Dua bulan berlalu, kehidupan Zara tetap tak berubah. Bahkan kini terkesan memilukan. Hidup di kota besar tanpa pekerjaan dan penopang, dalam menjalani hidup yang teramat berat ini. Meski sudah hilir mudik mencari pekerjaan dari satu tempat ketempat lainya, namun tanpa hasil. Bahkan tenaga pembersih pusat perbelanjaan ataupun restoran, enggan menerima karyawan yang sama sekali tak mempunyai riwayat pendidikan.
Pasrah. Mungkin hanya satu kata itu yang mampu Zara lakukan.
Bersandar pada dinding usang kontrakan, dengan kepala mendongak keatas, menatap nanar langit-langit ruangan. Gadis bertubuh mungil itu, menerawang jauh akan kelanjutan hidupnya kelak.
Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Zara. Uangmu bakan kian menipis dan terancam diusir dari kontrakan akhir bulan ini, jika kau tak mampu membayar sewanya.
Zara memejamkan rapat kedua netranya. Buliran bening pun perlahan mengalir di sudut netra yang terkatup, tanpa mampu ia tahan.
Tubuh gadis manis itu terperanjat, tatkala pintu kontrakan bercat putih itu diketuk cukup keras dari arah luar. Bangkit dari posisinya semula, Zara lekas mengusap sisa air duka, dikedua sisi pipinya, sebelum berlari kecil kearah pintu.
Pintu terbuka perlahan. Netra bening Zara bersiborok dengan kedua netra perempuan paruh baya bertubuh tambun yang menatapnya tajam. Zara menelan ludahnya kasar, kala mendapati siapa pemilik tubuh di balik pintu.
"Bi Murti," ucap Zara sopan, pada sang pemilik kontrakan. "Mari masuk bi," membuka pintu lebih lebar dan mengeser tubuhnya untuk memberi jalan.
Alih-alih menjawab sapaan, perempuan paruh baya dengan riasan cukup tebal itu, justru menatap sinis Zara dengan bersedekap dada. "Tak usah ramah tamah menyambutku, toh itu semua tak akan mengurungkan niatku, untuk tetap menangih uang sewa kontrakan padamu yang sudah melewati jatuh tempo."
Zara terdiam, dengan wajah tertunduk dalam. Dirinya benar-benar tak memiliki cukup uang untuk membayar sewa rumah. "Apa tidak ada kelonggaran waktu lagi bi, saya akan berusaha mencari pekerjaan dan membayar sewa rumahnya."
Mendengus kesal, Murti serasa enggan untuk menatap gadis menyedihkan di depannya ini. "Mau berapa lama lagi, aku memberikan kelonggaran waktu padamu? Lagi pula, kau pun tak bekerja, lantas dari mana kau bisa menghasilkan uang dan membayar sewa kontrakan padaku."
Tak ada celah sedikit pun bagi Zara untuk membela diri, sebab semua ucapan Murti memang benar adanya.
"Begini saja, aku beri kau waktu hingga besok sore. Jika kau masih belum bisa membayarnya, maka jangan salahkan aku untuk tak menyeret paksa dirimu keluar dari kontrakanku ini! Permisi." Selepas berucap, Murti membalikkan tubuh dan dengan cepat meninggalkan Zara yang masih terpaku di tempatnya, dengan tubuh lunglai.
****
Ini adalah tempat kesepuluh yang kudatangi. Kalaupun aku diterima, mustahil bisa mendapatkan uang untuk membayar kontrakan dalam dua hari.
Gadis dengan kemeja putih berlengan panjang dan celana bahan berwarna hitam itu tengah mematung di depan bangunan pusat perbelanjaan. Ingin melangkah kedepan, namun tangan besar tak kasatmata, serasa menahannya.
Mengepalkan kedua tangan, gadis dengan surai diikat ekor kuda itu, menyemangati dirinya sendiri. Berjalan seolah tanpa beban menuju pintu utama, dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan.
Sepuluh menit berlalu, Zara keluar dari pintu pusat perbelanjaan dengan wajah masam. Lagi-lagi ia merasakan kecewa.
Apa benar-benar tak ada satu tempat kerja pun, yang mau menerimaku. Aku memang tak mempunyai lembaran kertas apapun yang tersisa, sebagai bukti jika aku memang pernah mengenyam pendidikan di bangku SMA. Tapi setidaknya lihat dulu hasil kerjaku, baru mereka bisa putuskan.
