Jam dinding yang berdentang, menunjukan waktu tepat tengah malam. Sebagian besar makhluk bumi sudah menggunakan waktunya untuk beristirahat. Arka membaringkan tubuh molek Anastasya di atas ranjang berukuran King size milik istrinya itu. Dirasa mendarat pada tempat yang nyaman, perempuan dengan surai sedikit acak-acakan itu terdengar bergumam lembut dan mendekat erat selimut bulu angsanya yang terasa nyaman.
Arka masih berada di sisi ranjang sebelum memastikan jika Anastasya benar-benar tertidur pulas. Lima belas menit berselang, dan tak ada lagi pergerakan yang berarti pada seseorang yang tengah tidur di atas ranjang, barulah Arka menuju pintu keluar kamar.
Saat pintu terbuka, Surti beserta Sam sudah berdiri di samping pintu dengan wajah cemas.
"Bagaimana keadaan Nona, Tuan?" tanya perempuan setengah baya itu penuh kekhawatiran.
Arka tersenyum hangat, menatap lekat kedua netra perempuan yang sudah sekian tahun bekerja padanya itu dan mengusap bahunya lembut. "Bibi tenang saja. Tasya sudah tertidur lelap dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia baik-baik saja," jelas Arka.
Surti menghela nafas lega. Dirinya tau jika Anastasya dalam pengaruh minuman beralkohol saat berada di dalam dekapan suaminya.
"Kembalilah beristirahat Bibi. Tidak baik jika tidur terlalu malam."
Surti tetap diam, dan enggan meninggalkan tempatnya berdiri kini. Dari sela pintu yang sedikit terbuka, perempuan paruh baya itu menajamkan penglihatan. Benar saja, sang Nona tampak begitu lelap dalam balutan selimut yang menutup tubuhnya hingga keleher.
Surti pun merasa lega, kemudian menundukan kepala kepada Arka, sebelum kembali kekamar untuk beristirahat.
"Sam." Kini pandangan Arka beralih kepada sang Asisten pribadi.
"Iya Tuan."
"Kita perlu bicara."
"Baik Tuan." Sam mengekori langkah Tuannya menuju ruang kerja yang berada di lantai dasar.
"Kau pasti sudah tau, apa yang aku fikirkan saat ini?"
Sam mengganguk. Tanpa sang Tuan berbicara, pria yang sudah bersama dengannya cukup lama itu tau benar apa yang tersimpan di benak Tuannya.
"Bereskan kelima perempuan itu. Aku tak ingin melihat mereka masih berkeliaran di kota ini dan kembali menjerumuskan Anastasya pada gelapnya dunia malam. Jika perlu, tutup club itu malam ini juga," titah Arka kala tak mampu lagi menahan amarahnya yang memuncak.
Jalan itulah yang mampu ia ambil. Mengingat kelicikan para perempuan yang sudah dianggap sahabat oleh Anastasya, tak pernah patah arang untuk kembali menjerumuskan sang istri, pada lembah hitam yang semakin dalam membelenggunya.
"Baik Tuan, akan segera saya laksanakan." Seperti biasa, Sam terlihat tetap tegas meski sudah beberapa jam bekerja mendampingi Arka.
"Hubungi sekertarisku, katakan padanya untuk mengambil alih semua jadwalku esok hari."
"Baik Tuan. Saya permisi. Tuan beristirahatlah." Sam menundukan kepala dan meningalkan Arka yang masih tersenyum mengantar kepergiannya.
Arka menatap punggung lebar Sam yang semakin menghilang menuruni tangga. Pria muda itu mengusap wajahnya yang tampak lelah. Menggeser kepala kearah samping, di mana pintu kamar Anastasya belum tertutup sempurna. Arka maju beberapa langkah dan menarik gagang pintu itu tanpa suara.
Masih di lantai yang sama, Arka menuju ruangan lain di mana kamar pribadinya berada. Arka beserta Anastasya memang tak tidur di ranjang yang sama, namun tak ada seorang pun yang mengetahui, terkecuali kedua anak manusia itu sendiri.
*****
Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, gadis mungil dengan surai hitam sepinggang masih tampak berdiri mematung di samping pagar. Nampan berbahan melamin pun masih ia gengam. Selepas menyajikan sarapan untuk keempat penjaga keamanan, Zara memilih menunggu kedatangan Anastasya di luar toko bunga.
Teriknya mentari mulai menyengat di kulit putih Zara. Beberapa karyawan pun sudah mulai berdatangan, dan memulai rutinitas harian mereka.
Hingga satu jam berlalu. Mobil yang kerap digunakan Anastasya, masih tak menunjukan kedatangannya. Gadis itu pun menyerah dan dengan langkah gontai kembali memasuki toko bunga tanpa hasil.
