Alis memperhatikan keadaan kafe yang sangat ramai . Bahkan Alis tidak segan untuk membantu mengantarkan pesanan walaupun ia sebenarnya adalah pemiliknya. Ya! Kafe ini adalah salah satu kafe milik Alis, yang kepemilikannya sengaja di rahasiakannya. Hanya tangan kanan dan bawahannya saja yang mengetahuinya. Ia tidak ingin orang-orang tahu dengan dirinya dan mengekposnya kedunia berita ataupun gosip karena sejak awal ia sangat menghindari semua itu.
"Ini pesanan untuk meja nomor berapa Nis?" Alis meraih nampan yang ada di hadapannya.
Anis menoleh dan tersenyum sopan ke arah Alis. "Nomor 17 Mba," sahut Anis.
"Biar aku yang antar." Alis membawa nampan tersebut dan menghampiri meja nomor 17. Ia meletakkan satu-persatu pesanan mereka tanpa sepatah katapun. Bahkan ia juga senang saat melihat tamunya tidak memperhatikan dirinya sama sekali, seolah-olah keberadaan dirinya tidak mengganggu acara mereka sama sekali.
"Selamat menikmati. Kalau ada yang kurang, kalian bisa memanggil saya." Alis mengarahkan tangannya kearah ruang dapur. Ia berbasa-basi dengan sopan di sertai senyuman yang teramat kaku.
"Hanya sebagai formalitas dalam melayani pelanggan," bisikan hati Alis menggema.
"Mba boleh minta nomor handphonenya tidak?" ucap Irfan yang sudah mengangkat kepalanya dan terkejut dengan keberadaan Alis didepannya. Ia tersenyum manis kearah Alis sambil sesekali melirik pada ketiga sahabatnya yang sudah melotot padanya. Ia sepertinya tampak jahil kali ini dengan senyum miring yang diperlihatkannya pada mereka.
Alis melirik pada Irfan kemudian mengangguk. Ia meraih sebuah kartu nama kafe ini yang terselib didalam saku bajunya dan memberikannya pada Irfan.
"Makasih Mba," Irfan tersenyum sumringah sambil meraih kertas tersebut. Sekali lagi ia melirik kearah ketiga sahabatnya dengan lirikan pongah.
Alis menganggukan kepalanya kemudian segera berlalu dari meja mereka untuk membantu mengantarkan pesanan pada pelanggan yang lainnya.
"Eh Mba tunggu!" ucap Irfan lagi yang menghentikan langkah Alis. Alis berbalik menghadap pada Irfan, ia menatap Irfan dengan penuh tanya.
"Nama kamu siapa Mba?"
"Alis! Apa masih ada yang lain?" tanya Alis datar.
"Tidak ada, hanya tanya nama, nanti aku bingung menamakan kontak kamu di handphoneku," ucap Irfan masih dengan mengumbar senyumnya.
"Kalau begitu saya permisi." Alis menganggukan kepalanya dan berlalu dari sana. Ia menggelengkan kepalanya melihat tingkah pelanggan yang beragam.
Irfan kembali tersenyum senang dan memperlihatkan kartu nama yang diserahkan oleh Alis tadi padanya dengan bangga pada ketiga sahabatnya. Ia yakin bahwa tidak akan ada yang bisa menolak pesona seorang Irfan, ia menepuk-nepuk dadanya bangga.
"Ir...fan gitu loh! Setan sekalipun selalu terpesona padaku. Termasuk juga Malaikat Penjaga Neraka." Irfan menatap kepergian Alis dan kembali menatap ketiga sahabatnya dengan kerlingannya.
Ketiganya tampak melongok melihat polah Irfan yang tampak narsis.
"Sekalian saja Malaikat Pencabut Nyawa terpesona padamu, biarlah dia menjemputmu lebih awal lagi, kami semua yang ada disini ikhlas kok," jawab asal-asalan Andra, membuat Irfan melototkan matanya dan mendelik tidak suka pada Andra.
"Bilang saja kamu iri," cibir Irfan.
"Buat apa aku iri hal yang seperti itu, receh tau!" Andra ikut mencibir.
Sementara itu, Al tampak memperhatikan Alis sejak pertama kali datang ke meja mereka tadi hingga Alis menghilang di balik tembok dapur. Al tampak terkejut dengan senyuman dan sapaan Alis yang terbilang cukup sopan walaupun sangat kaku. Ia tidak menyangka gadis itu ternyata mau membuka suaranya.
"Panjang umur dia, baru saja dibicarakan, malah muncul kesini." Aldo meraih gelas jusnya dan menyedotnya, ia tampak bersendawa setelahnya.
"Gila ! Ini nomor telpon kafe ini ternyata, bukan nomor handphonenya." Irfan mendesah kecewa sambil membulatkan matanya. Hilang sudah harga dirinya yang setinggi langit.
Seluruh sahabatnya tertawa. " Makanya jangan sok manis dan sok kegantengan," Andra mencibir ke arah Irfan. Ia bertepuk tangan karena saking senangnya melihat Irfan yang mendelik kesal padanya.
Al tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Irfan.
"Ternyata dia bisa bicara juga bahkan tersenyum walaupun senyumnya sangat kaku. Tapi cukuplah buat beramah-tamah dengan pelanggan," ucap Andra tampak menilai sikap Alis tadi.
"Ada-ada saja kamu Andra, memangnya dia robot sampai tersenyum pun tak bisa," Irfan mencibir setelah mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Andra. "Tapi sayangnya dia pelit dan irit bicara," celetuk Irfan sambil menerawang pada percakapannya dengan Alis tadi, yang sayangnya hanya di tanggapi Alis dengan anggukan saja.
