Kelima pelayan dengan keterampilan masing-masing yang tak perlu diragukan lagi itu, tampak cekatan merampungkan tugas dalam waktu cepat. Salah seorang pelayan bagian pakaian berusia cukup muda mendekat dan menundukan kepala.
" Maaf Nona, sebagian pakaian Nona sudah saya rapikan pada tempatnya. Sementara sebagian pakaian lain masih dalam rancangan desainer dan dalam proses penyelesaian. Apakah Nona ingin saya bantu untuk memakai pakaian dan merias diri?"
Apa? Untuk apa?
"U-untuk apa?"
"Tuan menugaskan kami untuk mempersiapkan seluruh keperluan Nona. Termasuk membantu memilihkan pakaian dan merias wajah Nona."
Aku ini hanya rakyat jelata, kalian tak perlu memperlakukanku layaknya seorang permaisuri yang dicintai rajanya.
"Tidak perlu! Aku bisa menganti pakaian dan merias wajahku sendiri." Tentunya tanpa bantuan kalian. Mungkin bagi sebagian wanita, mendapatkan fasilitas dan pelayan semacam ini teramat sangat menyenangkan, bahkan diimpikan. Akan tetapi tidak bagi Zara. Kemewahan beserta setatus sosial yang disandangnya, bagaikan berada dalam sangkar emas yang mengurung hidupnya.
"Tapi... Tuan akan marah pada kami," ucap pelayan itu mengiba dengan memilin jemarinya sendiri.
"Katakan pada Tuan Arka, jika aku bisa mengurus diriku sendiri tanpa bantuan pelayan."
Para pelayan lain pun mendekat, berbaris rapi mensejajari pelayan lainnya. Pada nyatanya, kelima pelayan memasang wajah sama, meng_iba. Yang mana membuat Zara dibuat tak nyaman.
"Aku mohon Bi. Aku masih membutuhkan waktu untuk sendiri." Zara menangkupkan kedua telapak tangannya sebagai permohonan. "Setidaknya kabulkanlah permintaanku." sambungnya lagi.
Kelima pelayan terdiam dan hanya saling melempar pandang. Setelah beberapa waktu mereka pun bersepakat dan mengangguk.
"Baiklah Nona, akan saya sampaikan, namun jika waktu makan malam sudah sampai, salah satu dari kami akan datang untuk menjemput anda makan malam bersama Tuan dan Nona Anastasya di bawah."
"Baiklah. Akan aku pastikan jika waktu makan malam sampai, aku pasti sudah berpakaian dengan rapi."
Tanpa ragu, kelima pelayan undur diri. Bergerak beriringan hingga akhirnya menghilang di balik pintu yang tertutup.
"Baiklah Zara, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" gumam lirih, bertanya pada dirinya sendiri. Tidak mungkin jika dirinya hanya berdiam diri. Mengingat sudah tiga jam waktu yang ia gunakan untuk mengurung diri di kamar.
Berjalan ke arah walk in closet, di mana seluruh pakaian yang menurut para pelayan adalah miliknya tersimpan. Sungguh luar biasa, Zara baru tersadar jika kamar yang dirinya tempati sangatlah luas dan super mewah. Tangan mungilnya menyentuh tempat penyimpanan pakaian, dengan didominasi cat warna merah muda dengan sedikit campuran warna putih. membuka perlahan pintu itu satu persatu. Benar saja, baik pakaian yang terlipat atau pun tergantung, keseluruhan ialah pakaian wanita dengan ukuran mungil sesuai dengan postur tubuhnya. Entah dirinya harus senang atau justru sedih mendapati semua kenyataan ini.
****
Ketukan di pintu menyadarkan Zara yang tengah berkutat dengan sisir di tangannya. Rambut lurus hitam legam sepinggang itu, dia biarkan tergerai begitu saja. Kaki mungilnya yang telanjang tanpa alas kaki, berjalan cepat menjejaki karpet bulu untuk membuka pintu.
Mungkin sudah waktunya makan malam. Begitulah fikir Azzara.
Pintu terbuka. Salah satu pelayan yang sempat bersamanya beberapa waktu lalu tersenyum ramah dan menundukan kepala.
"Maaf menggangu Nona. Waktu sudah menunjukan jam makan malam. Tuan beserta Nona Anastasya sudah menunggu anda di ruang makan." Pelayan muda tersebut sempat terkagum dengan penampilan Zara kini. Wajah sembab itu, kini tampak cantik dengan di lapisi riasan tipis. Meski pelayan itu pun mengakui jika wajah polos calon Nonanya itu memang sudah cantik alami meski tanpa polesan make up sekalipun.
