Terjerat Dua Cincin Sang CEO
"Bagaimana Bibi, Paman, apakah kalian mengijinkan Zara untuk bekerja dikota bersama saya." Seorang pria muda bernama Sandy tengah duduk disebuah sofa dengan kaki menyilang. Mengarahkan pandangan lurus kedepan, menatap sepasang pria dan wanita paruh baya yang menjadi lawan bicaranya.
Sang perempuan menghela nafas dalam, mengeser pandang ke arah sisi kanan, dimana sang suami duduk terdiam dikursi roda. "Bagaimana, apakah Ayah mengizinkan putri kita untuk merantau bersama dengan Nak Sandy kekota?" Seolah miminta pendapat, kedua netra seorang Ibu bernama Rumi itu nampak berkaca-kaca menatap lekat netra sang suami.
Jamal terdiam beberapa saat. Netra sayunya menatap sang putri dan istrinya yang duduk berdambingan, secara bergantian. Kondisi kedua kakinya yang Lumpuh selepas kecelakaan motor beberapa waktu lalu. Menjadi penghalang terbesarnya untuk menjalankan kewajiban utamanya sebagai pencari nafkah. Dan beberapa bulan inilah, sang istri yang seharusnya mengurus rumah tangga pun terpaksa mengantikan perannya sebagai pekerja serabutan dari rumah kerumah, demi untuk menyambung hidup.
"Ayah tidak bisa melarang Bu, jika Zara menginginkan untuk bekerja kekota," meski berat, namun Jamil pun tak ingin egois jika sang putri mengiginkannya.
"Paman dan Bibi tak perlu khawatir. Aku sudah menemukan tempat dimana Zara akan bekerja. Jika menyangkut tempat tinggal, untuk sementara waktu Zara bisa tinggal bersamaku."
Ketiga pasang netra yang menjadi lawan bicara Sandy terbelalak. Pasalnya, ucapan Sandy membuat sepasang suwami beserta sang putri bertanya-tanya. "Maksud Ka Sandy, kita akan tinggal dirumah yang sama?"
"Ti-dak tidak," Sandy tergagap. "Maksudku, aku akan mencarikan kontrakan yang tak jauh dari tempat tinggalku. Agar kita tetap berdekatan." Jawab Sandy, sembari tersenyum kecut.
Zara dan kedua orang tuanya, meghela nafas lega. Sempat terbesit difikir Zara, jika Sandy memiliki rencana buruk untuknya, ketika mereka tiba dikota. Namun jawaban Sandy, seolah mampu menjawab semua pertanyaan, dan segala fikiran buruk.
"Bagaimana Nak, apakah kau bersedia?" Rumi menggengam tangan ramping, dan menatap lekat kedua netra putrinya.
Zara mengangguk samar. "Iya Bu, mungkin dengan mencari pekerjaan di kota, bisa mengubah kehidupan kita kedepannya."
Jamil yang mendengar jawaban sang putri pun, tak kuasa membendung buliran bening dari pelupuk netranya. Hanya karna keterbatasan ekonomi, Jamil dan Rumi harus rela berpisah jauh dari Zara, putri semata wayangnya. "Maafkan Ayah, Nak. Karna Ayah, kau harus pergi kekota dan hidup jauh dari kedua orang tua. Ayah memang manusia tak berguna." Memuncah sesal didada. Tak urung, Jamil terus menerus menyalahkan dirinya, dari beratnya hidup yang di tanggung keluargannya.
"Ayah, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Ini semua sudah menjadi takdir. Baik buruknya, kita pun harus ridho menjalaninya." Zara menangkupkan kedua telapak tangan, sebagai permohonan kepada sang Ayah untuk berhenti menghujat diri sendiri.
Sandy menarik sudut bibirnya, membentuk serigai tipis yang entah apa artinya. Menonton adegan drama yang baginya terasa menggelikan itu. Menatap arloji dipergelangan tangannya, pria berkemeja biru muda itu pun mulai membuka suara, mengingat waktu terasa begitu cepat berputar.
"Ehem." Sandy berdehem. "Lalu, seperti apa keputusanmu Zara. Jika kau berminat, persiapkan pakaian dan barang-barangmu, karna setengah jam lagi aku harus kembali kekota. Dan jika tidak, aku pun akan undur diri. Mengingat sudah cukup lama aku berada disini."
Zara mengigit bibir bawahnya, lalu menghela nafas dalam. "Baiklah, aku bersedia." Jawab Zara selepas pertimbangan beberapa saat.
