Di lain tempat, Bu Lastri merasa bersalah, telah melontarkan kata-kata yang sangat tidak pantas pada Reno dan Rindu. Itu semua di luar kendalinya. Andai kan kalau anak lelakinya benar-benar tak mau menginjakkan lagi kakinya di rumah itu, maka rasa kesepian Bu Lastri semakin menjadi. Apalagi, dia tidak terlalu dekat dengan semua sanak saudaranya karena sifatnya yang selalu mau menang sendiri. Ada rasa penyesalan dalam benak Bu Lastri. Tapi untuk meminta maaf pada anak dan menantunya, gengsinya masih terlalu tinggi. Dia tidak mau merendahkan harga dirinya. Sekali pun dia berada di posisi yang salah seperti saat ini.
‘Dimana-mana anak yang harus mengalah sama orang tua. Apa yang orang tua ucapkan itu harus di turuti oleh anaknya. Lagian aku juga gak macam-macam kok permintaannya. Itu semua juga untuk kebaikan dia juga. Hanya dia saja yang terlalu naif, dan takut pada istrinya. Istri kayak gitu kok masih saja di pertahanin.’ Begitu batin Bu Lastri untuk menenangkan pikirannya yang kacau.
Dia tak menyadari ada hati yang tergores akibat perkataannya yang menusuk. Bu Lastri tak sadar, kalau suatu saat dia pasti membutuhkan bantuan anak dan menantunya. Apalagi sekarang usianya sudah tidak muda lagi. Dan kesehatannya makin menurun. Tapi dia tetap sombong, pada siapa saja lawan bicaranya, atau pun tetangganya, dia selalu bilang kalau tidak mau merepotkan siapa pun apalagi anaknya, apabila suatu saat dia sakit. Dia bisa menyewa perawat atau siapa saja, yang penting ada uang. Semua karena uang. Biar uang yang bicara katanya.
Salah satu alasan kenapa dia tak menyetujui Reno menikahi Rindu juga ya karena Rindu berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tidak pantas kalau harus bersanding dengan Reno yang berasal dari keluarga berada. Bu Lastri takut, Rindu akan menguasai seluruh harta anaknya. Dan ketakutan, jatah bulanan dari Reno akan di kurangi. Walau pun sampai saat ini, semua ketakutannya sama sekali tidak terbukti. Reno masih tetap menggelontorkan dana untuk hidup sehari-hari untuk ibunya dengan jumlah yang tidak sedikit. Tetapi sifat serakahnya seakan tidak ada puasnya, sebelum semua gaji yang di terima anaknya di serahkan pada Bu Lastri semua. Dia tak mau sedikit pun hasil jerih payah anaknya, ikut di nikmati oleh Rindu.
Bu Lastri mengotak-atik ponselnya untuk mencari nomor kontak Reno, berniat memperkeruh lagi suasana rumah tangga anaknya. Dia berpikir dapat merebut kembali Reno dari istrinya. Dulu, sebelum Reno berumah tangga dengan Rindu, apa saja yang di ucapkan ibunya pada Reno, pasti Reno akan luluh dan menuruti semua perkataan ibunya. Sifat Reno menurun dari papanya. Yang mudah sekali merasa iba dan tidak tegaan. Sifat ini yang akan di manfaatkan ibunya untuk memperalat Reno. Kali ini dia akan memerankan akting seakan-akan dia adalah ibu yang sangat memperhatikan kebahagiaan anaknya. Padahal dalam benaknya, dia ingin menguasai harta anaknya dengan mudah. Karena dia tahu, untuk urusan keuangan, Reno termasuk tipe yang royal. Tetapi saat dia mencoba menghubungi Reni beberapa kali, tak sekalipun sambungan teleponnya di angkat oleh anaknya. Semakin sering dia mencoba menghubungi, tapi teleponnya tak di angkat juga. Tak biasanya Reno berbuat seperti ini.