Sudah dua hari berlalu selepas kepergiannya dari istana megah milik Arka. Anastasya tak sekali pun mengunjungi toko bunga. Berharap mendapatkan pesan atau telfon, Anastasya justru sama sekali tak memberinya kabar.
Bertanya pada penjaga dan karyawan lain pun percuma, jawaban yang mereka selalu sama. Tak tau atau hanya sekedar menggelengkan kepala.
Gadis itu pun dibuat tak nyaman. Menjelang senja, Zara merangkai beberapa jenis bunga ya dikombinasikan dalam satu buket. Mawar merah muda dan putih, beserta bunga krisan tampak terlihat cantik dalam balutan kertas Ouya dan pita berwarna Baby pink yang senada.
Aku akan mendatangi rumah Nona Anastasya dan memberikan sebuket bunga sederhana ini, sebagai ucapan permintaan maaf
Menatap buket itu dari beberapa sisi. "Sepertinya sudah terlihat sempurna," guman gadis itu dengan mimik wajah menggemaskan.
Tingkah polah Zara, tak luput dari pandangan Kiara, sahabatnya. Sedari tadi, gadis itu dengan diam-diam mengamati sahabat mungilnya yang tengah disibukan dengan sebuket di tanggannya.
Berjalan mengendap, Kiara berniat untuk mengejutkan Zara.
"Hayo... , untuk siapa kau merangkai buket bunga cantik itu? Setauku, tak satu pun pesanan hari ini yang mengabungkan ketiga jenis bunga semacam itu?" Berkat lengkingan suara Kiara, beberapa pekerja lain menatap kearah dua gadis tersebut. Zara seketika membekap bibir Kiara dengan tangan mungilnya.
"Jangan keras-keras, kau bisa mengejutkan semua orang dengan lengkingan lima oktafmu itu. Lagi pula, aku membuat buket bunga ini untuk Nona Anastasya," papar gadis berlesung pipi itu.
Kiara menautkan kedua alisnya, "Untuk apa? Apa Nona Anastasya memintanya?"
"Ah sudahlah, kau tak akan faham." Bibir mungil Zara mengukir sebuah senyuman. Sementara Kiara berusaha menebak arti senyuman dari bibir sahabatnya itu.
*******
Pengendara ojek online menepikan motornya di depan gerbang utama rumah mewah Arka yang tinggi menjulang. Salah seorang penjaga berpakaian rapi mendekat. Merasa tak asing dengan wajah Zara, pria bertubuh tinggi besar itu lantas mempersilahkan gadis dengan sebuket bunga itu untuk memasuki gerbang.
Memasuki gerbang utama, taman luas dengan berbagai macam bunga berwarna warni beserta pohon buah-buahan berjajar rapi di segala sisi. Kedua netra bening Zara tampak berbinar mendapati pemandangan indah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Berjalan kaki beberapa menit hingga mencapai halaman bagunan mewah itu pun, tak terasa melelahkan. Mengingat semua rasa, tergantikan dengan suguhan pemandangan yang memanjakan kedua netra.
Bergerak siaga, seorang pelayan berpakain rapi mendekat dan menundukan kepala.
"Selamat sore Nona Zara. Apa Nona ingin menemui Nona kami?"
Zara terperangah. Nampaknya pelayan tersebut, masih mengenal dirinya. Walau sejujurnya Zara pun sama sekali tak mengingat siapa pelayan yang bersamanya kini.
"Iya Bi, saya ingin bertemu dengan Nona Anastasya. Apa beliau sedang ada di rumah?"
Pelayan dengan surai tertata rapi itu menggangguk. Lewat gerakan tangan, Zara dituntun untuk berjalan mensejajarinya.
Meski bukan kali pertamanya menginjakan kakinya di bangunan mewah bergaya eropa ini, namun tetap saja Zara merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan untuk melangkah pun terasa berat.
"Nona dan Tuan ada di lantai dua," ucap sang pelayan yang senantiasa mengengam tangan Zara yang sudah mulai menitikan keringat dingin, menapaki setiap anak tangga hingga menuju lantai dua.
Pelayan muda itu membenturkan dua ruas jarinya menyentuh pintu, hingga terdengar ketukan. Tak berapa lama, suara seorang perempuan terdengar dari dalam.
"Masuklah," titahnya.
Pintu perlahan dibuka tanpa menimbulkan suara oleh sang pelayan. Begitu pintu terbuka sempurna, nampaklah sepasang suami istri yang tengah menikmati senja saling berhadapan, namun di sofa yang berbeda.
Astaga... Mungkin aku datang diwaktu yang tidak tepat.
Zara menelan ludahnya kasar. Sementara kedua pemilik rumah pun tampak terkejut dengan kedatangan Zara yang tanpa diundang.
