Hati Syasa lega, ia segera menghirup udara dengan rakus. Seandainya kedua maling tadi, tidak percaya dengan omong kosongnya. Mungkin saat ini Syasa yang habis diterkam mereka.
"Dasar maling kurang ilmu. Makanya, Bang kalau mau maling belajar dulu sana ke ahlinya. Malu-maluin permalingan aja," batin Syasa.
Syasa segera bergegas pergi ke warung, ia tidak ingin Emaknya menghadiahi ciuman manis dari panci Kang bakso.
Terlihat dari kejauhan warung yang terdekat dari rumahnya sangat ramai. Banyak pemuda tengah menikmati kopi sambil tertawa haha hihi, hampir mirip arisan Emak-Emak.
Syasa memberanikan diri mendekati warung, tatapan menggoda terlihat dari setiap mata pemuda itu.
"Mpok, Syasa mau beli terasi," ujar Syasa pelan.
"Apa, Sya. Lu mau beli kaki sapi!" jawab pemilik warung.
"Bukan, Mpok tapi terasi," ulang Syasa.
"Lah, sekarang malah nagih janji! Mpok janji apaan, Sya?"
Syasa menghela nafas kasar. sebenarnya yang membuat Syasa malas ke warung itu karena ini. Ya, pemilik warung ini sedikit budeg, jadi setiap yang membeli harus berteriak agar pemilik warung mendengarnya.
Syasa mempersiapkan suaranya untuk berteriak, ia harap telinga para pemuda di sana tidak langsung tuli karena mendengar suaranya yang merdu.
"Syasa mau beli terasi, Mpok!" teriak Syasa sekencang-kencangnya.
Semua pemuda yang tengah tertawa langsung hening dan menutup telinganya bersamaan.
"Buset, Sya. Lu ngomong udah kaya toa aja!" ucap pemuda berambut gondrong.
"Iya nih, Sya. Kuping Abang bisa dioperasi gara-gara denger suara cempreng Lu," timpal pemuda berkumis tipis.
"Wahai para Abang pengangguran tapi, senengnya keluyuran. Jangan salahin, Syasa dong. Syasa udah ngomong pelan, tapi Mpoknya aja kagak mudeng," bantah Syasa.
"Emang Lu mau beli apa, Sya?" tanya teman si pemuda berkumis tipis.
"Terasi, Bang," sahut Syasa.
Pemuda tersebut berjalan mendekati pemilik warung, lalu berbisik sesuatu di telinganya. Setelah selesai, pemuda itu kembali bergabung dengan teman-temannya.
"Oh, terasi. Ngomong kek dari tadi, kagak usah muter-muter bikin puyeng Mpok aja!" ucap pemilik warung pada Syasa.
"Lah, dari tadi Syasa juga udah ngomong, Mpok! tapi, Mpoknya aja kagak denger," sahut Syasa.
"Lu kelenger kenapa, Sya?" tanya pemilik warung.
"Aduh, Syasa bisa gila ngomong sama, Mpok!" geram Syasa.
"Lah, katanya Lu mau beli terasi, kok malah mau gula,"
Syasa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ekor matanya melirik para pemuda yang sama-sama pusingnya dengan Syasa.
"Mpok Syasa mau beli terasi bukan gula!" teriak Syasa di dekat telinga pemilik warung.
"Aduh, Sya. Lu kagak usah teriak-teriak. Mpok kagak budeg juga," ucap pemilik warung.
Para pemuda dan Syasa saling melempar pandangan. Mereka sudah capek harus berteriak segala.
Setelah melewati masa-masa yang menegangkan, Syasa akhirnya mendapatkan apa yang Ibunya pesankan.
Dengan cepat ia melangkahkan kaki, takut Ibunya akan memberinya jurus seribu kata. Saking terburu-burunya Syasa terjatuh mencium tanah.
"Aduh, Engga enak bener nih bibir, ciuman pertama malah sama tanah bukan sama Kang gendang," gerutu Syasa.
Syasa bangkit dari jatuhnya, lalu segera berjalan kembali untuk pulang. .
Di rumah Bu Mirna tengah menunggu anak gadisnya yang tidak kunjung pulang. Ia cemas takut terjadi sesuatu pada Syasa.
Bu Mirna sejak tadi hanya berjalan kesana kemari, sembari matanya tertuju pada pintu berharap melihat wajah anak gadis bawelnya.
Raka yang sejak tadi pusing melihat ibunya sudah seperti setrikaan segera membuka suara.
"Mak, duduk napa! Raka engga bisa konsen nih, kalau Emak mondar mandir kaya setrikaan gitu," tegur Raka.
