Sepeninggal Pak Hadinata Arini jadi serba salah, mau ini salah mau itu salah, Timbul keraguan dalam dirinya apa aku mampu nggak ya memimpin perusahaan yang di bebankan di pundaknya, sedangkan suatu perusahaan maju mundurnya tergantung pemimpinnya.
Tapi Arini menghibur dirinya aku harus mampu dan bisa, makanya Pak Hadinata memilih dirinya itu punya penilaian lebih pastinya.
Pak Hadinata memang baik, tampan perhatian sampai sampai Pak Hadinata tahu tempat tinggal ku, apa memang harus begitu seorang pimpinan?
Arini masih tercenung di kursinya menatap gelas kosong depan matanya, Arini hampir-hampir tak percaya apa yang baru saja di alaminya ya...yang di alaminya,
Pak Hadinata mengantarnya pulang mau masuk ke tempatnya, ngasih jabatan pimpinan juga fasilitas mobil, Arini mengingat ingat hari apa ini kok ini hari kayak keberuntunganku banget pikirnya.
Arini senyum-senyum sendiri, Apalagi saat membayangkan sosok Hadinata begitu dekat depan matanya ada perasaan yang deg deg deg...nggak karuan.
Apalagi saat duduk berhadapan di kursi panjang dengan jarak muka mereka kurang dari 50 centimeter dan kedepannya akan terus dekat karena mereka adalah pimpinan dan boss nya.
Arini berfikir keras mencerna sikap Pak Hadinata dari ngasih jabatan pada dirinya, mengantar pulang, juga memberi fasilitas kendaraan, apa Pak Hadinata tertarik padanya? Hah? Deg! tak mungkin, tak mungkin dan tak boleh begitu kotor dan sempitnya fikiran Arini Pak Hadinata kan sudah berkeluarga,
Dan mungkin itu hanya perhatian antara pimpinan saja agar lebih dekat.
Tak kalah kerasnya juga Arini memikirkan perasaanya pada Pak Hadinata, deg-degan dadanya, panas mukanya, kikuk tingkahnya grogi bawaannya, dan juga lemes tungkainya kalau berdekatan atau saling bersentuhan dengan Pak Hadi, tapi ada rasa lega, damai juga senang hatinya dan rasa itu belum pernah Arini rasakan sebelumnya pada siapapun.
Arini pun menghibur hatinya biarlah mungkin aku "jatuh cinta" pada sosok Pak Hadinata toh dia tak tau ini, atau sekedar mengaguminya kan ada pepatah "mencintai tak berarti harus memiliki" Lama Arini termenung hingga sayup-sayup adzan maghrib berkumandang, Arini bangkit membawa gelas kosong ke belakang, dan buru-buru masuk ke kamar mandi.
Selepas Maghrib Arini seperti biasa siap-siap pergi ke kantornya mungkin ini siaran terakhirnya, karena mulai besok Arini akan bekerja mulai jam 08:00 sampai jam 16:00, tapi kalau di perlukan semua bisa di atur sendiri, dan kerja Arini tidak menuntut kehadirannya tiap hari, setiap ada yang urgent yang menyangkut kapasitasnya sebagai pimpinan diharuskan ada.
Tiba di kantor setengah tujuh malam Arini masih bisa santai, lalu meminta kunci ruangan pimpinan pada yang bertugas di sekretariat, Arini masuk celingukan, berkeliling tangannya meraba barang-barang yang ada di dalam ruangan itu, lemari berkas, meja kerja, kursi, kamar mandi, AC, laptop, tv dan tempat tidur single dengan di tutup gardeng tembus pandang hanya untuk menyekat ruangan. mungkin untuk bisa istirahat di sela-sela kesibukan dan juga pemandangan keluar jendela yang menakjubkan, apalagi di lihat pada malam hari seperti sekarang.
Betapa nyaman ruangan ini fikir Arini, seakan baru tahu isi lengkap ruangan ini, padahal semua karyawan pernah di panggil Pak Priyo sebagai pimpinan yang mengisi ruangan ini sebelumnya.
Mulai besok hari senin ruangan ini akan menjadi tempatnya bekerja, seakan mimpi Arini berkali-kali mengusap mukanya, kenapa aku selalu gugup dengan semua perubahan ini ya? bathin Arini.
Pelan-pelan Arini mengelilingi meja kerjanya dan berhenti di kursinya, perlahan dia duduk putar ke kiri ke kanan menengadahkan kepala ke sandaran kursi seakan Arini ingin meregangkan urat syarafnya yang sedari siang seusai rapat terasa begitu tegang.
Arini mengambil ponsel dari tasnya membuka-buka pesan banyak temennya yang mengucapkan selamat atas di angkatnya Arini jadi pimpinan, mungkin sudah tradisi atau basa-basi aja seorang karyawan wajib mengucapkan ucapan selamat, tapi ini mungkin juga turut bahagia atau sekedar etika aja...entahlah.
"Tok tok tok..."