"Baiklah." Zara pun sudah hendak melangkahkan kakinya menuju lantai dasar.
"Tapi Nona," ucap pelayan itu lirih.
"Kenapa. Aku pun sudah siap. Bukankah sudah waktunya makan malam?" tanya Zara dengan mimik wajah kebingungan.
"Nona masih belum mengunakan alas kaki." Menunjuk bagian kaki Zara yang masih polos tanpa alas.
Zara menunduk, lalu tersenyum kikuk saat mendapati kaki mungil itu tanpa sepatu atau pun sandal yang ia gunakan. "Maafkan aku. Ternyata aku melupakan satu hal yang cukup penting dalam penampilanku." Merasa malu, gadis itu berlari kecil menuju tempat penyimpanan sepatu dan memilih satu alas kaki yang terasa nyaman untuk ia gunakan.
Suasana santai kini mulai berganti ketegangan saat sepatu flat yang digunakan Zara mulai menuruni satu persatu anak tangga yang menghubungkannya dengan lantai dasar. Langkah samar kaki mungil itu mengalihkan dua pasang netra yang duduk di meja makan, namun saling diam.
Tubuh Zara seketika bergetar kala Arka dan Anastasya serempak menatapnya lekat. Gadis itu pun tertunduk dengan mencengkram kuat kedua sisi samping dres berwarna kuning selututnya. Bahkan langkahnya pun seketika terhenti dan tak mampu bergerak saat sudah mencapai lantai dasar.
"Ehem" Arka berdehem untuk memecah kecanggungan di antara ketiga anak manusia yang sama-sama tegang.
"Zara, kemarilah." Anastasya beranjak untuk menghampiri Zara. Menarik sedikit paksa tangan munggil Zara yang enggan untuk bergerak. Lalu menarik satu kursi makan yang berada di sisi kanan Arka, sementara dirinya berada di sisi kiri.
"Pelayan."
Seketika dua orang pelayan mendekat. Anastasya langsung menunjuk beberapa jenis makanan pada pelayan untuk di pindahkan dalam piring makannya. Begitu pun Arka, pria dengan jambang tipis di wajahnya itu menyebut jenis makanan yang tersedia di meja untuk dimakan, dengan cekatan dan sangat sopan para pelayan itu memindah satu persatu sajian yang akan di santap majikannya.
Kala piring Arka dan juga Anastasya terisi oleh beberapa jenis makanan pilihan mereka, Zara hanya terdiam dan menjadi pengamat.
"Nona, makanan apa saja yang Nona inginkan?" tanya pelayan itu ramah dengan sendok yang masih berada di tanganya.
"Ti-tidak usah! Saya bisa melakukannya sendiri." Zara menolak, merasa jika dirinya bisa melakukan hal itu sendiri tanpa bantuan pelayan.
"Tapi Nona,"
"Biarkan Zara melakukannya sendiri.
Mungkin Zara masih belum terbiasa." Arka yang terlihat mengawasi setiap pergerakan Zara, cukup menyadari semua penolakan dari gadis itu karna merasa semua perlakuan terkesan berlebihan baginya.
"Baik Tuan." Pelayan itu pun menunduk dan membawa dirinya berjalan menuju sudut ruangan, berjajar rapi dengan pelayan lain.
"Zara, ambil makananya. Kau pasti lapar," titah Arka dengan suara lembut. yang mana membuat kedua perempuan di kedua sisinya terbelalak tak percaya.
"Ba-baik Tuan." Zara menatap berbagai hidangan yang tersaji memenuhi meja makan dengan netra berbinar. Seluruh tenaga dan emosi serasa terkuras habis dengan ia gunakan untuk menangis dan meratapi nasib berjam-jam lamanya, dan kini lah saat yang tepat untuk membalas dendam.
Gadis itu pun lantas menciduk nasi dan mulai memindahkan makanan yang menjadi incaran kedalam piringnya. Bukanya terkejut, Arka justru tersenyum tipis dan mencoba mengalihkan pandangannya agar tak terlihat orang lain.
"Makanlah yang banyak. Pilih menu apa saja yang kau suka tanpa sungkan." Anastasya menunjukan ketulusannya. Sikapnya terlihat apa adanya tanpa dibuat-buat. Ketiganya pun menikmati santap malam dengan khidmat. Tak ada yang mengucapkan barang sepatah kata pun saat makan. Hanya terdengar denting peralatan makan yang saling bersahutan.
*****
Mungkin seperti ini cara makan orang kaya. Terlihat sopan dan elegan. Bahkan tidak ada yang saling berbicara. Ya memang seharusnya seperti itu, dilarang berbicara saat makan.