"Emak cemas sama Kakamu, Raka! Gimana kalau sampai Kakakmu diculik orang jahat," ucap Bu Mirna, pasalnya sudah hampir satu jam Syasa belum pulang.
"Aduh, Mak. Mana ada orang mau nyulik Kak Syasa. Yang ada mereka bisa bangkrut, kan Emak tahu sendiri. Kak Syasa makannya aja udah mirip porsi kuli bangunan, belum mulutnya bawel kaya radio butut!"
"Hus, kalau ngomong suka bener kamu!" ujar Bu Mirna. " tetap aja, Ka. Kalau Kakakmu diculik orang, ntar kagak ada yang bantuin Emak ngupas jengkol lagi."
Raka menggelengkan kepala mendengar ucapan Ibunya. Di saat seperti ini Ibunya malah mengkhawatirkan soal kupas jengkol. Sekarang ia paham dari mana kesomplakan Kakaknya ini menurun.
Selang lima menit berlalu, Syasa masuk dengan berlari hingga hampir sajak menabrak Ibunya yang sejak tadi menunggu di depan pintu.
"Ngapain Emak di deket pintu? lagi nungguin Kang bakso lewat, ya? hayo ngaku?" ledek Syasa.
Bu Mirna menjewer telinga Syasa lalu berkata, "Nih anak, dari mana aja baru pulang? kagak tahu apa Emak cemas di rumah."
"Aduh, Mak sakit kuping Syasa," adu Syasa. " tadi di warung Mpoknya kurang denger, jadi Syasa kesulitan dapetin nih barang."
Bu Mirna melepaskan tangannya dari Syasa setelah baru ingat, jika pemilik warung di dekat rumahnya memang sedikit kurang mendengar.
"Ya, udah. Mana terasinya, Emak kagak jadi-jadi bikin sambal dari tadi nungguin kamu pulang,"
Syasa memberikan satu bungkus terasi ke tangan Ibunya lalu berkata, " Nih, Mak. Lain kali Syasa kagak mau lagi kalau disuruh ke warung."
Raka yang hanya menjadi penonton di sana tertawa terbahak-bahak. Kakaknya ini memang super kocak, tapi baik hati.
Raka sendiri sangat menyayangi Kakak perempuannya. Meskipun mereka sering bertengkar, akan tetapi semua itu tidak membuat rasa cinta dan sayang Raka berkurang.
Dalam doanya ia berusaha berdoa yang terbaik untuk Kakaknya. Semoga suatu saat nanti, akan ada seorang laki-laki yang ikhlas menerima Kakaknya dengan segala masa lalu kelamnya.
Dia masih ingat bagaimana Syasa yang dulu. Sejak kejadian menyakitkan itu, Syasa berubah menjadi seorang yang pendiam dan hampir gila. Setiap hari Syasa berteriak, tidak sanggup menerima takdir yang seakan mempermainkan masa depannya.
Namun, saat pertama bertemu dengan Ferdy. Syasa sedikit membuka diri, menerima kenyataan meski ia sudah tidak mau bermimpi bersanding dengan siapa pun.
Selama ini pun Syasa hanya menyukai Ferdy sebatas rasa suka saja, ia juga tahu diri bagaimana ia sebenarnya. Setiap ucapan Syasa hanya untuk menghibur dirinya, tapi meski begitu rasa sukanya bukanlah bualan semata.
"Apa kamu liat-liat, Dek! Mau Kakak cium pake terasi?" ujar Syasa melihat Raka menertawakan dirinya.
"Ogah amet," sahut Raka. " Mak, Raka mau ke kamar aja. Males dengerin ocehan Kakak yang udah kayak radio butut, weeee ....!"
Raka menjulurkan lidahnya, lalu berlari ke kamar tak ingin kepalanya menjadi tempat mendaratnya tangan kakaknya.
"Dasar Adek kagak ada akhlak!" teriak Syasa.
Bu Mirna yang pusing melihat kedua anaknya ini bertengkar, bergegas pergi ke dapur. Tidak terasa cairan bening lolos dari pelupuk matanya, mengingat Almarhum suaminya yang sudah duluan menghadap Sang Ilahi.
"Pak, lihatlah anak kita. Sekarang mereka sudah tumbuh dewasa. Doakan Ibu, ya agar bisa mendidik mereka berdua menjadi orang sukses seperti yang Bapak inginkan dulu," ucap Bu Mirna berlinangan air mata.
...****************...
BERSAMBUNG~~~
jangan lupa dukungannya, Say🙊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
abdan syakura
syasa knp ya?
2023-01-13
0
Regina
duh Thor apa syasa korban pemerkosaan?
2021-09-30
0
nonce
jgn2... nabila anakny syasa juga 🙄
2021-06-12
0