"Bukannya ia di panggil dengan julukan 'Malaikat Penjaga Neraka', itukan artinya memang ia tidak pernah tersenyum, Fan," Andra semakin ngotot.
"Tapi tadi dia tersenyum kok," Irfan tersenyum miring sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
Al hanya diam dan memperhatikan perdebatan Andra dan Irfan. Ia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Sedangkan Aldo tampak tak perduli dengan perdebatan kecil mereka itu dan ia semakin asyik dengan makanan sendiri.
"Cantik sih, cantik banget malah menurutku tapi sayangnya, senyumnya kaku banget mana jarang bicara lagi, cuma mengucapkan kata 'iya' saja ia tak mampu, hanya mengangguk." Irfan kembali membuka suara sambil menerawang mengingat ekspresi wajah Alis yang kaku dan sulit tersenyum.
"Mungkin dia lagi sakit gigi kali ya atau mungkin juga sariawan." Andra tampak tertawa dengan argumennya sendiri. Mulai lagi deh.
"Kok kalian dari tadi terus membicarakannya, sepertinya kalian sangat mengenalnya." Al menyindir mereka berdua. Ia merasa jengah dengan topik pembicaraan mereka berdua angkat, persis seperti ibu-ibu rumpi yang sedang membeli sayur kepada salah seorang paman sayur keliling dikompleknya.
"Aku juga sih tidak mengenalnya tapi penghuni sekolah sering membicarakannya," celetuk Irfan melontarkan jawaban yang sama persis seperti jawaban Al tadi. Andra dan Irfan kembali cekikikan karena berhasil membuat Al yang tampak kesal dan mendelik pada mereka.
"Kenapa malah bahas dia sih, itu urusannya sendiri. Tau!!!" Al tampak semakin kesal.
Andra dan Irfan menampakkan cengirannya. "Karena hanya dia Al yang tidak terpesona dengan ketampanan kita semua," Irfan menjawab dengan santai.
"Tadi kamu bilang semuanya, sampai setan dan malaikat juga. Sekalian saja hunian kebun binatang juga disebut namanya." Andra mencibir lagi terhadap Irfan.
"Apaan sih." Irfan menatap kearah Andra dengan manyun.
Sementara Aldo hanya melongo ke arah mereka semua. Ia tidak menyimak pembicaraan mereka karena sibuk dengan makanan yang mubazir kalau dibiarkan. Mereka mengalihkan pembicaraan mereka dan meneruskan obrolan-obrolan ringan lainnya hingga terdengar tawa dari arah meja mereka.
💦💦💦
Di meja lain tampak sepasang mata yang terus mengamati Alis dengan senyum sendunya. Bahkan ia juga sempat mendengar obrolan Al dan sahabat-sahabatnya, karena meja yang di tempatinya tidak jauh dari meja mereka.
"Syai, andaikan aku bisa menolongmu waktu itu. Kejadiannya tidak akan seperti ini." Pemuda itu bergumam sambil menerawang kemasa lalu yang telah di alami oleh Alis. Masa-masa sulit dan ketidakberdayaan, penyesalan hanyalah tinggal penyesalan. Kejadian itu begitu membekas dihati Alis. Pemuda itu terlihat begitu kenal dengan sosok Alis.
Alis yang sekarang tidaklah seperti Alis yang dulu, sosok yang hangat dan sedikit cerewet tapi pemalu. Tapi sekarang, sosok itu sudah hilang dan di gantikan oleh sosok lain yang kaku, pendiam dan tidak suka berbaur dengan orang lain. Alis pun seolah sudah menutup kejadian kelam waktu itu hingga melupakan beberapa orang di masa lalunya bahkan ia juga menutup dirinya.
Pemuda itu mendesah untuk meredakan gejolak sakit di dadanya. Selama ini, ia terus mengawasi keberadaan Alis, dia sendiri ataupun tanpa dirinya. Ia tidak ingin muncul di hadapan Alis, mungkin bukan waktu yang tepat. Keberadaannya yang tidak diketahui oleh Alis cukup membuatnya merasa bebas untuk mengikuti Alis kemanapun ia pergi. Anggap saja ia seorang penguntit tapi itu memang kenyataannya kan.
Riyan Fawwaz Mumtazy nama pemuda tersebut dan dipanggil Riyan. Dia adalah saudara tiri Alis dan merupakan seorang ceo di perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Mereka tumbuh bersama mulai dari Alis berusia 5 tahun. Bahkan mereka saling menyayangi layaknya saudara kandung.
Tiba-tiba dering ponsel Riyan menginterupsi. Riyan tampak mendesah dan menghentikan lamunannya. Ia melihat nama pemanggilnya kemudian menggeser tombol hijau pada layar ponselnya. Rupanya, sang asisten yang memberitahukan tentang jadwal pertemuannya dengan salah satu klien yang tidak jauh keberadaannya dari tempatnya berada sekarang.
Pria itu meminum kopinya dan memanggil Waiter untuk membayar bilnya. Ia segera berlalu dari kafe tersebut.
Saat tepat ia ingin keluar kafe, tanpa sengaja ia menabrak seorang perempuan. Setelah meminta ma'af kepada perempuan tersebut ia bergegas menuju mobilnya.
Perempuan yang tidak sengaja di tabraknya tadi memperhatikannya dengan tersenyum manis bahkan ia memandang hingga mobil Riyan menghilang di tikungan jalan.
Perempuan itu masuk kedalam kafe untuk mencari keberadaan sahabatnya.
💦💦💦
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Adi Sudarmadi
17
2020-06-23
1
Wildan Hadinata
soo mangattt thor
2020-06-12
1