Selama acara makan malam berlangsung, secara tak langsung Zara sedikit membaca sifat sepasang suami dan istri ini. Jika di luar rumah Arka terkesan dingin dan datar bahkan jarang sekali berbicara, tapi tidak begitu halnya jika berada di rumah. Sikapnya kini terlihat hangat dan lembut tutur kata. Tak jarang terselip perhatian di sela ucapannya.
Sementara Anastasya. Jika di luar dirinya terlihat ceria dan banyak bicara, justru berbanding terbalik kala berada di rumah. Sifat cerianya menghilang dan menjadi pendiam. Bersama sang suami pun dirinya tak banyak bicara dan hanya berucap jika ditanya.
"Aku rasa, pernikahan kalian harus dipercepat." Anastasya mulai membuka percakapan selepas ketiganya selesai makan.
Senyap. Suasana hening seketika.
"Bagaimana Zara, apa kau sudah siap jika pernikahan kita dipercepat." Sesungguhnya Arka tak sampai hati mengucap kalimat tersebut, namun baginya tidak ada pilihan lain yang akan ia lakukan selain ini.
"Terserah Tuan dan Nona saja. Saya hanya akan mengikuti."
Apa jika dengan aku mengatakan tidak, bisa merubah semua keputusan? Tentu tidaklah akam semudah itu. Maka aku pun tak punya kuasa untuk sekedar mengatakan tidak. Semua keputusan ada di tangan kalian berdua.
"Apa aku perlu menjemput kedua orang tuamu dikampung?" tanya Arka dengan menatap lekat netra Zara.
Orang tuaku? Di kampung? Bagaimana Tuan Arka bisa mengetahui tentang Ibu dan Ayah? Padahal aku belum pernah mengatakan perihal orang tuaku pada siapa pun di kota ini.
"Ti-tidak Tuan. Tidak perlu," jawab Zara terbata.
"Kenapa?" tanya Arka dan Anastasya bersamaan.
"Saya takut Tuan."
Mungkinkah mereka sama-sama bodohnya. Ibu dan Ayah seketika akan melahapku hidup-hidup, jika mengetahui putri yang selama ini mereka besarkan justru menikah dengan pria yang sudah beristri.
Arka menghela nafas dalam, "Baiklah, aku mengerti."
"Tuan, apakah saya bisa mengajukan beberapa persyaratan sebelum menikah." Suara Zara terdengar meyakinkan.
Arka menautkan kedua alisnya, tengah berfikir kiranya persyaratan apakah yang akan diajukan oleh gadis yang akan dinikahinya. Sementara Anastasya hanya diam dan menjadi pendengar yang baik.
"Baik, katakanlah. Selagi aku masih mampu mengabulkannya, maka akan aku lakukan." Kini justru Arka lah yang dibuat tegang. Menanti ucapan persayaratan yang akan terlontar dari bibir mungil Zara.
"Pertama." Zara mengacungkan satu ruas jarinya. "Saya ingin pernikahan ini digelar sesederhana mungkin. Tanpa adanya pesta atau pun tamu undangan. Cukup penghulu dan beberapa orang saksi yang diikut sertakan."
"Kedua." Zara menambahkan satu jari manisnya sebagai syarat kedua. "Saya tetap akan tinggal di toko bunga, meskipun saya sudah menyandang status sebagai istri Tuan. Bagaimana? Jika Tuan dan Nona tidak bisa mengabulkan kedua permintaan saya, maka saya pun akan berfikir ulang untuk bisa menerima melanjutkan pernikahan ini atau tidak," terang Zara dengan penuh penekanan.
Arka terdiam, dan coba menelaah setiap kata yang diucap Zara, dan berusaha mencari jawaban yang benar-benar tepat, agar tak mengecewakan hati siapa pun.
Maafkan saya Tuan, jika permintaan saya yang kedua cukup berat. Tidak mungkin jika dua istri tinggal di dalam satu atap yang sama. Saya mungkin tidak akan mempermasalahkannya, namun bagaimana dengan hati Nona Anastasya? Tentu dialah yang paling merasa terluka. Mungkin inilah satu-satunya jalan yang tepat, demi kehidupan kita kedepannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Benazier Jasmine
semangat zara, walaupun pernikahan terpaksa, semoga arka pd akhirnya mencintaimu
2022-10-12
0
Yulia Novita
thor...bukannya kalau masih ada ayah, yg jadi wali harus ayah kecuali ayah memberi kuasa kpd org lain atau wali hakim kalau tdk pernikahan jadi tdk sah...
2021-04-09
0
Fitriah
gadis baik...pasti memikirkan kebahagiaan orang lain
2021-04-07
1