Rasa perih yang mulai menjalar di pergelangan tangan tak lagi dirasa oleh Anastasya. Perempuan itu mengadah, manatap kedua netra suaminya lekat.
"Benarkah? Apa kau benar-benar menyetujui keinginanku?" Gengaman pisau buah di tanggannya mulai mengendur.
Arka menghela nafas dalam, "Iya kau tidak salah dengar. Aku bersedia menikahi Zara, namun jauhkan dulu pisau itu dari tanganmu," pinta Arka dengan wajah cemas.
"Coba katakan sekali lagi. Aku ingin mendengarnya lebih jelas." Wajah keterputus asaan Anastasya, berangsur-angsur menghilang. Berganti senyum samar yang mulai menghiasi bibir tipisnya.
"Aku akan menikahi Zara secepatnya, dan menjadikannya istriku seutuhnya. Kau bisa menajamkan indra pendengaranmu itu dan aku tak berkeinginan untuk mengulang ucapan itu lagi," jelas Arka penuh penekanan.
Anastasya cukup terkejut mendengar ucapan sang suami hingga menjatuhkan pisau buah yang sempat ia gunakan sebagai senjata, terjatuh begitu saja di lantai.
"Kalian tidak akan berbohong padakukan?" Menatap Arka dan Zara yang hanya terdiam secara bergantian, seolah masih tersimpan keraguan. "Jangan katakan jika itu hanyalah omong kosong untuk menghentikanku saja." sambung Anastasya lagi.
"Anastasya! Berhentilah bertingkah layaknya anak kecil. Aku seorang pria dewasa yang bisa mempertanggung jawabkan semua ucapanku. Jika kau menginginkan, maka hari ini juga aku akan mulai mempersiapkan semua berkas-berkas pernikahanan supaya kau percaya."
Anastasya mulai tersenyum lebar. Dia sudah tak memperdulikan wajah menyedihkan Zara yang terduduk di dinding sudut ruangan.
"Baiklah, aku percaya padamu. Terimakasih Arka."
Mendapati luka di pergelangan tangan istrinya, Arka lekas berlari dan memangil salah seorang pelayan untuk mengobati lukanya.
"Obati dan rawat luka Nona di bawah." Begitulah titah Arka pada sang pelayan. Anaatasya berjalan dengan dipapah menuju lantai dasar. Meninggalkan Arka dan Zara hanya berdua di dalam ruangan.
Arka mengeser pandangannya, mendapati seorang gadis yang terduduk di lantai dengan wajah sembab yang tertunduk. Entah mengapa hatinya terasa teriris. Seketika pria tampan itu menyesali keinginannya untuk menikahi gadis mungil nan luga itu. Wajah polosnya, begitu mudah memporak porandakkan sikap angkuh yang ia tunjukan selama ini.
Pria itu berjongkok tepat di hadapa gadis mungil dengan isak lirih yang samar terdengar. Mengulurkan tangan kokohnya, berharap sang gadis sudi meraihnya.
"Maafkan Aku." Ucapan pertama yang berhasil terlontar dari bibir Arka. "Bangunlah," pintanya.
Wajah sembab itu mendongak, netranya berkaca-kaca dengan hidung memerah. Arka mengeser pandang kearah lain. Seketika pedang tajam serasa menghunus tepat di jantungnya. Teramat sakit dan sesak. Tak sampai hati jika harus bersitatap dengan wajah polos tanpa dosa milik Zara. Apakah dirinya terlalu egois hingga tak memperdulikan perasaan Zara dan menolak keinginan Anastasya jika gadis itu tak menginginkan pernikahan ini terjadi. Entahlah, dirinya pun merasakan perang batin tak berkesudahan di dalam dirinya selama ini.
"Kenapa Tuan meng_iyakan keinginan Nona?" Bibir mungil yang tampak bergetar itu mulai bersuara.
"Maafkan aku. Jika tidak, maka Anastasya akan bertindak nekat."
"Tidak jika Tuan bisa mencegahnya!"
Arka menarik nafas dalam, dan menatap kedua netra sembab itu lekat. "Apa kau tau berapa kali Anastasya berusaha untuk mengakhiri hidup?"
Zara terperanggah, rupanya bukan untuk pertama kalinya Anastasya melakukan hal semacam ini.
"Maka dari itu aku mengiyakan keinginannya sebelum dirinya benar-benar akan mengakhiri hidup."
Apakah Nona Anastasya semisterius itu? Tapi mengapa dulu dia sangat baik padaku?
"Jika sudah lama mengenalnya, kau pasti akan tau semua kepribadiannya. Dia tidaklah jahat, hanya saja---
Arka tak melanjutkan kembali ucapannya.
"Bangunlah, cuci mukamu. Selepas ini, kita akan mulai membicarakan persiapan pernikahan kita. Kau tidak keberatan bukan?"
Untuk pertama kalinya Zara merasakan ucapan Arka begitu lembut kali ini. Meski sejujurnya dirinya ingin sekali berteriak dan menolak, namun bayangan Anastaya yang berniat untuk mengakhiri hidup kembali bergentayangan ke fikirnya.
"Baiklah, saya bersedia." Zara menyambut uluran tangan pria di depannya.
Arka memapah Zara menuju sebuah kamar yang pernah ia tempati beberapa hari lalu, untuk beristirahat.