Tak ada yang mampu dilakukan kedua orang tua Zara, selain merelakan kepergian sang putri.
Dua buah tas berukuran besar, terisi penuh dengan pakaian dan beberapa barang yang hendak di bawa Zara. Sandy yang nampak tak sabaran pun, lantas menggotong benda benda cukup berat itu kedalam bagasi mobilnya.
Isak tangis mengiringi keberangkatan Zara. Bagaikan goresan belati tak kasatmata yang menyayat sekujur tubuh gadis berusia 19 tahun itu. Untuk kali pertama, ia harus terpisah jauh dari kedua orang tua.
"Berjanjilah pada Ayah dan Ibu, untuk sesekali pulang, jika kau sudah mendapatkan pekerjaan. Jaga dirimu baik-baik, dan jangan pernah lupakan kami." Selepas mencium punggung tangan sang ibu, Zara pun mencium kedua pipi beserta kening perempuan paruh baya yang sudah melahirkannya.
"Zara janji Ibu, Ayah. Zara tidak akan pernah melupakan kalian berdua. Walau sejauh apa pun Zara melangkah, pasti akan tetap kembali dalam dekapan Ayah dan Ibu."
Zara menyeret langkah kakinya menuju pintu mobil yang segaja di bukakan oleh Sandy. Senyum pun tak jua luntur dari bibir pria bertubuh tinggi itu. Entah apa yang membuat Sandy berwajah sesenang itu.
Kijang hitam yang dikemudikan sandy mulai berjalan perlahan menyusuri jalanan perkampungan yang senyap tanpa banyak kendaraan lain berlalu lalang. Guna memecah kesunyiaan diantara kedua anak manusia itu, beberapa kali Sandy melemparkan lelucon yang sengaja ia karang. Sebab, selama satu jam perjalanan, Zara memilih lebih banyak diam dan melamun.
*******
"Bagaimana, jika kita makan malam terlebih dulu? Sepertinya kau sangat lapar hingga tak berminat untuk berbicara." Dengan nada menggoda, Sandy mengarahkan pandangan kearah Zara yang duduk di sisi kirinya.
Zara pun tersenyum kecut, hendak menyangkal pun tak ada guna. Sebab, cacing didalam perut pun serasa berdemo meminta jantah makan. Keduanya pun sepakat menepikan kendaraan disebuah restoran seafood yang menyajikan berbagai macam makanan laut, untuk mengisi perut.
Selepas menghabiskan makanan yang di pesan pun, Sandy tak lantas membawa Zara kesebuah rumah ataupun kontrakan dimana gadis itu akan tinggal. Lelaki tampan berambut hitam legam itu terkesan mengulur waktu, dan membawa Zara lebih dulu disebuah taman dengan beberapa pasang muda mudi yang tengah menikmati malam diruangan terbuka itu.
"Untuk apa kita kemari, Kak? Bukankah ini sudah malam? Jika kita terlalu lama di
jalan, aku takut jika tak menemukan kontrakan semalam ini." Gadis cantik bertubuh mungil itu pun melontarkan kekhawatiran yang baginya cukup beralasan itu. Sebab, tak akan mudah menemukan kontrakan ataupun sejenisnya diwaktu yang sudah hampir tengah malam.
"Kau tenang saja, semuanya bisa di atur," dibumbui serigai tipis disudut bibir, Sandy terlihat tak ambil pusing menanggapi ucapan gadis yang duduk disampingnya.
*******
Apa yang menjadi kekhawatiran Zara, benar-benar terjadi. Mereka kesulitan menemukan penginapan, mengingat waktu sudah menunjukan pukul 00:34 dini hari. Lelah dan penat dirasakan gadis yang tengah mengenakan setelan berwarna pink itu.
"Apa yang harus kita lakukan Kak? Seperti yang sudah kubilang, kita tak akan mudah menemukan penginapan jika sudah menjelang pagi seperti ini!" Tak urung, Zara sempat naik pitam, hingga srdikit meninggikan nada bicaranya.
Mendengar ucapan sang gadis, Sandy justru tergelak. "Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, jika kau tak perlu khawatir." Tanpa babibu, Sandy melajukan mobil dengan kecepatan penuh dan mengarahkannya, untuk memasuki area parkir hotel.
Zara mengamati area sekitar, keningnya berkerut dalam kala sadar tempat apa yang mereka singgahi. "Kita kehotel Ka?"