‘Ke mana Reno itu? Pasti dia sudah termakan hasutan istrinya, sehingga tak menghiraukan panggilan dariku. Dasar perempuan picik. Harusnya dia tuh sadar diri. Dia hanya seorang perempuan kere, yang naik harkat martabatnya karena di nikahi oleh anakku. Coba kalau tidak menikah dengan anakku, dia akan jadi sampah yang teronggok. Mungkin sampai saat ini pun dia akan jadi bahan gunjingan orang lain.’ Umpat Bu Lastri. Begitu kejamnya kata-katanya.
***
Sementara di rumah Rindu. Rindu sudah terbangun dari tidurnya. Dia tak mendapati Reno di sampingnya. Badannya sudah jauh lebih segar di banding dengan sebelumnya. Dia beranjak dari tempat tidurnya, dan mencari keberadaan suaminya. Setelah mencari ke setiap sudut rumah, akhirnya dia melihat Reno tertidur di sofa ruang keluarganya. Rasanya tidak tega kalau harus membangunkan suaminya. Dia berinisiatif untuk membawa selimut dari kamarnya, untuk menyelimuti Reno. Ketika akan melangkahkan kaki menuju kamarnya, ponsel Reno yang berada di atas meja menyala. Terlihat panggilan masuk dari nomor kontak mertuanya. Dia bingung, mau di angkat, tapi takut terdengar kembali kata-kata yang tak ingin di dengarnya. Akhirnya panggilan suara itu di biarkan saja berhenti dengan sendirinya. Untung ponsel Reno dalam keadaan di silent. Jadi tidur Reno sama sekali tidak terusik.
‘Ah ... syukurlah!’ batin Rindu
Dia mengambil selimut dari dalam kamarnya. Kembali ke sofa tempat Reno tertidur. Tapi sepertinya dia sudah bangun.
“Hai mas, sudah bangun? Baru saja aku mau nyelimutin mas” sapa Rindu, sambil mengacungkan selimut yang di bawanya. Dia duduk di samping Reno
“Gimana kamu nyenyak tidurnya?” Reno malah balik bertanya. Tangannya memeluk pinggang Rindu.
“Nyenyak mas, kok bisa ketiduran di sofa sih?”
“Tadi aku minum teh, tak sengaja malah bablas ketiduran. Tuh teh nya juga masih ada.” Reno menunjuk gelas teh yang isinya masih setengahnya.
“Kok gak ajak-ajak aku sih?” rindu merajuk.
“Kan kamu tidur, mas gak tega mau ngebangunin kamu.”
“Oh iya mas, barusan ibu berkali-kali telepon kamu. Tapi tak aku angkat teleponnya.”
“Ya sudah gak apa-apa. Palingan dia nyesal dan mau minta maaf. Nanti lah, kalau mas sudah gak emosi lagi, baru mas telepon balik beliau.”
“Mas, kenapa ya, ibu kok seperti itu perlakuaannya padaku? Padahal dulu kan, dia sendiri yang melamar pada Abah dan Umi. Aku heran dengan sikap ibu padaku. Aku pun jadi serba salah. Maunya aku tuh, hubungan kita bisa akur, seperti pasangan lain pada mertuanya. Setiap aku melakukan apa saja, ada saja yang jadi bahan celaan ibu, selalu salah di mata ibu.” Rindu mengeluhkan sikap mertuanya pada Reno.
“Kita doakan saja ya sayang. Semoga suatu saat ibu bisa berubah sikapnya pada kita. Kadang mas juga capek, tiap kita ke rumah ibu, ada saja omongan yang tak mengenakkan hati. Khususnya buat kamu. Sabar ya sayang, menghadapi ibu mas yang seperti itu. Mas yakin, akan tiba waktunya ibu menyadari semua kesalahannya pada kita.” Reno mengelus punggung Rindu.
“Iya mas, selama mas selalu ada buat nenangin emosiku yang labil, aku akan sabar mas. Aku tuh sayang sama ibu mas. Bagaimana pun sikapnya terhadapku. Dia sudah ku anggap sebagai ibu aku sendiri!”
“Ya sudah mas, kita lanjutin tidur yuk, lagian ini sudah larut malam. Besok kan mas sudah mulai kerja.” Ajak Rindu, dan langsung di iyakan Reno.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments