Selama perjalanan mereka menuju kantin, Syasa tetap berceloteh. Dia seakan tidak pernah memasukkan dalam hati, tentang perkataan Ferdy barusan.
Baginya bisa menyukai Dokter tampan ini saja sudah cukup, ia tidak terlalu berharap lebih pada Ferdy. Syasa cukup sadar wanita seeperti apa dia, dia tidak layak untuk bermimpi terlalu jauh.
Momen kelam yang ia alami dulu, selalu menjadi ketakutan sendiri untuk Syasa. Dia tidak pernah berani bermimpi sekalipun untuk berdampingan dengan seorang lelaki.
Mereka baru saja tiba dikantin ketika Darrel sedang sibuk berbicara dengan Bu Mirna. Sayup-sayup terdengar ucapan Darrel.
"Kalau Ibu izinkan, saya ingin mengajak Syasa main malam ini?" ucap Darrel meminta izin pada Ibu Syasa.
Bu Mirna menatap Darrel, ia yakin Dokter ini tidak mungkin melakukan hal yang buruk pada anaknya. Bu Mirna berkata, " Baiklah, Pak Dokter saya mengizinkan. Tapi, tolong jaga Syasa anak itu kadang sering buat keributan, dan jangan terlalu malam untuk mengantar Syasa pulang.
Darrel terlihat menganggukkan kepala tanda mengerti dan setuju pada ucapan Bu Mirna. Ferdy duduk disamping Darrel, sedangkan Syasa masuk kedalam kedai.
"Tumben, Pak Dokter Ferdy kekantin. Apa tidak sedang sibuk?" tanya Bu Mirna begitu menyadari kehadiran Ferdy.
"Iya, Bu. Kebetulan pasien saya sedikit hari ini, lagian saya juga sudah lama tidak makan dikantin," jawab Ferdy.
"Lo, udah beres sembahyangnya?" tanya Darrel pada sahabatnya.
Darrel ini berbeda keyakinan dengan Ferdy, akan tetapi Darrel sangat menghormati Ferdy. Dia tidak pernah mengganggu sahabatnya saat tiba waktu sholat, begitupun Ferdy yang menghormati kepercayaan Darrel.
"Udah!" seru Ferdy.
"Dokter Ferdy mau makan apa?" tanya Bu Mirna lembut.
"Saya mau nasi, capcay sama ayam goreng aja, Bu. Jangan lupa, es jeruknya satu," pesan Ferdy.
"Baik, kalau begitu Ibu kedalam dulu sebentar, untuk menyiapkan pesanan," pamit Bu Mirna.
"Sillahkan, Bu," ucap kedua Dokter itu serentak.
Darrel menatap kedepan, melihat gadis mungil yang sedang berbicara manja dengan Ibunya. Ferdy yang sadar segera mengikuti arah pandangan Darrel lalu berkata, " Lo suka sama Syasa?"
Pertanyaan Ferdy membuat Darrel tersadar akan lamunannya, ia menoleh kesamping menatap sekilas pada sahabatnya.
"Ya, gue suka gadis bawel itu. Tapi!" ujar Darrel. " bakal susah dapetin dia, soalnya hatinya udah kaya terpaku buat Lo seorang."
Ferdy masih menatap Syasa yang kini sedang membawa nampan kearah mereka. Ferdy berkata, " Lo jangan nyerah, kan udah gue bilang. Gue cuman anggap dia adik, engga lebih."
Syasa tiba dimeja mereka, dengan telaten ia menata pesanan Ferdy dihadapan Dokter tampan itu.
"Sya," panggil Ferdy yang melihat Syasa hendak memutar badan untuk kembali ke kedai.
"Iya, Pak Dokter lucu," sahut Syasa dengan senyuman.
"Nanti malam saya jemput jam delapan malam, ya! Jangan lupa Dandan yang cantik, kita kan mau kencan!" Darrel sengaja menegaskan kata kencan agar pria disampinhnya mendengar dengan jelas.
Ferdy berusaha bersikap acuh, dia tidak ingin ikut campur urusan mereka. Akan tetapi, ada sesuatu yang dirasakan hatinya saat ini. Entah mengapa saat Syasa tersenyum pada Darrel, ia merasa sangat tidak rela melihatnya.
Dengan sigap Ferdy membuang jauh-jauh perasaan aneh itu, perasaan yang tidak seharusnya muncul dari dirinya.
"Asiap, Pak Dokter. Tapi, udah izin Emak belum?" jawab Syasa.
"Tenang, saya udah minta izin Bu Mirna barusan, beliau mengizinkan asalkan ...," lirih Darrel.
"Asalkan apa, Pak Dokter? Jangan ngegantung gitu kalau bicara, cukup perasaan Syasa aja yang digantung sama Kang gendang," gerutu Syasa.
Uhuk ... Uhuk ...!
Ferdy yang tengah makan langsung tersedak mendengar perkataan Syasa, dengan siaga Syasa segera mengambil es jeruk dan memberikannya pada Ferdy lalu berkata, " Pak Dokter kalau makan jangan cepet-cepet, Syasa engga akan ambil makanan, Pak Dokter kok."
Ferdy mengambil alih es jeruk dari tangan Syasa, kemdian segera meminumnya hampir setengah gelas habis disodot Ferdy.
"Masya Allah, Pak Dokter itu keselek apa haus sebenarnya? kok cepet amet minumnya udah kaya salah satu keunggulan pembalut aja," tegur Syasa.
"Emang apa keunggulannya, Sya?" timpal Darrel yang sedari tadi menahan tawa melihat reaksi konyol Ferdy, Darrel yakin Ferdy berasa di skakmat oleh Syasa.
"Daya serapnya yang tinggi, hehehehe." gadis itu dengan.
"Hahahahaha. Lo di samain iklan pembalut, Fer," ucap Darrel sambil tertawa yang sudah tak sanggup ia pendam lagi.
Ferdy yang baru selasai minum, menatap gadis dihadapannya yang tengah cengengesan. Ferdy menghela nafas yang berat lalu berkata, " Kamu ini, mulutnya engga pernah mau diam."
"Pak Dokter, kalau mulut Syasa diam berarti Syasa mati dong!," jawab Syasa pada Ferdy.
"Hus, engga baik bilang seperti itu," ujar Darrel.
"Maaf, Pak Dokter," cicit Syasa.
Makan siang kali ini terasa sangat menyenangkan bagi Syasa dan Darrel, akan tetapi tidak untuk Ferdy.
Selama melanjutkan pekerjaannya, Ferdy terus teringat perkataan Syasa. Gadis itu seolah-olah ingin menyampaikan kekesalannya, hanya saja caranya yang berbeda.
Pikiran Ferdy terus dipenuhi perkataan Syasa, ia lelah hari ini. Jam praktek sudah berakhir, Ferdy bernafas lega. Dia segera berjalan menuju ruangannya, melepas semua penat dan kekacauan dalam pikirannya.
Dengan satu hentakan, bokong Ferdy sudah mendarat sempurna diatas kursi. Kepalanya sakit, ini bukan seperti dirinya. Selama ini beberapa puluh gadis mencoba mendekatinya, Ferdy tidak pernah seribet ini memikirkan mereka.
Mengapa ini tidak berlaku untuk Syasa. Akhir-akhir ini semakin intens bertemu, semakin sulit baginya bersikap masa bodo pada gadis itu.
Ferdy berdecak lelah lalu berkata, "Lama-lama gue bisa gila, otak gue dipenuhi gadis itu semua. Apa sih yang sebenarnya gue mau!"
Ferdy menutup mata, mungkin dengan tidur pikirannya akan kembali normal. Setidaknya perkataan Syasa tidak terus berputak diotaknya.
Sementara itu, tepat pukul enam lewat sehabis sholat magrib. Syasa pergi ke parkiran, ia berniat mengecek Alex, motor kesayangan dirinya.
"Hai, Sayang. Apa kamu masih engga mau bangun dari tidurmu? Syasa kangen pengen naikin kamu," gumam Syasa pelan.
Syasa berusaha mengotak-atik Alex, berharap kali ini dia mau bekerjasama dengannya untuk ikut pulang ke rumah. Lima belas menit berlalu, Alex sama sekali tidak hidup. Syasa mulai kelelahan, nafasnya tersenggal karena terus berusaha menyela Alex agar bisa hidup.
"Emak, kalau kaya gini Syasa mesti pulang ngangkot lagi. Kan, sayang tuh uang ongkos bisa buat jajan ke Kang Somay," gerutu Syasa.
Rintik hujan mulai turun tanpa diundang. Syasa hendak berlari untuk berteduh, akan tetapi seseorang menariknya kedalam payung bersamanya, Syasa mengenal bau harum Farfum milik orang itu.
Syasa memberanikan diri membalikkan badan, meyakinkan jika tebakannya tidak salah. Syasa memutar badan, tapi naas genangan air di kakinya membuat ia oleng. Beruntung orang itu segera menarik pinggang raping Syasa dan mendekatkannya pada dirinya. Orang itu berkata, "Saya sudah pernah bilang, berhati-hatilah. Apa kamu tidak mendengarkan saya!"
...****************...
BERSAMBUNG~~~
Tolong dukungannya ya, Say🤗
Jangan lupa like, coment, vote dan rate 5
Selamat membaca😍😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Tita Rosita
kaya nya syasa mending kuliah pulang kuliah bantu" emaknya d kantin thoor biar agak sedikit berkelas jd cocok sma dokter🤔
2021-09-24
1
sastra dendra
wahahhahah gagal fokus sama pembalut
2021-04-17
0
Lin Halu
sukakkk
2021-03-27
0