Sandy mengangguk. "Iya. Malam ini, dengan sangat terpaksa kita akan melepas lelah di hotel." Terlihat dengan jelas sudut bibir pria muda itu berkedut, menahan tawa.
"Tapi Ka,
"Jangan banyak bicara! Masih untung aku memperlakukanmu dengan baik dan tidak membiarkanmu tidur dijalanan." Berucap dengan nada ketus, Sandy membuka pintu mobil dan meninggalkan Zara yang tengah dilanda kebingungan, tanpa kata. Berjalan kearah bagasi mobil dan menurunkan kedua tas besar milik Zara dengan kedua tangan.
Dengan langkah gotai, Zara hanya mampu mengekori langkah pria didepannya tanpa banyak bicara. Kala berada didepan meja Resepsionis pun, Zara tak hentinya melepar pandangan tak percaya kearah Sandy. Bagaimana tidak, pria yang dulunya tingal satu kampung dengannya dan mengaku sukses merintis karir dikota itu hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua.
Meski menyimpan sejuta kesal, Zara tak ingin lebih dulu mengecap buruk pria yang tengah bersamanya itu. Ia cukup tahu, akan kepribadian Sandy semasa dikampung yang tak banyak tingkah.
Pintu kamar terbuka lebar. Ruangan bercat putih dengan ranjang dan seprai berwarna senada itu tampak sangat nyaman untuk melepas lelah. Sandy menutup pintu tanpa suara, kala keduanya sudah berada didalam ruangan. Dan menurunkan kedua tas Zara kelantai begitu saja.
Zara menyapu pandang keseluruh ruangan, memunggungi sandy yang berada dibelakangnya.
Serigai iblis tersungging di bibir tebal Sandy, merasa gadis di depannya itu lengah, pria berkemeja itu menyergap tubuh Zara dari belakang, dan mendekapnya erat.
Zara yang terkesiap dan belum sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi pun tak mampu berbuat banyak. Dekapan lengan kekar Sandy, benar-benar mengunci pergerakan tubuhnya.
Berteriak pun percuma, sebab satu telapak tangan Sandy dengan sigap membekap bibir Zara yang hendak terbuka. Dari arah belakang, Zara dengan jelas mampu merasakan hebusan nafas Sandy yang terasa hangat di area leher belakangnya. Bahkan dengan tak tahu malunya pria bertubuh tinggi itu mulai mencium puncak kepala Zara, dengan penuh gairah.
Merasa terancam, gadis bersurai sepinggang itu tak hilang akal. Dengan sekuat tenaga, ia menghentakkan satu kaki yang beralaskan sepatu tepat dikaki Sandy, hingga pria itu pun meng-aduh dan mengendurkan cengkeraman tangannya.
Sadar jika Sandy sedikit terpancing dengan ulahnya, Zara menghujamkan sikunya kearah dada sebelah kanan sang pria. Ketika rengkuhan tangan benar-benar terlepas, Zara memutar tubuh, menghadap Sandy. Dan mengarahkan sebuah tendangan tepat diarea vital milik Sandy.
Raungan dan umpatan kasar terlontar tanpa kendali dari bibir tebal Sandy. Menggengam erat perut bagian bawahnya, menahan rasa sakit tak terperi. Sementara Zara yang sekujur tubuhnya gemetar hebat pun sadar, jika harus secepatnya melarikan diri.
Tubuh mungil gadis itu bergerak cepat, dan berlari kearah tas miliknya. Namun sayang, akibat terburu-buru Zara hanya sempat menarik hanya satu tas. Beruntunglah, Sandy tak sempat mengunci pintu. Hingga dengan satu kali gerakan, pintu berwarna putih itu pun terbuka.
Sandy benar-benar merutuki kebodohannya. Berusaha hendak mengejar sang gadis, namun sakit yang teramat sangat dibagian alat vitalnya, memnyulitkan pergerakannya. Sumpah serapah tak hentinya terucap, kala menatap tubuh Zara yang perlahan menghilang dibalik pintu hotel.
"Sialan kau Zara! Aku tidak akan pernah melupakan kejadian ini. Pergilah, aku yakin jika kau akan hidup menjadi gelandangan tanpa aku dikota ini." Rahang Sandy mengetat, kobaran kebencian menyala jelas dikedua netranya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Retno Elisabeth
menarik ceritanya thor
2023-04-30
0
fifid dwi ariani
trus sehat
2022-11-23
0
Amanda Veron
SendygatelYa
2021-06-26
0