Zara tak hentinya bergumam dalam hati. Selama dua bulan berlalu, tak sekali pun ia bertemu dengan sosok Sandy. Meski menyimpan kebencian yang mendalam, setidaknya ia bisa meminta kembali barang yang sempat tertinggal bersama pria itu, jika mereka kembali bertemu.
Zara menatap langit yang mulai keemasan di ufuk barat, pertanda senja mulai menyapa. Dengan langkah gontai, gadis berparas ayu itu menyusuri pinggiran trotoar menuju arah jalan pulang. Jika hari ini bukanlah menjadi keberuntungan baginya, maka ia akan mencobanya lagi esok.
*****
Zara menghela nafas dalam, sebelum melangkahkan kakinya menuju jalan sempit kontrakan. Mungkin ini akan menjadi hari terakhirnya menempati bangunan berukuran mungil itu, sebelum benar-benar diusir paksa oleh Murti.
Berbaur dengan para penumpang lain di dalam sebuah angkot, beberapa kali Zara nampak menarik nafas dalam, terfikir akan beban berat yang ditanggungnya. Hingga angkot menepi di sebuah restoran cepat saji.
"Sudah sampai mbak," ucap sang sopir selepas mematikan mesin kendaraanya.
Tepukan ringan di bahu, menyadarkan gadis yang tengah melamun itu.
"Sudah sampai nak. Apa kau tidak ingin turun?" Pria paruh baya yang duduk persis di samping Zara, berucap ramah. Menyadarkan gadis di sampingnya.
Zara terkesiap, menatap sekeliling dengan ekspresi bingung. "Maaf Pak, saya melamun." Gadis berkemeja hitam polos dengan lengan sepertiga itu pun lantas menuruni angkot dan memberikan selembar uang pada supir angkot, sebelum berlalu pergi.
******
Tanpa rasa bosan, Zara mengunjungi satu tempat ke tempat lainya. Hingga berakhir di tempat makan ini. Salah seorang pelayan perempuan nampak menatapnya dari kejauhan. Tak berapa lama, pelayan berusia cukup muda itu mendekat. "Maaf Kak, apa ada yang bisa saya bantu?" Ucap pelayan itu ramah.
Zara tersenyum simpul, dan tampak antusias. "Maaf sebelumnya Kak, apakah tempat ini masih membutuhkan tenaga kerja?"
Sang pelayan mengamati penampilan Zara dari kaki hingga puncak kepala. "Maaf Kak, untuk kali ini kami masih belum membutuhkan tenaga kerja baru. Mengingat pandemi yang masih belum berakhir hingga restoran kami sepi pembeli, bahkan nyaris tutup. Maka dari itu, sang pemilik resto berniat untuk tak menambah pekerja selama pandemi belum benar-benar berakhir." Secara gamblang pelayan perempuan itu menjabarkan alasannya. Bukan ingin menolak secara mentah-mentah, namun dengan sedikit penjelasan yang masuk akal, setidaknya membuat Zara tak terlalu kecewa.
"Baik Kak, saya mengerti." Selepas berucap, Zara memutar tumit dan meninggalkan lawan bicara tanpa berbalik lagi. Kecewa dan merasa tak berguna, berbaur menjadi satu. Terus melangkahkan kaki tanpa arah tujuan.
Peluh mulai membanjir diseluruh tubuh. Teriknya sang mentari, serasa menyengat kulit. Merasa lelah, gadis ayu bertubuh mungil itu, menghampiri sebuah kursi yang terletak di bawah pohon rindang, samping trotoar. Mendaratkan tubuhnya dikursi kayu bercat putih itu dengan hati-hati.
Setidaknya, aku bisa melepas lelah sebentar.
Tak berapa lama, muncul bocah laki-laki berumur 10 tahun, nampak membawa berbagai macam barang, layaknya pedagang asongan. Menatap sejenak kearah Zara yang tengah menikmati semilir angin yang mulai mengeringkan titikan peluhnya.
Bocah itu pun tersenyum lebar, dan mulai mendekat.
"Kakak, apa Kakak cantik ini tengah kehausan,?" bocah itu pun menunjuk beberapa botol air mineral yang dia bawa untuk diperlihatkan pada Zara yang nampak terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba. "Aku menjual air mineral, untuk melepas dahaga." Bocah itu tersenyum polos layaknya anak-anak seusianya. Tanpa rasa beban, meski tengah bekerja.
