Zara sangat tak sabar menunggu pagi hari datang. Bahkan semalam pun tidurnya terbilang tak lelap, hingga menyisakan lingkaran gelap di seputar netranya. Selepas membersihkan tubuh, gadis dengan surai setengah basah itu terlihat duduk di depan meja rias seraya memoles wajahnya tipis dengan bedak. Hingga kulit yang semula tampak pucat itu, mulai tampak segar.
Bi Surti, sang kepala pelayan yang tanpa sengaja melintas di depan kamar dengan pintu sedikit terbuka itu menghentikan langkah. Sedikit memutar kepalanya dan mendapati sesosok gadis bertubuh mungil dengan balutan jumpsuit berwarna biru muda yang melekat pas dikulit putih bersihnya.
Terulas senyum tipis di sudut bibir wanita paruh baya berpakaian rapi itu. Sedari pertama bertemu, Surti meyakini jika Zara ialah gadis baik hati yang terpaksa hidup terlantar di ibukota.
"Zara," sapa Surti saat gadis bernama Zara itu, tak menyadari akan kehadirannya.
Gadis itu spontan mengeser pandang, saat seseorang menyebut namanya. "Bi Surti."
"Boleh Bibi masuk?"
"Tentu saja Bi," balas Zara dengan melangkahkan kaki menghampiri tubuh surti yang masih berdiri di balik pintu, lantas menarik lembut tangan yang sudah keriput itu dan membawanya duduk disebuah sofa yang berada di dalam kamar.
"Bibi lihat, Nak Zara sudah terlihat rapi? Apa Nak Zara ingin mencari udara segar di luar atau pergi kesesuatu tempat? Tapi, bukankah akondisi tubuh Nak Zara masih belum pulih benar?" Wajah pucat gadis itu masih terlihat, hingga menyisakan guratan kecemasan bagi Surti.
Zara tersenyum lebar, hingga menampakkan jajaran gigi putihnya yang rapi. "Zara akan kembali tinggal di toko bunga Bi. Lagi pula, Zara pun sudah merasakan lebih baik dan bisa beraktifitas lagi seperti biasanya."
Zara sebisa mungkin menutupi masalah pribadinya dari siapa pun, termasuk Surti.
"Tapi sepenglihatan Bibi, kondisimu tak sebaik itu Nak. Di toko pun, dirimu hanya tinggal seorang diri. Kau pasti akan kesusahan, jika sewaktu-waktu kau kembali tak sadarkan diri." Surti nampak beberapa kali menghela nafas berat. Mengingat selemah apa keadaan Zara, saat pertama memasuki kediaman Tuan dan Nonanya.
Zara menautkan jemarinya pada jemari kusam milik Surti. Gadis itu tersenyum haru menyadari jika perempuan paruh baya itu mengkhawatirkannya.
"Bi Surti tenang saja. Akan Zara pastikan jika semuanya baik-baik saja tanpa terkendala suatu apa pun."
Meski ragu, namun Surti mempercayai ucapan gadis yang tengah bersamanya. Meski bertubuh mungil, Zara bukanlah sosok yang lemah. Gadis itu kokoh bak karang di tepian lautan. Tak mudah terkikis atau pun hancur oleh terpaan gelombang.
"Baiklah kalau itu sudah menjadi keinginan Nak Zara, dan apakah Nona dan Tuan sudah mengetahui tentang ini semua?"
Zara menggeleng samar, "Belum Bi, aku memang belum sempat mengatakannya. Tapi aku yakin, jika Nona dan Tuan pasti akan mengizinkannya."
Meski Nona Anastasya menahanku dengan sekuat tenaga untuk tetap tinggal di tempat ini, aku pun akan sekuat tenaga menolaknya.
*****
Untuk beberapa saat, Zara hanya mematung di depan pintu kamar bercat emas dengan ukiran rumit milik Anastasya. Rasa ragu menyelinap saat kedua jemari tanganya berniat untuk mengetuk. Namun tekad yang dimiliki mengalahkan rasa ragu yang beberapa saat sempat menyergap. Hingga jemarinya terangkat dan membentur pintu berbahan kayu itu beberapa kali.
Pintu itu samar terbuka tanpa suara. Wajah Anastasya muncul dari balik pintu yang kini mulai dibuka lebar. Keduanya saling bersitatap, namun beberapa detik kemudian pandangan mereka sengaja dialihkan untuk mengusir kecanggungan.
