbuk putih yang cukup banyak menyirami kepala dan wajah Norel, membuat wajah tampan Norel berubah marah.
“Hahaha!”
Tawa Sutrio kian mebuat panas hati Norel.
Kejar-kejaran yang terjadi di lobi hotel membuat orang-orang di tempat itu terkejut. Seorang keamanan yang berdiri di dekat pintu masuk segera bereaksi untuk menghadang Sutrio. Sementara Norel juga segera mengejar.
Melihat seorang keamanan hotel menghadangnya, Sutrio cepat mengambil sesuatu dari dalam tas kertasnya. Ternyata sebutir telor.
“Telor busuk!” teriak Sutrio sambil melempar telor di tangannya kepada keamanan hotel.
Mendengar kata “telor busuk”, keamanan yang bertubuh cukup besar itu refleks membungkuk menghindar, sehingga telor itu lolos menghantam kaca pintu lobi. Benda yang memang sebutir telor ayam itu tidak membuat pintu kaca tebal itu pecah, tapi justru si telorlah yang jatuh pecah, tapi bukan telor mentah, melainkan sudah matang.
Membungkuknya pria yang berusia tiga puluhan tahun itu membuat Sutrio bisa lolos ke pintu yang otomatis terbuka sendiri saat Sutrio mendekat.
Di saat yang sama, dua mobil mewah sedan berhenti di depan tangga depan lobi hotel. Tepat di depan tangga adalah sebuah sedan putih bersih mengkilap. Sementara di belakangnya ada mobil sport biru milik Norel yang dikemudikan oleh petugas hotel.
Ketika Sutrio keluar lobi, seorang gadis cantik berwajah putih bersih berpakaian muslimah dan jilbab besar berwarna kuning turun dari dalam sedan putih. Ia berjalan menuju pintu lobi. Selain membawa tas kecil berwarna merah, ia juga membawa sehelai sapu tangan putih.
Sutrio berlari berlalu lewat di samping gadis berjilbab itu.
Blugk!
“Ukk!” keluh Sutrio saat tahu-tahu kakinya tersandung sesuatu dan ia terjerembab.
Ternyata, ketika Sutrio melintas di sisinya, wanita berjilbab itu menggerakkan kaki kanannya menjegal kaki Sutrio. Dan tindakannya terlihat oleh Rendy, Norel dan keamanan yang mengejar.
“Kena kamu!” seru Rendy yang cepat mencekal lengan Sutrio yang segera bergerak bangun.
Tapi Sutrio tidak menyerah. Dengan keras ia mendorong Rendy hingga jatuh terduduk. Sutrio sendiri buru-buru berlari kabur sebelum Norel dan keamanan mendapatkannya.
“Norel Triple!” sebut gadis berjilbab dengan wajah agak ragu saat Norel hendak melintas di depannya.
Sebutan gadis belia itu membuat Norel memandanginya dan berhenti berlari. Norel sempat bimbang, ia memandang gadis cantik itu lalu memandang lagi kepada pengejaran Rendy.
“Rendy, biarkan!” teriak Norel kepada Rendy.
Teriakan Norel itu membuat Rendy dan keamanan hotel berhenti mengejar. Sementara Sutrio terus berlari menjauh.
“Ya, ada apa?” tanya Norel kepada gadis itu, setelah cukup menyeka wajahnya yang putih oleh pupur putih.
“Saya penyuka lagu ‘Cinta Tiga Hati’, bisa minta tanda tangannya?” kata gadis berjilbab itu seraya tersenyum manis, sehingga dua lesung pipi manisnya terlihat jelas begitu memikat.
Norel tertegun sejenak, terpesona oleh kecantikan dan kemanisan lesung pipi gadis yang baru dijumpainya itu.
“Boleh?” tanya gadis itu lagi yang membuat Norel cukup gelagapan, karena kepergok tertegun.
“Tapi saya tidak punya pulpen,” kata Norel seraya tersenyum kikuk.
“Saya ada. Tolong tanda tangan di sapu tangan putih saya,” kata gadis Muslimah itu sambil segera mengambil pena di dalam tas merah kecilnya. Ia tetap mempertahankan senyum manisnya yang memikat.
“Sapu tangan putih? Wah, pas banget sama lagu baru saya!” pekik Norel terkejut, tapi itu di dalam batinnya.
Norel pun membubuhkan tanda tangannya di lipatan rapi sapu tangan putih milik gadis itu.
“Sekalian mau foto selfie bareng?” tanya Norel menawarkan sambil menyerahkan kembali pena dan sapu tangan milik gadis cantik itu.
“Maaf, saya dilarang untuk itu,” jawab gadis itu lembut dengan tetap tersenyum ramah.
Norel hanya mendelik lalu samar angkat kedua bahunya. Dan katanya, “Tidak apa-apa.”
“Terima kasih. Jazakallahu khairan, barakallahu fiik!” ucap gadis tersebut dengan sekalimat bahasa Arab yang tidak dimengerti oleh Norel. “Assalamu ‘alaikum!”
Usai mengucapkan salam, gadis Muslimah itu membungkuk kepada Norel seperti memberi hormat ala orang Jepang. Lalu berbalik pergi berjalan anggun sebagai seorang Muslimah.
Norel terpaku diam melihat sikap gadis itu, yang menurutnya sangat unik.
“Wa ‘alaikum salam!” ucap Norel telat, tapi ada senyum di bibirnya, mengiringi kepergian gadis yang tak dikenalnya tersebut.
“Kenal?” tanya Rendy yang telah berdiri beberapa saat di belakang Norel.
“Penggemar saya. Tapi saya jatuh hati sama dia,” jawab Norel sambil tetap memandang gadis yang tidak lagi berpaling kepadanya.
Gadis itu berjalan langsung ke resepsionis. Marlina dan Sinta yang menyaksikan kedatangannya bahkan tidak dilirik sedikit pun, karena memang tidak kenal.
“Itu cewek yang bagi-bagi hadiah di lampu merah tadi,” kata Rendy kepada Norel.
Mobil sedan putih yang tadi membawa gadis berjilbab itu sudah pergi. Kini tinggal mobil biru Norel menunggu di depan tangga lobi.
“Cara dia menjegal Sutrio dengan tenang, dia bukan cewek biasa, Ren,” kata Norel.
Petugas hotel yang tadi membawa mobil Norel datang memberikan kunci kepada Rendy. Norel mengeluarkan dompetnya dan memberikan selembar uang merah kepada petugas hotel tersebut.
Marlina dan Sinta segera datang menghampiri Norel dan Rendy.
“Apa-apaan sih tadi?” tanya Marlina agak ketus.
“Musuh lama ngerjain saya,” jawab Norel lalu pergi ke mobilnya meninggalkan Marlina dan Sinta. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
seru om.. sukaa
2023-10-20
0
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
Badaaarrr selalu memukau
2023-10-20
0
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
bukan bakteri tp virus mungkin 😁
2023-10-20
0