Hari ini matahari bersinar terang. Rasa panas terasa membakar menembus kulit. Di tengah keramaian kantin, seorang gadis tengah mengomel sendirian layaknya orang gila.
"Aduh, hari ini panasnya ngalahin panasnya api cemburu," celetuk Syasa. " panas-panas gini enaknya ngeredem di air. Beuh segernya...."
Selang berapa menit, Darrel dan Ferdy terlihat berjalan bersama menuju kantin. Syasa yang tengah kepanasan, merasa sangat dingin karena hadirnya kesegaran dari wajah tampan Kang gendang.
"Hei, ngelamun aja." Darrel menarik Syasa dari alam mimpinya.
"Eh, ampun Bang jago," ujar Syasa.
Darrel tertawa mendengar Syasa kaget, sedangkan Ferdy hanya diam tanpa memperdulikan mereka.
"Ha ha ha, kamu ini. Kebiasan kalau udah kaya gitu," kata Darrel.
Kedua dokter itu duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan Syasa. Mata gadis itu tidak pernah lepas dari Ferdy. Ia bahkan membayangkan bisa mengelus sedikit saja wajah mulus Kang gendang.
"Hei, Saya lagi bicara sama kamu. Tapi!" ujar Darrel. " matanya malah ngeliatin Ferdy."
Syasa tersenyum, ia sedikit malu kepergok Darrel tengah menikmati pemandangan yang sungguh indah di matanya.
"Fer, noh Syasa liatin Lo terus," ucap Darrel.
Ferdy hanya melirik sekilas gadis yang kini tengah memperlihatkan gigi putihnya, seperti iklan pepsodent.
"Bu Mirna ke mana, Sya?" tanya Darrel.
"Oh, Emak lagi pulang dulu," sahut Syasa. " Pak Dokter mau makan apa? biar Syasa siapin."
"Aduh, kok saya berasa sedang di tanya istri saya, ya,"
"Istri gimana?"
"Ya, kan kalau yang udah nikah. Kalau pulang suka di tanya sama istrinya. Mau makan apa nanti aku siapin?" jelas Darrel.
"Cielah, kayaknya ada bau-bau udah pengen nikah nih," ledek Syasa.
"Ya, mau dong, Sya. Tapi, sayang belum ada calonnya," ungkap Darrel.
"Cari dong, Pak Dokter. Kalau diem aja mah, mana ada yang datang. Ikan aja kalau engga di kasih umpan, kagak mau nyangkul di kail,"
"Kalau kamu aja yang jadi istri saya mau engga?" tanya Darrel.
Ferdy yang tengah asyik dengan ponselnya, seketika menjatuhkan benda itu ke atas meja.
"Aduh, Pak Dokter kenapa dibanting tuh hanphone? memang dia salah apa?" tanya Syasa.
Ferdy mengambil ponsel miliknya lalu berkata, " Jari saya kegelincir."
"Ha ha ha. Pak Dokter lucu, mana ada jari kegelincir. Yang ada juga roda yang kegelincir mah. Aduh, Kang gendang Syasa tambah gemes aja," ucap Syasa.
"Saya bukan boneka,"
"Lah, Syasa kagak bilang Pak Dokter boneka juga," bantah Syasa.
"Tadi kamu bilang gemes ke saya!" tegas Ferdy.
"Ya, ampun Emak. Kok ada laki-laki yang kagak peka gini, di tambah Syasa cinta mati lagi sama ni laki-laki," gerutu Syasa.
Darrel yang mendengar itu tertawa lepas sampai perutnya merasa sakit.
"Saya ke toilet dulu. Saya sakit perut mendengar ucapan kamu, Sya," pamit Darrel.
Darrel segera bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah kaki menuju toilet. Syasa hendak berdiri juga, akan tetapi Ferdy menarik tangannya.
"Kamu bandel rupanya," ujar Ferdy.
Syasa mengerutkan kening. Dia merasa tidak pernah nakal, saat sekolah pun ia tidak pernah bolos. Bahkan Syasa sering lupa akan hari minggu, pertanda ia sangat bersemangat.
"Bandel! Perasaan Syasa mah kagak nakal, coba deh Pak Dokter jelaskan, Syasa bandel dalam hal apa?" tanya Syasa.
"Saya sudah bilang jangan menyebut nama pria lain saat bersama saya. Itu pun berlaku dengan berdekatan terlalu intens dengan pria lain," jelas Ferdy.
"Pria lain siapa? perasaan dari tadi Syasa di sini sama Pak Dokter sama Dokter Darrel," bantah Syasa. " Pak Dokter salah minum obat apa? ngomongnya ngelantur, ha ha ha."
