Bulu mata lentik nan indah itu bergerak, seirama pergerakan netra yang mengerjap perlahan, menyesuaikan pendar cahaya lampu ruangan yang menyusup indra penglihatan gadis cantik yang baru saja tersadar.
Jemari mungilnya terarah memijat pelipis yang masih menyisakan sedikit rasa nyeri di kepalanya. Sementara pandanganya menyapu sekeliling ruangan yang terasa asing baginya. Dahinya berkerut dalam hingga membentuk beberapa lapisan, mengingat kembali sesuatu yang terjadi sebelum dirinya berada di tempat ini.
Apa yang sudah terjadi, kenapa aku sampai disini?
Pintu ruangan samar terbuka. Seorang perempuan muncul diiringi seorang pria yang berjalan di belakang.
"Zara, kau sudah sadar," ucap Anastasya saat mendapati kedua netra Zara yang tampak terbuka.
Zara menggeser pandangan pada arah suara.
Nona Anastasya dan suaminya? Ya.. sekarang aku ingat semuanya, dan kenapa lagi-lagi aku merepotkan mereka.
"Sudah Nona." Suara Zara terdengar lemah. Sesekali gadis cantik itu meringis menahan rasa sakit yang masih tersisa. Berusaha mengerakkan tubuh untuk berusaha bangkit.
"Hei, jangan banyak bergerak dulu. Badanmu masih lemah," cegah Anastasya. Dirinya berlari kecil kearah tepi ranjang saat melihat gadis yang tengah terbaring itu berusaha keras untuk bangkit.
"Saya sudah merasa lebih baik Nona. Bukankah sebaiknya jika kita pulang saja," pinta Zara dengan raut wajah mengiba. Sebenarnya ia sangat tak menyukai berada di tempat semacam ini. Ditambang selang infus yang menancap di punggung tangan yang serasa membelenggu pergerakannya.
"Tapi kau masih terlihat lemah. Seperti ucapan Dokter yang memintamu tetap dirawat, setidaknya sampai esok hari," jelas Anastasya yang tak menyetujui permintaan Zara, menggingat wajahnya yang masih tampak pucat.
"Tapi Nona, saya pun bisa kembali sehat jika dirawat di rumah dan tidak di tempat ini." Zara mengedarkan padangan kesekitar ruangan, yang gadis itu yakini sebagai ruang perawatan VVIP yang cukup luas dan bersih. Sofa dan televisi beserta fasilitas lengkap lain pun berada di dalam ruangan bercat warna kalem tersebut.
Anastasya menghela nafas dalam, ekor netranya melirik ke arah sang suami yang tengah duduk di sofa dengan surat kabar di tangannya.
"Bagaimana Arka, apa kita ikuti saja keinginan Zara? Sepertinya dia tidak menyukai tempat ini." Anastasya meminta persetujuan pada suaminya. Dirinya tak ingin mengambil keputusan tanpa memikirkan akibatnya.
Arka yang sempat memfokuskan pandanganya pada surat kabar ditangannya, kini melipat kertas berukuran lebar itu menjadi lebih kecil dan meletakkannya di meja. Pandangannya beralih pada kedua perempuan berbeda usia yang juga tengah menatapnya.
"Selama tetap beristirahat dan mengatur pola makan dengan baik, aku rasa di tempat ini atau pun di rumah, tidak ada bedanya." Begitulah kata-kata yang terlontar dari bibir Arka. Meski terkesan datar dan biasa saja, namun ucapan itu nyatanya mampu membuat bola mata Anastasya membulat sempurna, merasa tak percaya. Belum pernah sekali pun Arka memperdulikan wanita selain dirinya semenjak dua tahun belakangan ini.
"Jadi kau menyetujuinya," ucap Anastasya tak percaya.
Tanpa menjawab, Arka hanya mengganguk samar. Itu pun sudah menjawab semua pertanyaan, jika pria tampan itu menyetujuinya.
Meskipun sempat berdebat dengan beberapa Dokter yang sempat menahan kepulangannya, mengingat kondisi pasien yang masih lemah dan memerlukan proses pemulihan, namun setelah bernegosiasi dan berjanji mengunakan sebagian besar waktunya untuk beristirahat serta mengonsumsi vitamin dan obat sesuai resep, Zara mendapatkan ijin untuk pulang.
Bersama dengan Anastasya dan Arka, Zara duduk di kursi penumpang di sebuah mobil yang akan mengantarkan gadis itu pulang. Di sepanjang jalan, sepasang suami istri di kursi depan saling diam. Tak ada perbicangan apa pun dari bibir keduanya.
Sementara Zara di kursi belakang, hanya menatap kosong pemandangan luar dari arah kaca. Entah apa yang tengah gadis itu fikirkan. Seolah tak ingin saling mengusik, ketiga hanya saling diam, hingga mobil yang mereka tunggangi memasuki gerbang sebuah rumah.
Gadis mungil yang masih setengah sadar itu tersentak. Dia tersadar jika Anastasya tak membawanya pulang kembali ketoko, melainkan kesebuah rumah yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Anastasya dan Arka sudah menuruni mobil. Dirinya yang masih terperanggah, masih mematung pada tempatnya.