"Zara, masuklah." Anastasya lebih dulu meninggalkan Zara yang masih berdiri terpaku untuk duduk di sofa. "Kemarilah," pinta Anastasya.
Zara mendekat dan mendaratkan tubuhnya dengan hati-hati di sofa berwarna putih itu.
"Nona."
"Maafkan atas semua ucapanku tempo hari. Aku tau jika kau marah padaku dan ingin segera pergi dari rumah ini."
Zara menelan salivanya dengan susah payah, "Bukan maksud saya seperti itu Nona, hanya saja---
"Aku tau Zara, kau masih terlalu muda untuk bisa memahami semuanya." Anastasya mengusap bahu Zara lembut. "Sekali lagi maafkan aku," sambung Anastasya.
Setidaknya Zara bisa bernafas lega. Pasalnya gadis itu sempat berfikir jika langkahnya akan dipersulit untuk bisa keluar dari istana megah milik Anastasya.
"Perihal permintaan yang Nona ucapkan tempo hari, saya meminta maaf yang sebesarnya karna tak bisa menerima itu semua." Zara menundukan pandangan, enggan untuk menatap kedua netra Anastasya. Begitu pun sebaliknya, Anastasya lekas membuang pandangannya kesegala arah sebelum menjawab pernyataan Zara.
"Sudah, lupakan semua ucapanku tempo hari padamu. Anggap saja jika aku tak pernah mengatakannya."
Tapi aku masih belum menyerah Zara.
Zara tersenyum lega. Wajah cantiknya kian bertambah manis dengan dua lesung yang menghias indah di pipinya.
"Nona pasti tak akan melarang jika saya berkeinginan untuk kembali tinggal di toko bunga."
"Apa kau yakin?" Terbesit rasa khawatir pada diri Anastasya akan keputusan sepihak Zara yang terbilang mendadak.
"Percayalah Nona, saya akan baik-baik saja. Lagi pula saya tidak akan sendirian. 4 penjagaan keaman akan selalu menjaga saya," ucap Zara meyakinkan Anastasya.
Anastasya diam sejenak, nampak tengah berfikir dalam. "Baiklah, kalau itu keinginanmu. Aku pun tak berhak untuk menahanmu untuk tinggal bersamaku di rumah ini."
Anastasya merentangkan kedua tangannya dan memeluk Zara erat. Zara yang sempat tak menyadari akan didekap erat oleh sang Nona pun terkesiap, namun tak menolak. Entah mengapa dekapan tangan Anastasya, membuat gadis mungil itu nyaman dan merasa terlindungi. Untuk beberapa saat keduanya enggan untuk saling melepaskan, seolah tak ingin terpisahkan.
*****
"Berhati-hatilah. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu. Masih banyak urusan yang perlu aku selesaikan. Seorang sopir akan mengantarmu." Anastasya mengandeng tangan Zara menuju halaman rumah dimana sedan berwarna hitam dengan sopir tengah berdiri di samping pintu.
"Terimakasih banyak Nona."
Sopir berpakaian serba hitam itu membukakan pintu belakang, disusul oleh Zara yang bergerak memasuki mobil. Pintu tertutup, sopir terlebih dahulu menundukan kepala sopan kepada Anastasya sebelum kembali mengatur kemudi dan meninggalkan kediaman mewah Anastasya.
Kuda besi yang membawa Zara kembali ketoko, berjalan sedang hingga menghilang di balik gerbang utama. Anastasya masih berdiri mematung di tempatnya. Bukan hanya tubuh, pandangannya pun tetap tak bergerak.
Seolah merasakan hal yang sama, seorang pria berbadan tegap tengah berdiri di balkon lantai tiga. Tatapannya kosong, sementara kedua tangannya mencengkeram kuat pagar besi, seolah menahan suatu rasa yang tak bisa ia gambarkan. Menatap sedan hitam dengan membawa seorang gadis di dalamnya yang semakin jauh meninggalkan kediamannya.
Kakak readers baca juga karyaku yang lain
Seberkas Cahaya
Istri Culun Tuan Narsis ___ By. Maililiani
Terimakasih ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Lena Sari
masa lalu seperti apa yg nona Anastasya sembunyikan???
2022-12-31
0
Benazier Jasmine
semoga anastasyah tdk memanfaatkan zara, kasian zara gadis baik2
2022-10-12
0
Nartyana Gunawan
thor yang baik hati,aku setia baca karyamu terutama seberkas cahaya,tapi kenapa belum di up lagi ya thor, aku tunggu next up nya
2021-05-18
0