Ferdy menatap tajam pada Syasa, membuat bulu kuduk Syasa berdiri. Dia belum pernah melihat ekspresi menyeramkan seperti ini dari Kang gendangnya.
"Eh, setan. Lu tau aja tempat enak buat ngadem. Mentang-mentang Kang gendang cakep, Lu main ngerasukin aja. Dasar setan genit," umpat Syasa dalam hati
Ferdy menggebrak meja dengan pelan, lalu berkata, " Memang kamu tidak menganggap Darrel itu seorang pria?"
"Ya, iya atuh, Pak Dokter. Kalau Dokter Darrel itu bukan pria, berarti bencong dong," celetuk Syasa.
"Kamu ini. Ingin rasanya saya membungkam mulutmu itu dengan__." Ferdy tidak meneruskan ucapannya. Takut Syasa berpikir macam-macam tentang di
"Dengan apa, Pak Dokter," ujar Syasa. " kalau dengan pancinya Kang Somay mah, Syasa kagak mau.".
"Sepertinya panci Abanng somay, lebih menakutkan untuk kamu dibanding ucapan saya waktu itu! seru Ferdy.
Syasa yang sedikit kesal dengan sikap Ferdy yang menurutnya tidak adil, segera membuka mulutnya kembali.
"Pak Dokter bilang Syasa kagak boleh deket sama pria lain, termasuk Dokter Darrel. Tapi, Pak Dokter malah asyik-asyikan gandengan tangan sama Dokter Wina. Syasa kesel!" protes Syasa.
Ferdy terdiam, otaknya bekerja mencerna perkataan Syasa. Dia tidak merasa bergandengan tangan dengan Wina, temannya itu.
"Kapan? saya tidak merasa!" bantah Ferdy.
"Ya ampun, pengen dah Syasa masuk ke kepala Pak Dokter,"
"Mau ngapain?"
"Mau jualan sate!" kesal Syasa.
"Kepala saya bukan tempat jualan," sahut Ferdy tenang.
"Syasa engga bilang gitu loh," ujar Syasa.
Ferdy sedikit memijat kepalanya. Di pastikan setelah ini, satu butir obat sakit kepala akan masuk ke perutnya. Bicara dengan Syasa, sama saja seperti sedang berdebat dalam sidang.
"Saya akan katakan sekali lagi, jika kamu tidak mau menurut. Jangan salahkan, jika saya tidak bisa menahan diri!" tegas Ferdy. "jangan terlalu dekat dengan pria lain, termasuk Darrel. Catat di otakmu itu!"
"Beri Syasa satu alasan saja. Mengapa Syasa tidak boleh dekat dengan Pak Dokter Darrel?" tanya Syasa.
Ferdy gelagapan, dia juga tidak tahu alasan kuat apa soal itu. Ia hanya tidak suka melihat Darrel sangat akrab dengan Syasa. Hatinya merasa kesal, setiap melihat mereka tertawa lepas seperti tadi.
"Saya__Saya__Saya hanya tidak suka saja, melihat anak perempuan berdekatan dengan laki-laki yang buhkan muhrimnya," kilah Ferdy.
"Lalu apa bedanya Syasa dengan Pak Dokter! Kita juga bukan muhrim kan?" tanya Syasa kembali.
Pertanyaan itu sukses menjadi cambuk untuk Ferdy. Tidak ada yang salah dengan ucapan Syasa. Memang benar mereka bukanlah muhrim, tidak ada bedanya dengan Darrel. Namun, mengapa hatinya tidak rela melihat mereka berdua.
Ferdy akui, gadis itu sudah perlahan masuk ke dalam hatinya. Syasa memiliki tempat tersendiri, dan sedikit spesial di pikiran Ferdy.
Terlebih, saat ini status Ferdy juga sedang tidak terikat pernikahan dengan siapa pun. Dia juga seorang laki-laki normal, yang tetap memiliki hasrat dan cinta.
Ferdy sedikit menyunggingkan senyum, lalu berkata, " Apa kamu ingin merubah status kita, dari bukan muhrim menjadi pasangan halal?"
...****************...
Bersambung~~~
Author minta maaf, jika selera humor Author recehan. Apalah aku yang cuman bisa seperti ini🙈
Jangan lupa like, coment dan vote, Say😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
abdan syakura
GPP Lo kak ..
ceritany bagus koq!
t3OPe
2023-01-13
0
Nur fadillah
Mauuuuuuu....Bang Gendang. ..🤣🤣🤣🤣
2023-01-04
0
Nabipa
ihirrrr
2021-06-14
0