"Beristirahatlah. Aku akan menyuruh pelayan untuk mempersiapkan makanan dan segala keperluan untukmu." Arka meninggalkan gadis yang tak lama lagi berstatus istri baginya duduk di tepi ranjang.
Seolah masih enggan menjawab, Zara memilih hanya mengangguk tanpa bersuara. Ketika tubuh Arka menghilang di balik pintu, gadis itu pun lekas menguncinya dengan rapat dan menangis sejadi-jadinya.
Arka yang baru berjalan beberapa langkah, mampu mendengar dengan jelas raungan keterputus asaan Zara dari luar kamar. Pria dengan kemeja berlengan panjang yang dilipat hingga kesiku itu memejamkan kedua netranya sesaat.
Mendengar langkah seorang pelayan dengan nampan berisi makanan di tangannya, pria itu dengan cepat mencegahnya.
"Bawa kembali makanan itu kedapur. Katakan pada pelayan lain untuk mempersiapkan seluruh keperluan Zara dan mengetuk pintu kamarnya, tiga jam lagi."
"Baik Tuan." Tanpa membantah, pelayan tersebut lantas mengurungkan niatnya dan kembali menuju dapur meski di dalam hatinya tersimpan rasa penasaran.
Semoga langkah yang sudah kupilih, tidak akan salah.
Arka menatap pintu nanar pintu kamar yang tertutup rapat itu. Menarik nafas dalam sebelum melangkahkan kaki menuju kamar pribadinya.
*******
Kenapa takdir, seloah teramat kejam kepadaku. Tidak adakah sedikit saja kebahagian terselip di atas semua penderitaanku. Mengapa seolah kejadian bertubi-tubi menghunjamku, disaat aku berjalan tertatih seorang diri. Tak merasa iba kah kau padaku wahai takdir. Gadis bertubuh ringkih yang hidup sebatang kara dan terlunta-lunta di kota ini. Hingga kau tanpa rasa lelah memburuku dan memberi begitu banyak ketidak adilanmu padaku.
Tertunduk dalam, Zara bahkan tak mampu hanya untuk sekedar menegakkan kepala. Meringkuk, kedua tangan mendekap lututnya erat. Dua jam berlalu selepas kepergian Arka, Zara tetap bertahan pada posisinya. Bersandar pada pintu dan engan bergerak kemana pun. Seakan puas menumpahkan semua buliran bening di pelupuk netranya, gadis dengan penampilan setengah kusut masai itu bergegas menuju arah arah kamar mandi untuk membersihkan diri.
Menatap pantulan tubuhnya di depan cermin, seraut wajah sembab nan menyedihkan tergambar jelas di sana. Netra membengkak dengan bola kemerahan terasa panas, kian mengambarkan suasana hatinya. Begitu pilu, dan mengenaskan.
Gadis itu pun menenggelamkan sebagian tubuhnya di dalam bath tup dengan mengadah. Menatap nanar langit-langit kamar. Beberapa waktu Zara terdiam, seluruh energinya serasa terkuras habis. Tiga puluh menit berlalu dan air yang semula hangat kini mulai terasa dingin, gadis itu pun beranjak. Merasa tak memiliki pakaian ganti atau apa pun, Zara lantas meraih handuk piyama yang terlipat rapi di rak berukuran mungil.
Setelah memakai dan mengikat tali piyama cukup kecang, dari arah pintu kamar terdengar ketukan disusul suara pelayan dari balik pintu. Bergegas membuka keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih setengah basah sebelum para pelayan menunggunya terlalu lama.
Pintu dengan kombinasi warna putih dan emas itu mulai terbuka. Alangkah terkejutnya Zara dengan pemandangan mencengangkan di depannya.
"Selamat malam Nona," sapa kelima pelayan ramah dan menundukan kepala.
"Ma-malam," jawab Zara terbata.
Kelima pelayan perempuan yang masing-masing mengangkut setumpuk benda di tanganya. Entah apa saja yang para pelayan itu bawa, namun satu yang pasti jika semua barang itu di tunjukan untuk Zara.
"Atas perintah Tuan, kami mengantarkan barang-barang keperluan nona," ucap pelayan yang berdiri di posisi paling depan.
"Masuklah." Zara membuka pintu kamarnya cukup lebar.
"Terima kasih Nona." Tanpa aba-aba, kelima pelayan tersebut bergerak cepat. Bahkan pelayan yang berjajar di urutan belakang terlihat membawa troli barang dengan pakaian di dalamnya.
Semua pelayan dengan cekatan bekerja sesuai pada tugasnya. Menata pakaian dan sepatu di walk in closet, mengatur perlatan make-up dan mandi begitu banyak hingga tampak rapi, menganti semua tirai dan seprai lebih elegan dengan warna senada dan masih banyak lagi yang para pelayan itu lakukan.
Sementara Zara, hanya mampu menatap nanar bayangan dirinya sendiri dari cermin. Betapa kehidupan semacam ini lah yang akan di laluinya setelah ini. Hidup bergelimang harta, bermanjakan kemewahan, dalam jeratan ikatan pernikahan atas dasar keterpaksaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Benazier Jasmine
kasian zara menikah karna terpaksa, memangnya pernikahan sprt apa arka & anastasya jalani selama 2th
2022-10-12
0
Dewi Murni
kshan ya ntsya hdp dgn org yg tdk mencintai hnya jngn sekedar melindungi saja
2021-04-07
0
Fitriah
bagaimana akhirnya untuk Tasya?
2021-04-07
0