"Zara." Anastasya yang tengah mengupas buah itu menghentikan sejenak aktifitasnya untuk menyambut gadis bertubuh mungil yang masih berdiri di luar pintu.
"Maafkan saya Nona." Zara menundukan pandangan saat Anastasya mulai mendekat. " Saya hanya berniat memberikan buket bunga ini sebagai ucapan permintaan maaf." Mengulurkan rangkaian bunga cantik itu pada Anastasya. "Saya undur diri Nona," sambung Zara.
"Hei, kenapa tergesa. Aku bahkan belum mengucapkan terimakasih."
Anastasya menarik tangan mungil Zara untuk memasuki ruangan setelah mengisyaratkan pelayan muda yang bersama Zara untuk kembali melanjutkan pekerjaanya. Meski sejujurnya enggan, mengingat bukan hanya ada mereka berdua melainkan Arka pun masih berada di ruangan yang sama.
"Tapi Nona."
"Duduklah." Anastaya menepuk tempat kosong di sofa yang sama dengannya. Dimana tepat berada di hadapan Arka.
Jika Zara merasakan ketidak nyamanan. Begitu pulalah yang dirasakan Arka. Pria datar itu sama sekali tak berekspresi semenjak kedatangan Zara beberapa waktu lalu.
"Nona, lebih baik saya pulang saja. Maaf sebelumnya karna sudah menggangu kenyamanan Nona dan Tuan dengan kehadiran saya yang tanpa diundang." Mencengkeram jemarinya di atas pangkuan, Zara sungguh mengutuki kelancangan idenya hingga nekat mendatangi rumah Nonanya tanpa pemikiran yang matang.
"Tak apa. Aku saja yang akan pindah keruangan lain, agar pembicaraan kalian tidak terganggung." Justru Arka lah yang berinisiatif. Pria berpostur tinggi sempurna itu sudah hendak bangkit dari posisi duduknya jika tak dicegah oleh Anastasya.
"Arka! Tetap duduk ditempatnya. Tidak ada yang boleh kemana-mana, di antara kita bertiga," ucap Anastasya penuh penekanan.
Kenapa?
Beberapa saat ketiganya sama-sama bungkam. Jika wajah penuh tanda tanya menyelimuti Zara dan Arka, namun tidak bagi Anastasya. Perempuan cantik itu tampak tengah berfikir. Menatap pintu kamar yang masih sedikit terbuka, Anastasya berlari kecil menyentuh gagang pintu itu dan menguncinya rapat.
Kenapa Nona terlihat aneh, dan kenapa perasaan berubah tak enak seperti ini.
Anastasya kembali duduk di tempatnya semula. Menghela nafas beberapa kali sebelum memulai ucapannya.
"Baiklah, mengingat kalian berdua sudah berada di hadapanku, maka aku pun akan mengucapkan sebuah permintaan dimana hanya kalian berdualah yang mampu untuk mewujudkannya." Suara Anastasya terdengar lantang, menggema di satu ruangan.
Jangan katakan jika tentang permintaan bodoh itu lagi Nona.
"Zara, menikahlah dengan suamiku."
Glek
Nona Anastasya memang sudah benar-benar gila.
"Tidak Nona."
"Kenapa tidak? Aku mohon, jangan menolak lagi Zara. Atau tidak--
Anastasya meraih pisau buah yang tergeletak begitu saja di meja dan mengarahkannya tepat di pergelangan tangan kiri.
"Anastasya! Apa yang kau lakukan? Jauhkan pisau itu dari tanganmu." Suara bariton yang mampu mengetarkan siapa pun yang menjadi lawan bicaranya itu tampak geram. Arka bangkit dan mulai melangkah.
"Diam di situ atau aku akan benar-benar menyayat nadiku," gertak Anastasya dengan buliran bening yang mulai menganak sungai.
"Hentikan Nona. Jangan bertindak bodoh. Sayangilah nyawa anda Nona."
"Aku pun akan menyayangi nyawaku jika kalian mau mengabulkan permintaaku."
Anastasya yang sudah gelap mata, justru menekan pisau buah yang cukup tajam itu hingga mengores pergelangan tangannya dan mulai mengucurlah cairan berwarna merah yang menitik di lantai marmer berwarna putih.
"Baiklah, aku kabulkan keinginanmu," seru arka dengan suara lantang.
Zara yang bersandar pada dinding menahan takut pun lunglai seketika. Betapa pun dirinya hanya lah manusia biasa yang ingin hidup bebas dan berjalan sesuka hati, mengikuti keinginannya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Benazier Jasmine
kasian zara hrs dipaksa nikah dg arka, menjadi istri ke2
2022-10-12
0
Nartyana Gunawan
makin penasaran
2021-05-18
0
Akhmad Hadziq
lanjut thor ayoo mulai yg romenc"
2021-04-15
0