Pintu mobil terbuka. "Zara, mari aku bantu." Anastasya mengulurkan tangan rampingnya untuk membantu Zara bangkit.
"Tidak usah Nona, saya sudah merasa lebih baik," tolak Zara dengan suara lembutnya, namun tetap menyambut uluran tangan Anastasya dan menggengamnya erat.
"Ayolah, kau tak akan pernah bisa menolak permintaaku." Serigai kemenangan tercetak di bibir tipis Anastasya. Merasa senang sebab gadis mungil itu tak pernah mampu untuk menolak apa pun darinya.
Arka berjalan lebih dulu memasuki rumah utama, di susul Anastasya dan Zara yang mengekorinya. Beberapa pelayan wanita berseragam rapi tampak berjajar menyambut kedatangan sang pemilik kediaman.
Zara tak hentinya berdecak kagum mendapati bagunan megah berlantai tiga yang lebih nampak seperti istana. Rumah mewah bergaya eropa dengan beberapa pilar penyangga berukuran besar yang menjulang tinggi dari dasar tanah hingga lantas atas rumah. Juga memiliki ukiran cantik di sekitar jendela berukuran besar dengan warna mengkilap seperti emas. Sunguh bagunan yang luar biasa megah.
"Selamat sore Nona," sapa seorang pelayan paruh baya bertubuh tambun dengan rambut tertata rapi itu ramah, lalu menundukan kepala sopan diikuti para pelayan lain.
"Sore." Anastasya menarik tangan Zara sedikit kuat, saat menyadari bahwa gadis tersebut menujukan pandangannya kearah lain. "Bibi, tolong persiapkan kamar untuk tamu saya. Dia sedang sakit dan butuh banyak istirahat," titah Anastasya kepada beberapa pelayan yang menyambutnya.
Merasakan sebuah tarikan tangan dari Nonanya, Zara tersadar dari keterkagumannya pada bangunan luar biasa mewah ini. Senyumnya melebar, dan menundukan kepala kearah para pelayan. Namun beberapa detik berikutnya gadis itu tersadar, kala menemukan seraut wajah dari para pelayan berseragam biru tua itu yang nampak tak asing baginya.
"Bibi." Kedua netra Zara berbinar tak percaya. "Bibi malaikat penolongku waktu itu kan?" Zara lantas menghampiri pelayan paruh baya yang masih belum mengenalinya itu.
Seolah menemukan kembali ingatannya, Bibi pelayan itu pun tak kalah terkejut, dan spontan mendekap tubuh mungil zara dalam pelukannya. "Nak Zara," ucap Bibi pelayan lirih. "Kenapa Nak Zara bisa sampai kerumah ini." Bibi itu melepaskan pelukan setelah beberapa saat.
"Saya bekerja pada Nona Anastasya Bi." Menunjuk Anastasya yang berdiri dengan raut wajah bingung.
"Kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?"
Bibi pelayan itu mengangguk sebagai jawaban. "Sudah Nona. Sebuah pertemuan yang tanpa sengaja." Jawaban Bibi pelayan itu tak urung menciptakan senyum ceria di bibir mungil Zara. Serupa dengan gadis mungil di sampingnya, Anastasya pun terlihat ikut menikmati raut wajah bahagia dari kedua orang yang cukup dekat dengannya. Hingga senyum itu tertular padanya dan bisa sedikit mengobati lara di hatinya.
*****
Dua hari berlalu, Zara sudah terlihat lebih segar dan bugar. Istirahat cukup dengan mengonsumsi vitamin tepat waktu membuatnya lekas pulih berkat bantuan Anastasya dan Bibi pelayan. Gadis itu pun tampak bersemangat dan sudah tak sabar untuk mulai kembali bekerja.
"Nona, aku sudah tak sabar ingin cepat-cepat bekerja kembali," ucap Zara saat dirinya tengah menikmati secangkir teh sembari menatap langit senja di balkon lantai tiga bersama Anastasya.
Anastasya terdiam beberapa saat, terlihat tengah memikirkan sesuatu namun tak berniat untuk menanggapi ucapan gadis di depannya.
"Zara."
"Iya Nona."
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu." Anastasya terlihat menarik nafas dalam.
"Tentang apa Nona?"
"Bukankah kau tak pernah bisa untuk menolak keinginanku," gumam Anaatasya.
"Iya Nona. Lalu," balas Zara lirih.
"Maukah kau mengabulkan satu lagi keinginanku?" Anastasya menatap lekat wajah gadis bersurai hitam legam itu. Seolah berharap jika sang gadis mau mengabulkan keinginannya.
"Apa Nona?"
Anastasya meraih kedua tangan Zara yang berada di atas meja dan menggengamnya.
"Menikahlah dengan suamiku."
"Apa?" Zara luar biasa terkejut. Menarik paksa kedua tangannya dari genggaman Anastasya secepat kilat dan menyimpannya di bawah meja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Benazier Jasmine
apa Anastasya tdk bs pny anak, kok nyutuh zara nikah sm suaminya
2022-10-12
0
Nartyana Gunawan
bom like buat kamu thor
2021-05-18
0
Akhmad Hadziq
dak dik duk derrrr thor hati quu🙄🙄🙄
2021-04-15
0