Pintu ruangan ada yang ngetuk halus Arini terperanjat kaget luar biasa, Arini langsung berdiri menghilangkan gugupnya dan buru-buru menghadap ke luar jendela pura-pura lagi melihat pemandangan.
"Ya, siapa ya? masuk aja."
Arini menyahut sambil tetap badannya menghadap ke luar jendela.
Ceklek, cekeeeet...pintu di buka perlahan Arini diam menunggu yang datang ngomong duluan tapi lama di tunggu sepi saja, Arini menoleh dan deg deg deg! Pak Hadi? Arini serasa pingsan lunglai karena kaget. Hadinata menangkap pinggang Arini dan beralih memegang kedua pergelangan tangannya,
"Maaf, maaf aku mengagetkan mu Rin."
"Nggak apa-apa Pak, eh Mas, ada perlu apa masih di sini?"
"Kebetulan aja saya lewat sini,
Kamu siaran malam ini ya? tapi kelihatannya lemes banget, apa kamu sakit Rin? di cancel aja cari orang pengganti atau acaranya yang di ganti."
"Nggak usah Pak, eh Mas, aku masih bisa kok."
"Alah udah, kamu kan sudah jadi pimpinan di sini tinggal ngomong ke bagian penyiaran beres,
toh mulai besok kamu fokus ngurus ***** bengek perusahaan ini kan?"
"Tapi Mas?"
"Udah, udah kita keluar aku ajak kamu makan malam ya kita cari udara segar."
Hadinata menuntun Arini sampai pintu keluar ruangan dan melepaskannya saat membuka pintu. Arini bingung dan akhirnya ikut juga ajakan Pak Hadinata.
"Aku tunggu di parkiran ya Rin."
"Heemght."
Mobil melaju perlahan, hati Arini berkecamuk, bergemuruh seperti ombak pantai selatan dan sulit di gambarkan, sulit di jabarkan, begitu juga hati Hadinata tak kalah bertalu talu seperti bedug yang di tabuh di malam takbiran lebaran, sepanjang jalan jadi tak banyak bicara berdua sibuk dengan hati dan perasaan masing-masing, hingga Arini tak sanggup memandang wajah pria di sampingnya.
Mereka duduk berhadap hadapan, jadi mau tidak mau mereka berpandangan setiap salah satu bicara. Jangan geer hai Arini, Arini menenangkan hatinya yang di depan itu atasanmu, fokus-fokus jangan gugup biasa aja seperti kamu makan bersama Arman, bersama Lusy dan yang lain-lainnya.
"Kamu mau pesan apa Rin?"
"Apa ya."
Arini membolak balikan buku menu, Hadi menatap Arini yang lagi menunduk, ada rasa bangga dalam hatinya bisa duduk semeja dengan wanita ini, Hadi menatap sekeliling resto ada beberapa pasangan dan satu keluarga yang bawa anak-anaknya.
"Udah dapet Rin?"
"Belum heeeee..."
Arini senyum tipis menggambarkan ia lagi bingung,
Hadi menarik buku menu dari tangan Arini perlahan.
"Ya udah ini aja, enak kok pasti kamu suka, Terus minumnya apa? sama juga?"
Arini menamprak kan telapak tangannya tanda setuju.
"Udah? ada lagi nggak yang di pesan?"
"Cukup Mas."
"Hai kamu jangan kaku gitu, biasa aja kita kan teamwork jadi pasti kita akan sering ketemu, kita keluar dan acara makan begini bagian dari menjalin mitra kerja.
"Ya Mas."
"Sering-seringlah senyum, aku suka senyuman mu."
"Ehemght."
"Haaa..."
Arini mulai timbul keberaniannya, minimal kalau bicara berani menatap wajah Hadinata, tertawa bareng juga memulai pembicaraan hal-hal kecil.
Sesampainya di depan kost an Arini, saat pulang dan mobil berhenti, Arini mau membuka pintu mobil tapi di tahan oleh Hadinata.
Deg! Arini melirik Hadi dan tersenyum.
"Hati hati."
"Ya Mas, terimakasih untuk makan malamnya."
"Iya Rin."
Arini tertegun, tangan Hadinata memegang tangannya terus mengelus punggung tangan Arini dengan jari-jarinya, mobil pun menghilang.
Sekujur tubuh Arini terasa memanas, merinding tak karuan tapi halus menyelusup gairah dalam dirinya.
Arini berjalan gontai membuka pintu kamarnya, Arini mulai bisa mengartikan sikap Pak Hadi walau antara yakin dan khayalannya saja, Arini menepis bayangan seandainya, dan seandainya tentang Pak Hadinata, tapi tetap menghantui jalan fikirannya.
Apa memang pak Hadi mencintaiku? kenapa pula aku juga mencintainya?
bagaimana seandainya bener Pak Hadi mencintaiku haruskah aku senang? Ya Allah haruskah aku jadi orang ketiga dalam rumah tangganya? haruskah aku jadi pelakor? Arini mengusap mukanya dan beristighfar...
Happy reading❤️🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Yayoek Rahayu
jangaan dooong....
2022-02-11
1