Meski terkejut, Zara cukup terhibur dengan kedatangan bocah yang tampak berwajah ceria itu. "Boleh, Kakak ingin air mineral itu saja," ucap Zara sembari menunjuk kearah botol minum, dengan senyum tak luntur di bibir mungilnya.
"Baik Kak," bocah itu pun dengan cekatan mengambil botol yang diinginkan oleh Zara. Dan mengulurkanya dengan kedua tangan. "Apa Kakak cantik ini tengah menunggu seseorang?" Tanya anak dengan pakaian kumal itu.
Sembari meraih pemberian botol air mineral, Zara mengamati daerah sekitar, di mana tempatnya berada kini. Gadis manis berlesung pipi itu menelan ludahnya kasar. Pasalnya kini dirinya berada diluar gerbang area pemakaman, dengan pagar tinggi menjulang.
Astaga.. Kenapa aku sampai tak sadar berada ditempat ini.
"Tidak Dik, Kakak hanya tengah melepas lelah saja. Tak ada keluarga ataupun teman yang ditunggu. Kakak seorang diri."
Bocah itu pun mengangguk faham.
"Berapa harganya Dik?"
"Lima ribu rupiah saja Kak," jawab bocah itu sembari menata ulang dagangannya.
Zara membuka tas dan mencari keberadaan dompetnya. Hatinya kian teriris, tatkala dompet miliknya terbuka lebar. Hanya tersisa dua lembar uang kertas di dalamnya. Zara menatap dompet dan bocah pedagang asongan secara bergantian. Lalu menarik selembar uang dan memberikannya pada bocah laki-laki itu.
"Sebentar Kak, kembaliannya."
Kedua tangan Zara mencengah tangan mungil legam bocah itu, kala hendak membuka tempat penyimpanan uang miliknya. "Tidak usah, untuk adik saja," tolak Zara.
Bocah itu tersenyum lembut, dengan kedua netra berkaca-kaca. "Terima kasih Kak. Semoga ALLAH selalu memberikan rizqi yang berlimpah untuk Kakak."
"Aamiin.... Aamiin..." jawab Zara lirih.
Selepas mencium punggung tangan, bocah itu meninggalkan Zara seorang diri. Kedatangan anak laki-laki itu, bagaikan setetes embun pagi yang mampu memberi kesejukan dikala rasa gersang melanda.
Hendak kembali duduk ditempatnya semula, kedua netra Zara menangkap adanya sedan hitam yang melaju kencang tak terkendali. Sementara dari arah berlawanan seorang perempuan keluar dari gerbang pemakaman, berjalan gontai dengan wajah tertunduk.
Seolah engan mengalihkan pandangan pada objek di depannya. Zara justru melihat mobil yang entah siapa pengemudinya itu, kian menambah kecepatan namun tak terarah. Sementara itu, seorang perempuan yang berjalan di seberang, masih tetap menundukan pandangan dan tak perduli keadaan sekitar.
Zara kian pucat pasi dan mencengkeram ujung kemejanya kuat. Pasalnya, dia bisa menerka apa yang sebentar lagi terjadi, jika salah satu dari mereka tetap pada keadaan seperti ini.
Satu menit. Dua menit. Zara tetap menunggu, menatap kearah sedan dan sosok perempuan di seberang secara bergantian. Gadis cantik bersurai panjang itu, tak mampu lagi menahan. Hingga berlari dengan cepat kearah sang perempuan pejalan kaki dengan cepat.
"Awas nona!!" Pekik Zara, sementara kedua tangannya refleks mendorong tubuh perempuan yang masih tertunduk itu cukup keras. Hingga keduanya tersungkur di pinggiran trotoar.
Klakson mobil tak hentinya terdengar, beserta umpatan kasar yang terlontar dari pengemudi sedan ugal-ugalan, tak sadar akan ulahnya yang mampu mengancam nyawa orang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus bahagia
2022-11-23
0
Anonymous
kalau kejadiannya sgt cpt bkn satu menit dua menit unt berfikir menolong tp satu detik dua detik unt sgr menolong thor
2021-06-14
0
☠ᵏᵋᶜᶟoffdll⍣⃝𝑴𝒓🕊️⃝ᥴͨᏼᷛ𝕸y💞
wach jalan cerita nya seperti nyata ia 😁😁
2021-04-08
0